JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan pemberian keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010 lalu dengan terdakwa Zulfahmi Arsyad akan segera diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan atas Arsyad ini menjadi penting, karena putusan itu akan ikut menentukan "nasib" mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto yang juga menjadi tersangka dalam kasus serupa.

Hanya saja, untuk berkas atas tersangka BW--sapaan akrab Bambang Widjojanto-- hingga kini belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Padahal berkas perkara atas nama BW, telah dinyatakan lengkap (P21) oleh jaksa. Jaksa tengah menunggu pelimpahan bukti dan tersangka untuk kemudian dilimpahkkan ke pengadilan.

BW bersama tiga tersangka lainnya, Zulfahmi, P, dan S dijerat dengan Pasal 242 Ayat (1) KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu juncto Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana juncto Pasal 56 KUHP tentang dipidana sebagai pembantu melaksanakan kejahatan.

Untuk berkas kasus BW  telah‎ dinyatakan lengkap sejak tanggal 25 Mei 2015. Hanya saja sampai kini pelimpahan tahap dua atau penyerahan berkas serta tersangka masih belum didapatkan jaksa dari penyidik kepolisian. Dalam hal ini, jaksa masih menunggu hal tersebut.

"Kami sifatnya menunggu dari penyidik kapan diserahkan tahap duanya. Jadi sekarang kewenangan ada di penyidik untuk menyerahkan berkas dan tersangkanya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana, Senin (7/9).

Tony mengataka jika dinyatakan lengkap oleh jaksa, maka kewajiban penyidik untuk melimpahkan barang bukti dan tersangka agar segera dilimpahkan ke pengadilan. "Jaksa juga telah mengirimkan surat P21a untuk mengingatkan penyidik polri," tegasnya.

BW PROTES STATUS TERDAKWA - Kasus ini sendiri sempat mengundang heboh ketika dalam surat dakwaan jaksa kepada Zulfahmi juga ikut menyebutkan status BW sebagai terdakwa. Padahal sudah jelas status BW masih tersangka lantaran berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan dan berkasnya masih ada di Kejaksaan Agung. Karuan saja BW mengajukan protes keras atas penyematan status terdakwa itu.  

"Upaya kriminalisasi terhadap Bambang Widjojanto (BW) tidak ada hentinya. Kini, upaya kriminalisasi dilakukan dengan cara menyelipkan nama BW, yang disebut sebagai terdakwa ke dalam surat dakwaan dan surat tuntutan di dalam persidangan perkara Zulfahmi Arsad di PN Jakarta Pusat Juli 2015 dan 1 September 2015," jelas Kepala Bidang Hukum dan Advokasi LBH Jakarta, Johan Avie, Senin (7/9).

Johan menganggap itu sebagai upaya kriminalisasi karena penyelipan nama BW dalam dakwaan itu tak sesuai fakta hukum. "Status BW sampai sekarang masih sebagai tersangka," katanya.

Dia menduga, beberapa poin dalam surat dakwaan dan surat tuntutan itu sengaja dibuat-buat alias rekayasa. "Menurut KUHAP, penyusunan surat dakwaan dan surat tuntutan harus dilakukan sesuai dengan fakta hukum, bukan informasi yang dibuat-buat atau direkayasa. Apalagi, Penuntut Umum telah terikat dengan sumpah jabatan sesuai PP No. 10 tahun 1947, yang mewajibkan Jaksa untuk melakukan pekerjaannya dengan memegang teguh aturan hukum dan nilai keadilan," urai Johan.

Perbuatan jaksa itu dinilai Johan berpotensi melanggar aturan hukum pidana, Pasal 242 Ayat (1) dan (2) KUHP tentang Keterangan Palsu. "Kami mendorong Kepolisian untuk memeriksa Penuntut Umum dalam perkara Zulfahmi Arsad karena berpotensi melanggar aturan pidana, pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP tentang Keterangan Palsu. Kami meminta kepada Majelis Hakim untuk tidak memasukkan poin-poin yang bukan fakta hukum ke dalam pertimbangan putusannya," urai Johan.

Johan juga mendorong komisi kejaksaan untuk memberikan sanksi administratif kepada jaksa yang menjadi Penuntut Umum dalam perkara Zulfahmi Arsad, karena ada potensi pelanggaran kode etik kejaksaan.

Komisioner Komisi Kejaksaan Indro Sugianto membenarkan tim kuasa hukum BW mempertanyakan masalah berkas kliennya yang sudah lengkap (P-21) namun belum juga dilimpahkan ke tahap dua. Mereka juga melayangkan pengaduan terkait penetapan status terdakwa kepada BW dalam berkas dakwaan Zulfahmi.

Dalam berkas dakwaan tersebut, BW seolah-olah telah didakwa dalam perkara yang lain. Indro melihat ada kekeliruan. Namun Komisi belum bersikap karena masih akan melakukan telaah. "Tentu masih akan dilakukan telaah atas laporan tersebut," jelas Indro yang merangkap juru bicara Komisi Kejaksaan kepada gresnews.com, Senin (7/9).

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sendiri memastikan BW belum menjadi terdakwa. Dia menilai, pencantuman status terdakwa itu hanya soal kesalahan menulis. "Itu kan nomenklatur saja. Terdakwa itu kan tersangka yang diajukan ke persidangan. Ya kalau belum, ya tidak, masih tersangka," ujar eks Jampidum Kejaksaan Agung itu.

Prasetyo juga menjelaskan, kalau kasus BW dan juga Abraham Samad sebenarnya sudah lengkap atau P21, tapi belum dilimpahkan ke pengadilan. "Betul, mohon maaf disampaikan di sini saudara Abraham Samad nampaknya oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan untuk kasus pemalsuan keterangan palsu dan menggunakan surat keterangan palsu itu dinyatakan sudah lengkap. Kalau sudah ditindindak lanjuti berkas oleh penyidik tentunya proses akan berjalan ke tahap selanjutnya," ujarnya.


MAJU MUNDUR - Kasus yang melibatkan BW ini proses penyidikannya memang cukup panjang dan berliku. Pihak BW sendiri kerap maju mundur dalam menyatakan perlawanannya terhadap kasus yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi ini.

BW sempat mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan atas penetapannya sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Langkah itu dilakukan menyusul keputusan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang menyatakan Bambang tak bersalah maupun melanggar kode etik dalam kasus tersebut.

Namun, kemudian BW mencabut gugatan itu dengan alasan menunggu niat baik Polri untuk melakukan penghentian penyidikan atas kasus itu. "Kita beri waktu polisi untuk SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan-red) kasus BW berdasarkan putusan dari Peradi. Jika hingga Senin 25 Mei (2015) belum ada respon maka kami ajukan kembali," ujar kata salah satu kuasa hukum BW Dadang Trisasongko ketika itu.

Dalam perjalanannya kemudian, polisi malah menolak menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus BW. "‎Tidak ada alasan bagi penyidik untuk mengeluarkan SP3 terkait kasus tersebut," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Agus Rianto.

Agus mengatakan, tidak ada kaitannya kode etik Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dengan pencabutan gugatan praperadilan. Apalagi, jika dikaitkan dengan pemberian SP3 (Surat Perintah Penghentuan Penyidikan) terhadap kasus yang dihadapi Bambang Widjojanto.

Dalam pemberian SP3 ada mekanisme hukum tersendiri dengan berpegang pada landasan hukum yang ada, yaitu peraturan perundang-undangan. ‎SP3 bisa dikeluarkan apabila kasus yang melibatkan seorang tersangka tidak terbukti sebagai tindak pidana. "Syarat lainnya adalah jika saksi dan bukti yang diajukan tidak cukup memperkuat tuduhan," kata Agus.

Selain itu, SP3 bisa diterbitkan apabila tersangka sudah pernah dilaporkan dalam kasus yang sama dan sudah ada putusan perkara. Yang terakhir, SP3 dilakukan kalau memang demi untuk penegakkan hukum itu sendiri karena ada alasan-alasan tertentu. "Jadi, tidak ada kaitan," tegas Agus.

Atas penolakan itu, pihak BW pun kemudian melayangkan lagi gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. BW mendaftarkan gugatan untuk kedua kalinya pada 27 Mei 2015, karena Polri tetap melanjutkan perkaranya. Bukan hanya meggugat Polri, BW juga menggugat Jaksa Agung HM Prasetyo.

Namun saat gugatan itu mulai disidangkan, BW kembali mencabut gugatannya. Hakim PN Jaksel yang menyidangkan gugatan itu, Made Sutrisna mengatakan, pencabutan gugatan telah disampaikan sebelum sidang oleh tim penasihat hukum Bambang Widjojanto.

Namun karena kedua pihak hadir, maka putusan pencabutan dilakukan dalam persidangan. "Ini sudah yang ketiga dicabut, tapi karena ini adalah hak dari pemohon, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan pencabutan permohonan ini," kata hakim tunggal Made Sutrisna di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/6).

Menanggapi pencabutan gugatan praperadilan tersebut, pihak Mabes Polri pun selaku termohon terlihat kecewa. Polri merasa Bambang Widjojanto telah mempermainkan lembaga kepolisian.

Kepala biro bantuan hukum divisi hukum Polri Brigjen Pol Ricky HP Sitohang menerima pencabutan tersebut tetapi dengan catatan. "Pada prinsipnya kami dari biro hukum baik pertama, kedua, ketiga sudah siap tapi kembali dicabut. Mohon kiranya catatan yang mulia supaya kami tidak dipermainkan seperti ini kalau agenda persidangan sudah masuk bisa dijalankan," kata Ricky.

Penasihat hukum Bambang, Abdul Fickar Hadjar mengemukan sejumlah alasan dicabutnya gugatan praperadilan itu. Fickar memandang berdasarkan fakta-fakta, proses, jalannya persidangan, serta putusan praperadilan dalam kasus-kasus seperti Novel Baswedan, Budi Gunawan, Ilham Arief Siradjuddin, Hadi Poernomo dan lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah di luar nalar atau logika hukum, menyimpang dan tidak lagi berdasar.

"Mengupayakan praperadilan dalam kasus KPK vs Polri di Pengdilan Negeri Jakarta Selatan seperti sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya," kata Fickar.

Bukan hanya dalam praperadilan Budi Gunawan dan Hadi Poernomo saja, putusan hakim penuh kejanggalan seperti melampaui dalil yang diminta dan diargumentasikan (ultra petita). Dalam pemeriksaan praperadilan yang diajukan oleh Novel Baswedan, hakim praperadilan telah jelas dan nyata membiarkan saksi dalam pokok perkara memberikan keterangan, meskipun sudah diprotes, bahkan menolak permohonan dengan argumentasi yang lemah dan bertentangan dengan hukum.

Fickar menilai gerakan prokorupsi telah membajak lembaga praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sehingga banyak putusan yang kontroversial. "Praperadilan telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan antikorupsi," katanya.

Berdasarkan hasil eksaminasi beberapa putusan praperadilan seperti di atas oleh para ahli, ada kecenderungan bahwa tidak ada standar yang berbasis fakta dan argumentasi untuk menerima atau menolak permohonan. "Ketiadaan standar itu juga menyangkut hukum acara praperadilan yang sampai saat ini belum juga dibuat oleh Mahkamah Agung (MA)," kata Fickar.

Sejauhmana fakta berkaitan pokok perkara perlu diajukan, ungkapnya, proses praperadilan yang tujuannya menguji proses, tetapi menjadi ajang untuk penilaian pokok perkara yang sudah seharusnya bukan kewenangan hakim praperadilan.

EVALUASI KASUS - Hingga saat ini polisi belum melimpahkan berkas perkara, bukti-bukti dan tersangka BW ke Kejaksaan. Padahal jaksa telah menyatakan lengkap.
Saat Kabareskrim masih dijabat Komjen Budi Waseso, kasus BW dinyatakan akan segera dilakukan pelimpahan tahap dua. Pelimpahan tersangka dan barang bukti pun, kata Buwas, tinggal menunggu waktu.

Namun jabatan Kabareskrim Polri kemudian beralih ke tangan Komjen Anang Iskandar. Anang sendiri menyatakan kasus yang sempat melahirkan ketegangan antara Polri dan KPK itu masih akan diteliti kembali. Namun dia menegaskan kasus yang masuk penyidikan akan tetap dilanjutkan. "Kalau sudah terjadi harus diproses," ujar Anang.

Komjen Budi Waseso (Buwas) sendiri, meski sudah resmi meninggalkan Bareskrim Polri, mengaku sebelum pergi sudah menuntaskan sejumlah kasus. Mulai dari kasus Bambang Widjojanto hingga Denny Indrayana.

"Sudah P21, BW sudah P21, AS (Abraham Samad) sudah P21 dan akan segera tahap dua. Kasus Novel (Novel Baswedan) dan Denny (Denny Indrayana) menyusul tahap dua," kata Buwas di Bareskrim, Jl Trunojoyo, Jakarta, Senin (7/9/).

Meski begitu sejumlah pihak mendesak agar kasus terhadap BW, termasuk juga kasus Abraham Samad dan Denny Indrayana agar dihentikan. "Pergantian Budi Waseso dari posisi Kabareskrim seharusnya diikuti dengan evaluasi terhadap Bareskrim sebagai institusi. Evaluasi itu ditujukan untuk menilai mana kasus yang layak diteruskan dan mana yang kasus yang mesti dihentikan," ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting, Sabtu (5/9).

"Kalau pendapat pribadi saya, langkah deponeering dirasa tepat untuk kasusnya Pak BW. Tapi langkah ini harus ada persetujuan presiden untuk kemudian memerintahkan kepada Jaksa Agung," kata pelaksana tugas pimpinan KPK Johan Budi, Selasa (26/5). (dtc)

BACA JUGA: