JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya harus gigit jari terkait persoalan pemberian remisi (pengurangan masa hukuman) bagi terpidana kasus korupsi pada Idul Fitri tahun ini. KPK "dicuekin" oleh Kementerian Hukum dan HAM. Kementerian yang dipimpin oleh Yasonna Laoly itu rupanya tidak berkomunikasi dengan pihak KPK ketika memutuskan memberikan remisi bagi terpidana korupsi. "Saya belum menerima laporan mengenai hal itu (remisi)," kata Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji kepada gresnews.com melalui pesan singkat, Selasa (14/7).

Tak berkomunikasi dengan KPK saat memutuskan pemberian remisi bagi terpidana korupsi, tentu merupakan hal yang janggal. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, mensyaratkan hal tersebut.

Indriyanto menyadari, pemberian remisi merupakan kebijakan pemerintah seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun, kata dia, khusus untuk pemberian remisi bagi terpidana korupsi, ada pengecualian. "Atas dasar PP, memerlukan rekomendasi dulu dari KPK. Tentunya KPK mengharapkan masukan terlebih dahulu dari pihak Lapas (Lembaga Pemasyarakatan)," ujarnya.

Aturan soal rekomendasi itu sebenarnya tercantum dalam PP 99/2012, yang kerap dikenal oleh publik sebagai PP Pengetatan Remisi. Urutannya begini. Menurut Pasal 34A PP 99/2012, pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari enam tahun, juga harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.

Kesediaan untuk bekerjasama dengan penegak hukum itu harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal tersebut, instansi penegak hukum adalah instansi yang menangani kasus terkait, antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional (untuk kasus narkoba).

Remisi diberikan oleh Menteri hukum dan HAM dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Karena itulah, Indriyanto mewanti-wanti Kemenkumham agar lebih teliti memberikan remisi bagi terpidana korupsi. Sebab, kata dia, korupsi merupakan tindak pidana khusus yang menyebabkan kerugian negara serta menyengsarakan masyarakat luas.

NAPI KORUPSI DAPAT REMISI - Tanpa KPK, proses pemberian remisi terpidana korupsi pun jalan terus. Kepada gresnews.com melalui sambungan telepon, Kamis (16/7), Kepala Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Edi Kurniadi mengaku pihaknya telah mengajukan sebanyak 90-an nama terpidana korupsi untuk memperoleh remisi Lebaran tahun ini. "Hasilnya, tunggu keputusan pusat," ujarnya.

Namun, dalam percakapan itu, Edi enggan menyebutkan nama-nama terpidana korupsi yang diajukan untuk mendapat remisi. "Yang pastinya napi tipikor yang mendapatkan remisi khusus Idul Fitri adalah napi yang beragama Islam dan memenuhi persyaratan administratif maupun substantif," katanya, sembari menambahkan, kalau untuk terpidana kasus pidana umum, sebanyak 91 napi di Sukamiskin mendapatkan remisi.

Lapas Sukamiskin saat ini menampung 487 narapidana. Sebanyak 325 merupakan narapidana kasus korupsi. Sisanya, sebanyak 162 adalah narapidana kasus pidana umum. Tercatat sejumlah nama baik itu tokoh partai politik, hakim, kepala daerah, hingga pengusaha menghuni Lapas Sukamiskin dan menyandang status sebagai narapidana korupsi.

Mereka antara lain: mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tedjocahyono, mantan Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk, mantan Walikota Bandung Dada Rosada, dan mantan Walikota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito.

NAZARUDDIN DAN GAYUS - "Misteri" siapakah terpidana korupsi yang dapat remisi pun terkuak dari pernyataan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Jawa Barat Agus Thoyib, kemarin. Dari 609 terpidana korupsi di Jawa Barat, sebanyak 116 orang mendapatkan remisi yang bervariasi mulai dari 15 hari hingga 2 bulan.

Total napi di Jawa Barat yang memperoleh remisi adalah 9.743 orang dari 14.444 orang untuk semua kasus.

Ia menyebutkan terpidana korupsi kasus suap Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin mendapat remisi sebulan, terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan mendapatkan 1,5 bulan, mantan Walikota Bandung Dada Rosada memperoleh sebulan, dan terpidana kasus korupsi proyek PLTU Tarahan Emir Moeis, yang juga politisi PDIP, mendapat sebulan. "Kita masih menunggu SK dari Dirjen pemasyarakatan. Tapi biasanya sih sesuai usulan," ujarnya.

Mengapa Anas Urbaningrum tidak dapat remisi? "Dia belum bayar pidana denda dan uang pengganti, jadi belum bisa memperoleh remisi," katanya.

Ya, di tingkat kasasi, majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo Alkostar menghukum Anas dengan pidana penjara selama 14 tahun, denda Rp5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp57,5 miliar.

Aktivis antikorupsi langsung bersuara mengenai remisi bagi terpidana korupsi seperti Nazaruddin dan Gayus. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho berkata pemberian remisi bagi koruptor oleh Menkumham Yasonna Laoly hanya akan memperburuk citra pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Emerson, sejak dahulu publik sangat kritis dengan remisi bagi koruptor. Jangan sampai remisi yang diberikan malah menjadi bumerang.

"Remisi harus diberikan dengan syarat yang ketat, hanya mereka yang jadi justice collaborator yang dapat remisi," tutur Emerson.

KATANYA TIDAK MUDAH - Pemerintah masih berdalih bahwa pemberian remisi pada Lebaran tahun ini sangat ketat dan harus berkoordinasi dengan instansi penegak hukum. Acuannya PP Nomor 28 Tahun 2006 yang diperketat lagi dengan PP Nomor 99 Tahun 2012. "Ada persyaratan administratif dan substantif," kata Kepala Sub-Direktorat Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham M. Akbar Hadi kepada gresnews.com, Kamis (16/7).

Akbar menjelaskan mekanisme yang harus dilakukan bagi seorang napi mendapatkan remisi. Pertama, pihak Lapas mengajukan nama-nama narapidana terkait kepada kantor wilayah (kanwil) yang bersangkutan.

Untuk tindak pidana umum seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, ataupun pemalsuan dokumen, hanya memerlukan rekomendasi dari Kepala Kanwil. Beda halnya dengan narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi, Kepala Kanwil tidak bisa memutuskan sendiri, tetapi harus mengajukannya ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Pertimbangan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengacu pada PP 28/2006 dan PP 99/2012. Salah satunya yaitu narapidana harus menjalani 1/3 masa hukuman untuk mendapatkan remisi. "Jadi misalnya dihukum 15 tahun, nah dia sudah menjalani selama 5 tahun, baru bisa dipertimbangkan," ujar Akbar.

Kemudian yang bersangkutan juga berkelakuan baik selama menjalani masa hukuman. Selanjutnya, mereka juga bukan pelaku utama dan mau bekerjasama kepada aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa dalang sesungguhnya dari kasus tersebut. Hal ini biasa disebut dengan Justice Collabolator.

Syarat ini pun mengharuskan Kemenkumham untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Ya, memang harus berkoordinasi dulu," ujar Hadi menegaskan tentang koordinasi penegak hukum yang menurut pihak KPK tidak dilakukan oleh Kemenkumham. (dtc)

BACA JUGA: