JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah mengajukan kasasi atas putusan bebas yang diketok majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta atas banding dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi meyakini bukti yang diajukan pada pengadilan tingkat pertama menunjukkan terjadi sodomi.

"Kami nyatakan kasasi dan telah didaftarkan," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Waluyo kepada gresnews.com, Rabu (26/8).

Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan bersalah dan terbukti melakukan sodomi sesuai dengan bukti-bukti diajukan JPU. Hakim PN Jaksel telah meneliti dan memeriksa bukti-bukti JPU dengan cermat sehingga disayangkan ketika majelis hakim PT kemudian membebaskannya.

Waluyo menyatakan Kejaksaan Tinggi telah menyiapkan memori kasasi untuk kembali menjebloskan dua guru JIS ke penjara. Dalil dan bukti akan disampaikan jika putusan PN Jaksel telah sesuai ketentuan dan dilakukan dengan teliti dan cermat.

Namun mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ramelan menampiknya. Dia mengatakan, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan dua guru JIS Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, menunjukkan bahwa bukti-bukti yang digunakan dalam putusan pengadilan tingkat pertama di PN Jakarta Selatan, sangat lemah dan sangat dipaksakan.

Menurut Ramelan, putusan Pengadilan Tinggi pasti telah mempertimbangkan seluruh proses persidangan di tingkat pertama, apakah telah dilakukan sesuai ketentuan atau tidak. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pasti telah memeriksa apakah bukti-bukti yang digunakan selama proses persidangan di pengadilan pertama telah ada dan didukung keterangan saksi dan keterangan ahli.

"Bila putusannya membebaskan terdakwa, hal itu menunjukan kalau pembuktian (di pengadilan pertama) tidak jelas, tidak sesuai ketentuan dan lemah," kata Ramelan, di Jakarta, Senin (24/8).

Untuk itu, sudah tepat bila hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus dua guru JIS karena pembuktiannya lemah dan cermat.

Salah satu kelemahan lain di kasus tersebut adalah pengajuan tuduhan tanpa disertai saksi fakta yang melihat langsung kejadian. Tidak ada saksi dan bukti yang memperkuat peristiwa sodomi seperti yang dituduhkan tersebut benar terjadi. "Padahal dalam hukum acara pidana, saksi yang melihat itu sangat penting," kata Ramelan.

Pada 3 April 2015 lalu, Neil dan Ferdi divonis pidana 10 tahun penjara dan membayar denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Vonis dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim di PN Jaksel yang diketuai oleh Nuraslam Bustaman dengan anggota Achmad Rivai, SH. dan H. Baktar Jubri Nasution.

Dua guru JIS banding. Pada 14 Agustus lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong dari vonis 10 tahun yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai putusan pengadilan PN Jaksel tidak cermat dan tidak matang dalam pembuktian.

BUKTI TAK CERMAT HAKIM PN - Majelis hakim PT menilai putusan PN Jaksel tak cermat. Hakim mengabaikan sejumlah bukti dan fakta yang berkembang dalam proses persidangan.

Menurut pengamat hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, kesimpulan hakim di PN Jakarta Selatan yang memvonis terdakwa pidana kurungan 10 tahun, banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.  Menurut Fahrizal ada beberapa poin yang tidak sesuai. Misalnya, Hakim tidak menggunakan hasil medis rumah sakit Singapura dengan alasan tidak ada perjanjian bilateral.

"Ini kan aneh kalau hakim berpendapat seperti itu. Padahal keadilan itu universal. Yang namanya bukti dari negara lain untu mendukung persidangan, ya boleh. Tidak ada ketentuan hukum yang melarang hal itu," kata Fachrizal.

Fachrizal mengaku heran dengan alasan hakim tentang kejadian sodomi terhadap MAK, DA dan AL hanya dari pengakuan anak tersebut. Padahal hakim harus merangkai bukti tambahan sehingga menjadi utuh.

Selain itu, saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak kredibel. Ada ahli yang masih menggunakan teori lama, ada ahli yang juga melakukan konseling dengan salah satu anak sehingga tidak independen.

Kejanggalan lainnya, kata dia, mustinya Majelis Hakim di PN Jakarta Selatan memakai hasil rekam medis dari SOS Medika, RSCM, RSPI dan dari RS KK Women´ and Children´s Hospital Singapura, yang menyatakan kondisi lubang pelepas AL tetap normal dan tidak mengalami luka. Pemeriksaan rumah sakit di singapura ini dilakukan secara lebih komprehensif dengan menggunakan metode anuskopi yang melibatkan dokter bedah, dokter anestesi dan dokter psikologi.

JANGAN PAKSAKAN - Putusan bebas Neil dan Ferdi ditanggapi beragam oleh publik. Satuan Tugas Perlindungan Anak meminta Kejaksaan segera kasasi. Namun Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) meminta agar kasus dugaan seksual yang dituduhkan kepada dua guru di JIS tidak dipaksakan.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menegaskan, jika memang kasus ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat, para pihak jangan memaksa institusi peradilan untuk menghukum dua guru JIS yang kini dibebaskan. "Jika bukti-buktinya tidak kuat, ya jangan dipermasalahkan karena proses hukum itu berdasarkan bukti. Komnas PA tidak akan memaksa orang yang tidak bersalah menjadi bersalah," kata Arist beberapa waktu lalu.

Arist menambahkan, jika memang memiliki bukti, keluarga korban bisa memperjuangkan haknya. Tapi prinsipnya, dalam konteks perlindungan anak, jangan memaksakan kesalahan pada orang yang tidak berbuat.

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel juga meyakini bahwa kasus sodomi terhadap tiga siswa TK JIS tidak pernah terjadi. Pada awal peristiwa ini muncul, Reza mengaku yakin bahwa kasus ini benar-benar terjadi.

Namun setelah melakukan pemeriksaan terhadap hasil visum para korban dan melakukan telaah secara mendalam menggunakan metode keilmuan, Reza akhirnya berkesimpulan bahwa kasus ini tidak pernah ada. "Tiga anak yang melaporkan dua guru JIS itu tidak mengalami sodomi. Kasus kekerasan seksual ini sebenarnya tidak ada. Yang terjadi adalah anak-anak itu mengalami kekerasan psikis, dan itu tidak dilakukan oleh guru JIS, melainkan oleh orang-orang terdekatnya," beber Reza.

Sesuai hasil visum dari RSCM, siswa MAK dinyatakan tidak mengalami kekerasan seksual pada lubang pelepasnya. Sementara hasil pemeriksaan oleh RS KK Women´ and Children´s Hospital, Singapura, yang melibatkan dokter bedah, dokter anestesi dan dr psikologi menyatakan bahwa,kondisi lubang pelepasan AL normal dan tidak mengalami luka.

Berdasarkan bukti itulah pengadilan Singapura memenangkan gugatan pencemaran nama baik Neil Bantleman, Ferdinant Tjong dan JIS terhadap DR, ibu AL. Pengadilan memvonis DR untuk membayar ganti kerugian hingga SG$ 230 ribu atau sekitar Rp 2,3 miliar kepada Neil, Ferdi dan JIS karena terbukti menyebarkan berita fitnah dan mencemarkan nama baik ketiga pihak tersebut.

Pengadilaan Negeri Jakarta Selatan juga menolak gugatan perdata yang dilayangkan ibu MAK kepada JIS senilai US$ 125 juta atau sekitar Rp1,6 triliun. Majelis hakim yang diketuai oleh Haswandi menilai kasus ini tidak layak untuk diadili karena kurang pihak dan kurang bukti.

BACA JUGA: