JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyidikan kasus korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diwarnai isu intervensi pihak tertentu kepada Kejaksaan Agung. Isu intervensi itu disebut-sebut terkait aset lahan seluas 1.200 hektar di Kerawang, Jawa Barat yang menjadi obyek perkara.

Isu intervensi itu disebutkan berawal dari surat permohonan oknum tertentu kepada Kejaksaan Agung. Oknum yang disebut-sebut mengaku sebagai anggota dewan kehormatan Partai Nasional Demokrat (Nasdem),  Partai tempat bernaungnya Jaksa Agung HM Prasetyo itu berniat meminta penjualan lahan seluas 1065,6 hektare yang terbagi menjadi empat SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) di Kabupaten Karawang.

Menariknya tanah-tanah tersebut adalah tanah yang sebelumnya telah dibeli PT Victoria Securities International Corporation melalui perjanjian pengalihan piutang dengan BPPN. Meski permohonan tersebut sulit terealisasi,  karena lahan tersebut statusnya menjadi obyek sengketa dan masih akan dijadikan alat bukti Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus korupsi hak tagih (cessie) BPPN.

Namun Jaksa Agung HM Prasetyo telah mengeluarkan instruksi khusus berupa nota dinas,  pada 28 Agustus lalu. Dimana dalam nota dinas tersebut  dituliskan, "Koordinasikan dan dapatkan informasi dari Jampidsus, tanah dimaksud saat ini menjadi bagian dari obyek berkaitan dengan perkara dugaan korupsi di lingkungan BPPN dan PT VSIC, tidak mustahil pada saatnya berstatus sebagai BB (barang bukti)".

Kejaksaan Agung memang tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi penjualan cessie  BPPN yang diduga melibatkan PT Victoria Securities International Corporatian  (VSIC).  Kejaksaan juga sempat menggeledah kantor PT Victoria Securities Indonsia (VSI) yang diyakini berafiliasi dengan VSIC, menyusul tidak hadirnya sejumlah petinggi perusahaan tersebut untuk dimintai keterangan oleh penyidik Kejaksaan Agung.   

Namun langkah Kejaksaan Agung itu diprotes pihak VSI dan VSIC yang mengadukan aksi  penggeledahan itu  ke DPR. Bahkan DPR kemudian memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo untuk dimintai klarifikasi soal penggeledahan tersebut.

Munculnya persoalan hak tagih itu bermula saat PT Adyaesta meminjam kredit ke Bank BTN, untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektar. Bank pelat merah itu kemudian mengucurkan anggaran sekitar Rp469 miliar dimana PT Adyaesta harus menyerahkan sertifikat tanahnya seluas 1200 hektar tersebut.

Sayangnya saat itu terjadi krisis dan banyak kredit macet, Bank BTN pun harus masuk ke penyehatan BPPN dan sejumlah hak tagih kredit macet itu harus diserahkan ke BPPN. Lalu BPPN pun melelang sejumlah aset dan hak tagih tersebut. Tak terkecuali hak tagih PT Adyaesta.

Dari lelang itu PT First Capital memenangkan lelang hak tagih atas lahan milik PT Adyaesta senilai Rp 69 miliar. Namun karena alasan kurang lengkapnya dokumen maka, First Capital mundur. BPPN lalu melakukan program penjualan aset kredit IV (PPAK IV) pada 8 Juli 2003 hingga 6 Agustus 2003. Lelang tersebut dimenangkan Victoria Securities Internasional dengan harga yang lebih murah lagi, yakni Rp 26 miliar.

PT Adyaesta telah mencoba melakukan penawaran pelunasan kepada Victoria dengan harga di atas penawaran BPPN, yakni Rp 266 miliar. Namun Victoria justru menaikan harga secara tidak rasional yakni Rp 1,9 triliun. PT Adyaesta kemudian melakukan penawaran ulang sebesar Rp 300 miliar yang direspons Victoria dengan makin melambungkan harga pelunasan sebesar Rp 2 triliun.

Belakangan Direktur Utama PT Adyaesta Ciptatama Johnny Widjaja yang gagal menebus kembali aset yang pernah diagunkan di Bank Tabungan Negara (BTN) melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi pada 2013. Ia menuding ada ketidakwajaran dalam penjualan hak tagih aset oleh BPPN, sebab hak tagih dengan nilai pinjaman sebesar Rp 266 miliar hanya dijual kepada PT VSIC seharga Rp 26 miliar.

LAKUKAN PENCEKALAN - Ada sejumlah nama yang dilaporkan oleh  Johny Widjaja, diantaranya mantan Kepala BPPN Syafruddin Tumenggung, Rita Rassela, Susana Tanojo dan Mukmin Ali Gunawam dari Panin Grup, Cahyadi Ayung dan Ong Jee Moh. Semua nama tersebut telah dimintai keterangannya oleh penyidik Kejaksaan Agung. Sementara pihak VSIC yang berulang kali dipanggil tak kunjung datang, hingga kejaksaan melakukan penggeledahan.

Hingga saat ini, Kejaksaan Agung telah melakukan pencekalan terhadap sejumlah nama. Termasuk petinggi PT VSI, diantaranya Lis Liliana Jamin, Susana Tanojo dan Rita Rassela. Meskipun dalam kasus cessie tersebut, mereka belum dinyatakan sebagai tersangka.

Atas status cekal tersebut, kuasa hukum mantan Direktur PT VSI Lis Lilia Jamin, Primaditya Wirasandi, memprotes pencekalan. Primaditya berdalih saat ini kliennya belum berstatus tersangka. "Dalam surat panggilan maupun pemeriksaan di Kejaksaan agung, status klien kami adalah saksi," kata Primaditya. Karenanya, dia meminta Dirjen Imigrasi untuk mencabut surat cekal tersebut.

Sementara Kapuspenkum Kejaksaan Agung Amir Yanto mengatakan, ada empat nama yang dimasukkan dalam daftar cekal dalam kasus cessie VSI. Menurutnya, status cekal bisa diberikan kepada pihak yang diduga kuat dan memiliki kaitan dengan satu kasus. "Meskipun belum ditetapkan tersangka," kata Amir.

KEPENTINGAN TERSELUBUNG - Langkah Kejaksaan Agung menyeret PT VSIC dalam dalam kasus korupsi pembelian hak tagih ini dinilai kuasa hukum PT VSIC tidak tepat. Kuasa hukum VSIC Irfan Aghasar mengatakan, kasus cessie yang membelit VSIC murni bisnis. Kasus ini adalah kasus bussiness to bussiness bukan kasus pidana korupsi.

Irfan menuturkan, pada 2003 VSIC membeli cessie dari BPPN. Setelah mengikuti lelang keempat, VSIC dimenangkan dengan nilai tawar Rp32 miliar. "Lalu debitur (PT Adyaesta Ciptatama) meminta bertemu dan bernegosiasi untuk membeli kembali, karena hitungannya tidak ketemu lalu dilaporkan ke Kejati," kata Irfan beberapa waktu lalu.

Mereka pun kemudian mengajukan gugatan  praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka fokus mempersoalkan keabsahan proses penggeledahan ke kantor mereka. Namun dalam sidang pertama gugatan praperadilan itu, pihak Kejaksaan Agung tak hadir hingga sidang harus ditunda.  

KEJAKSAAN MEMBANTAH - Terkait tudingan adanya nota dinas kejaksaan itu, pihak Kejaksaan Agung membantahnya.  Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto nota dinas lazim dibuat sebagai perintah untuk dilaksanakan. Namun nota dinas untuk melelang aset yang masih dalam proses penyidikan tidak akan dilakukan. Biasanya nota dinas hanya untuk memverifikasi aset-aset tersebut.

"Saya belum dengar, tapi saya kira itu tidak ada yang seperti itu," jelas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto ketika dikonfirmasi gresnews.com, Rabu (16/9).

Menanggapi soal nota dinas tersebut. Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyayangkan sikap Jaksa Agung HM Prasetyo yang terkesan memaksakan permohonan tersebut dikabulkan.  Hal itu sama saja menyalahgunakan wewenang dan jabatannya. "Seharusnya kejaksaan sebagai alat negara menegakan hukum. Jangan yang lain," kata Margarito, Selasa (15/9).

Menurutnya, aset yang menjadi barang bukti itu harus dilelang setelah berkekuatan hukum tetap, bukan saat masih penyelidikan atau pun proses persidangan. Kata Margarito, permohonan lelang atau pun penjualan secara apa adanya yang diajukan oknum itu sudah melanggar pidana.

"Hukum itu tidak boleh semena-mena dalam pemberlakuannya. Bagaimana ceritanya, sebuah kasus yang masih berproses, diselipi kepentingan oknum. Ini jelas bikin kegaduhan baru," terangnya.

Margarito meminta Jaksa Agung Prasetyo harus menempatkan dirinya sebagai alat negara untuk menegakkan hukum dan sesuai koridor hukum yang ada. Seyogyanya, kata dia, jika Kejaksaan Agung serius mengungkap dugaan korupsi di BPPN itu, seharusnya  semua pihak yang terkait proses lelang cessie saat itu diperiksa dan diungkap juga lelang cessie lainnya.

"Saya dukung pemberantasan korupsi di Kejagung, tapi jangan setengah-setengah. Bongkar saja semua kasus dugaan korupsi di BPPN secara keseluruhan. Biar makin penuh penjara di Indonesia. Tapi apakah Kejagung berani?," tuturnya.

Untuk diketahui, BPPN saat itu di bawah koordinasi Laksamana Sukardi yang notabene Menteri BUMN di era pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Nama Menteri Perdagangan Kabinet Kerja Thomas Lembong, juga disebut-sebut pernah aktif dalam program lelang tersebut.

BELUM BERKEKUATAN HUKUM - Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia Akhyar Salmi juga mempertanyakan dasar hukum kejaksaan yang berencana melelang atau menjual aset tanah tersebut. "Secara prinsip, apakah aset tanah yang menjadi barang bukti belum berkekuatan hukum dapat dilelang. Sejauh ini menurut saya tidak dapat dilakukan," kata Akhyar.

Jaksa Agung, kata dia, harus menunjukkan dasar hukumnya dalam mengamini permohonan lelang tersebut. "Apakah tanah menjadi urgent untuk dilelang karena ditakutkan nilai ekonomisnya berkurang, mungkin pihak penyelenggara lelang bisa menjawab. Karena selama ini aset yang nilai ekonomisnya tidak berkurang lelang dapat dilakukan usai putusan hukum yang sudah pasti ataupun tetap," tandasnya.

BACA JUGA: