JAKARTA, GRESNEWS.COM – Satu dasawarsa sudah Komisi Yudisial (KY) berdiri, namun masih banyak pekerjaan rumah yang belum rampung. Kentara betul KY masih tergagap saat berhubungan dengan lembaga lainnya seperti Mahkamah Agung (MA).  

Dalam usia KY yang ke-10, hubungan antara KY dan MA mengalami ujian. Sejumlah permasalahan yang kerap menimpa KY tak jauh dari kewenangannya yang bersinggungan dengan MA yang secara tak langsung menunjukkan belum bisa menerima eksistensi KY.

Misalnya, persoalan rekrutmen hakim pengadilan tingkat pertama, sejumlah hakim agung yang mengatasnamakan diri ke dalam lembaga Ikatan hakim Indonesia (Ikahi) mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Badan Peradilan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam uji materi tersebut kewenangan KY untuk ikut merekrut hakim pengadilan tingkat pertama dianggap telah melebihi kewenangan KY yang diatur konstitusi.

Tidak hanya itu, dalam hal pengawasan hakim, KY dan MA seperti berebut dalam memberikan sanksi untuk hakim yang melanggar aturan. Misal dalam kasus Hakim Agung Timur Manurung, saat KY masih menginvestigasi kasus dugaan makan malam, ternyata MA muncul memberikan sanksi teguran yang menurut KY tak sebanding dengan kesalahannya.

Tak berhenti di situ, belum selesai persoalan kewenangan rekrutmen dan pengawasan hakim selesai, salah seorang hakim yang dilaporkan masyarakat ke KY malah balik melaporkan KY ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Sarpin Rizaldi. Alhasil dua komisioner KY Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri dijadikan tersangka lantaran dianggap terlalu banyak berkomentar perihal dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Sarpin.

Terhadap permasalahan hubungan antara KY dengan MA, Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengatakan tantangan terbesar KY ke depan salah satunya memang terkait harmonisasi hubungan antara KY dengan MA. Ia berharap fungsi pengawasan dapat berjalan lebih baik dan peradilan bersih akan tercipta. Ini menjadi tantangan terbesar KY ke depan lantaran ia mengakui hubungan antara KY dan MA memang kerap kali terdapat dinamika kadang ´panas dan dingin´.

"Sekarang kita undang hakim-hakim tinggi datang semua dan MA ada wakilnya. Saya kira ini satu dinamika biasa, tapi bagaimana menyelesaikannya dengan baik. Jadi tak bisa hindari itu. Jadi penyelesaiannya ya regulasinya harus jelas dan sering duduk bersama untuk membahas kesalahpahaman. Itu salah satu poin dalam 10 tahun terakhir. Sebab kalau tidak harmonis pengawasan tidak akan berjalan," ujar Imam usai acara ulang tahun 1 dasawarsa KY di Gedung KY, Jakarta, Kamis (13/8).

Ia melanjutkan KY dan MA memang tidak mungkin ´tercerai berai´ sehingga harus duduk bersama dan jangan sampai ada kesalahpahaman. Menurutnya upaya duduk bersama memang sempat berjalan beberapa kali. Tapi akhirnya enam bulan terakhir ini memang dua lembaga ini jarang melakukan hal tersebut. Padahal kalau KY dan MA bisa duduk bersama dua bulan sekali saja tentu akan menghilangkan kesalahpahaman yang ada. Misalnya kesalahpahaman atas berita yang bereedar di media massa.

Saat dikonfirmasi soal hubungan antara KY dan MA yang tak selalu harmonis ini, hakim agung Eddy Army mengatakan ia pribadi tak merasakan hal tersebut. Ia menyatakan hubungan pribadinya dengan komisioner KY pun berjalan seperti biasa bahkan tak berjarak ketika bertemu. Saat ditanya soal kewenangan KY yang seringkali dianggap berlebihan dari tugas yang seharusnya, ia pun menampik pandangan tersebut.

Ia menyatakan sama sekali tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Sebab ia hanya berpikir bagaimana negara ini bisa berjalan dengan baik.  "Hakim itu tidak boleh ngomong. Pokoknya apapun yang UU katakan kita laksanakan. Saya kan orangnya pekerja. Jadi saya tidak ambil pusing soal itu," ujar Eddy saat ditemui selepas acara ulang tahun KY di Gedung KY, Jakarta, Kamis (13/8).

AREA ABU-ABU - Imam mengatakan kewenangan pengawasan etik selalu KY usahakan dipisahkan dengan teknis yudisial. Misalnya dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran hakim ditemukan perkara yang bukan etik, KY akan langsung serahkan hal tersebut ke MA. Ia pun menegaskan selama ini KY tidak pernah ikut campur dalam hal teknis yudisial peradilan.

"Sejauh ini kami sudah sepakat kalau ada yang menyangkut etik kami selesaikan, yang non etik diteruskan ke MA," ujar Imam.

Imam menambahkan soal kewenangan antara KY dan MA memang masih ada wilayah ´abu-abu´. Contohnya dalam hal hukum acara. Ketika ada hakim yang melanggar hukum acara, KY menyebut hakim bersangkutan tidak profesional. Tapi MA atau sebagian hakim menganggapnya sebagai bagian dari teknis yudisial.

Wilayah ´abu-abu´ antara KY dan MA ini memang perlu diperjelas sehingga jangan sampai terhadap wilayah ini KY merasa berhak untuk menanganinya, sementara MA juga merasa demikian. Lalu Imam berpendapat kewenangan rekomendasi sanksi terhadap hakim yang melanggar etik juga dianggap belum efektif. Contohnya KY menyampaikan rekomendasi ke MA tapi setelah batas 60 hari, MA tidak memberikan kejelasan terhadap rekomendasi tersebut.

Berdasarkan UU KY, ketika ada perbedaan penilaian terhadap sanksi etik yang diberikan pada hakim, seharusnya terdapat pemeriksaan bersama. Tapi hal tersebut tidak pernah berjalan. "Apa UU-nya kurang jelas? Atau bagaimana harus dilihat lagi," ujar Imam.   

Terkait hal ini, pengamat peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi untuk Peradilan (Leip) Arsil mengatakan tidak benar bila MA tidak menerima kehadiran KY. Banyak juga kerjasama antara MA dan KY yang berjalan misalnya rekomendasi KY terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim pada MA. Tapi ia mengakui memang ada beberapa isu yang harus diselesaikan antara KY dengan MA.

"Misalnya batasan pengawasan masing-masing harus diperjelas," ujar Arsil saat dihubungi gresnews.com, Kamis (13/8).

Ia melanjutkan soal kewenangan pengawasan teknis yudisial misalnya memang bukan dalam ranah pengawasan perilaku. Hanya saja sekarang seperti ada kesan perbedaan wilayah, satu MA dan satunya lagi kewenangan KY. Padahal persoalan teknis yudisial sebenarnya bukan wilayah kedua lembaga tersebut. Masing-masing lembaga harus memahami batasan pengawasannya sejauh mana.

Lalu anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) fraksi PPP Arsul Sani mengatakan dalam satu dasawarsa ini ia melihat KY dari dua sisi. Pertama, manfaat keberadaan KY. Tidak bisa ia pungkiri dengan keberadaan KY, pengawasan terhadap lembaga peradilan menjadi lebih komprehensif dan transparan karena dilakukan oleh lembaga negara yang sifatnya eksternal dan bukan dari lembaga peradilan itu sendiri.

"Tapi sisi kedua masih ada persoalan kelembagaan antara KY dengan MA," ujar Arsul saat dihubungi gresnews.com, Kamis (13/8).

Ia menjelaskan ada dua persoalan hubungan kelembagaan antara KY dengan MA. Pertama terkait dengan wujud pengawasan soal KY yang masuk ke dalam ranah teknis yudisial. MA anggap pengawasan KY yang masuk ke dalam teknis yudisial mengganggu lembaga peradilan. Permasalahan ini sebenarnya persoalan interpretasi karena KY dan MA memiliki sudut pandang berbeda.

REVISI UU KY - Arsul menilai jalan tengah atas perbedaan sudut pandang yang berbeda dengan merevisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2014 tentang Komisi Yudisial (UU KY). UU KY menurutnya memang masuk ke dalam program legislasi nasional sehingga DPR akan memperjelas UU KY ini. Dari revisi diharapkan tidak ada lagi perbedaan tafsir mana ranah pengawasan yang menyangkut teknis yudisial atau etik. Kedua, terkait isu perekrutan hakim. DPR hanya tinggal menunggu putusan MK.  Ia harap MK bisa segera putuskan uji materi yang diajukan Ikahi terkait perekrutan hakim.
 
Lalu Arsil menuturkan dalam soal perekrutan hakim, KY harus menyadari permasalahannya ada dalam UU itu sendiri. Sebab pertanyaan mendasar dari persoalan hubungan KY dan MA dalam hal ini, apakah UU sudah memberikan kewenangan yang jelas pada dua lembaga ini. Misalnya soal siapa melakukan apa. Sebab ketika UU tidak memberikan batasan yang jelas soal kewenangan keduanya maka ini yang akan menjadi masalah.

Lalu karena kedua lembaga ini tidak memahami masalah dalam penafsiran UU maka muncul konflik. Sehingga hal ini menjadi konflik dua lembaga. padahal masalahnya bukan ada pada dua lembaga ini tapi masalahnya ada pada UU-nya. Persoalannya bukan KY harus diberi kewenangan merekrut hakim atau tidak, tapi apakah sudah ada batasan yang jelas soal kewenangan masing-masing.

"UU hanya sebutkan rekrutmen hakim dilakukan MA dan KY. Aturan teknisnya dibuat MA dan KY. Akhirnya tidak jelas wewenang MA dimana, KY dimana. Mekanismenya seperti apa? Siapa yang mempunyai power yang lebih tinggi? Bagaimana kalau tidak ada kesepakatan antara keduanya? Ini kan masalah hukum yang tidak terselesaikan dan menimbulkan konflik," lanjut Arsil.

Menanggapi hal ini, Imam sepakat untuk memperjelaskan kewenangan ´abu-abu´ antara KY dan MA. Kewenangan tersebut bisa diperjelas dengan peraturan bersama ataupun revisi UU. "Harus diperjelas kewenangan itu, syukur-syulur dengan UU," tutur Imam.

URUSAN PRIBADI - Selanjutnya, soal penersangkaan komisioner KY, Arsil berpendapat kasus itu tidak ada hubungannya dengan MA. Sebab persoalan itu menjadi hak Sarpin secara pribadi. Jangan tarik masalah pribadi menjadi masalah kelembagaan akhirnya menjadi konflik antar lembaga. Persoalan ini justru menjadi pelajaran bagi komisioner KY agar mengerti batasan wewenangnya.

"Tidak harus terjadi seperti ini. Jadi komisioner saat ini dan ke depan harus tahu batasannya," jelas Arsil.

Begitu pun Imam yang tak mau banyak berkomentar mengenai hal ini. KY kini hanya menyerahkan kasus laporan pencemaran nama baik Sarpin yang melibatkan dua komisioner KY ke kejaksaan. Menurutnya, pemerintah melalui mantan menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan sudah berinisiatif untuk memediasi laporan ini. Ia berharap mediasi tersebut bisa tercapai di kejaksaan.

"Kalau berlanjut saya khawatir ke depan menjadi preseden yang buruk. Setiap kami melakukan tugas bisa diadukan dan menjadi tersangka. Paling tidak nanti akan lobi lagi ke Pak Luhut, paling tidak mengingatkan komitmen pemerintah untuk mediasi. Syukur-syukur kalau Pak Tedjo sudah menyampaikan hal ini," kata Imam.

BACA JUGA: