JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Kepolisian menetapkan tersangka pada dua Komisioner Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri menimbulkan kerancuan dalam konteks pengawasan hakim. Karena antara pelapor dan yang ditetapkan sebagai tersangka memiliki posisi sebagai pengawas etik hakim dan hakim yang diawasi.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir menuturkan penetapan komisioner menjadi tersangka  memberikan dampak yang tidak sehat.  Sebab yang mengawasi dan diawasi malah saling berantem. "Dua-duanya memberi dampak. KY memberi dampak pada Sarpin dan laporan Sarpin memberi dampak pada KY. Jadi saling memberikan dampak," ujar Muzakkir saat dihubungi gresnews.com, Senin (13/7).

Dampak yang tidak sehat muncul lantaran perlu dipertanyakan keobjektifan rekomendasi KY terhadap Mahkamah Agung (MA) terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Sarpin. Begitupun dengan laporan Sarpin ke kepolisian, ia mempertanyakan kepolisian soal pernyataan dua komisioner yang mana yang dianggap sebagai tindak pidana.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil menilai hakim memiliki hak untuk melindungi nama baiknya. Hukum di Indonesia juga  memang melindungi penyelenggara negara untuk tidak mencemarkan nama baik.

Pencemaran nama baik itu sendiri terbagi dua yaitu menuduhkan sesuatu atau sekedar penghinaan. "Dampaknya kita jadikan pelajaran. Pejabat dalam mengeluarkan kata-kata harus hati-hati," ujar Arsil saat dihubungi gresnews.com, Senin (13/7).

TAK PENGARUHI KINERJA KY- Ia menilai penetapan dua komisioner KY sebagai tersangka tidak akan berpengaruh terhadap kinerja dan semangat pengawasan kode etik hakim. Sebab dari sekian banyak pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik hakim, ternyata hanya sebanyak tiga kali hakim melaporkan komisioner KY ke kepolisian.

Arsil mencontohkan misalnya pada awal tahun 2000-an. Saat itu tiba-tiba ada dokumen yang terpublikasi dan berisi rekomendasi 13 hakim yang dinyatakan bersalah. Masalahnya ke-13 hakim bersangkutan ternyata sama sekali tidak pernah diperiksa atau dipanggil KY. Artidjo Alkostar menjadi salah satu hakim yang masuk dalam daftar tersebut dan melaporkan komisioner KY ke kepolisian.

Lalu pada 2011, Mahkamah Agung (MA) secara kelembagaan melaporkan KY lantaran pernyataan Ketua KY Suparman Marzuki yang menyebutkan adanya tarif hakim untuk memutuskan sebuah perkara. Ketiga, pelaporan dilakukan Sarpin terhadap dua komisioner KY. Selebihnya ia tidak menemukan pelaporan komisioner KY ke kepolisian khususnya dalam menjalankan tugas pengawasan.

Dua komisioner KY dilaporkan ke polisi lantaran komentar mereka dianggap mencemarkan nama baik Hakim Sarpin yang menetapkan status Komjen Budi sebagai tersangka tidak sah. Komisioner KY juga menyebutkan putusan Hakim Sarpin yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan melampaui kewenangannya.

Tapi, menurut Muzakkir, harus diperjelas pernyataan tersebut dilontarkan sebelum atau sesudah putusan Sarpin soal praperadilan Budi Gunawan terbit. Sebab ketika dilontarkan setelah ada putusan praperadilan, perlu dilihat secara cermat apakah komentar tersebut sesuai atau tidak dengan etika saat mengomentari putusan atau menuduh Sarpin berbuat yang bertentangan dengan hukum.

Ia menjelaskan KY memiliki kewenangan memeriksa hakim atas dugaan pelanggaran etik. Maka sebenarnya sebagai pribadi, komisioner KY tidak boleh menggunakan dirinya secara pribadi untuk mengomentari pihak yang diperiksanya. Sebab ketika hal tersebut dikomentari maka produknya merupakan produk pemeriksaan.

Muzakkir menganalogikannya sama dengan ketika hakim tidak boleh berkomentar atas sebuah kasus yang sedang ditanganinya. Hakim hanya boleh memberikan pandangan melalui putusannya. Begitupun dengan komisioner KY.

Seharusnya komisioner KY tidak mengomentari putusan Sarpin untuk media. Apalagi komentarnya tersebut dilontarkan untuk perkara yang sedang ditangani KY. Komentar komisioner KY seharusnya dicantumkan dalam hasil pemeriksaan.

Pemberian komentar seorang pejabat negara menurut Muzakkir tidak dapat dapat dipisahkan menjadi pendapat personal. Sebab ketika seseorang menyandang status pejabat negara, jabatan tersebut melekat pada diri yang bersangkutan 1x24 jam.

PEJABAT HATI-HATI - Senada dengan Muzakkir, Arsil berpendapat komisioner KY memang harus berhati-hati dan bisa memilah informasi ketika menyampaikannya pada publik. Sebab ketika komisioner KY melakukan tugas dengan benar misalnya hanya melakukan pemanggilan untuk pemeriksaan, maka tidak akan celah untuk melaporkan komisioner KY ke kepolisian.

"Kalau dari itu maka bisa dilaporkan ke kepolisian," tutur Arsil.

Selanjutnya, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) fraksi PPP Arsul Sani mengatakan belum mengetahui persis bagian mana yang dianggap sebagai pernyataan komisioner KY bersangkutan hingga dilaporkan sebagai pencemaran nama baik oleh Sarpin. Tapi kalau aduannya berangkat dari sebuah pemberitaan di media tulis, online maupun cetak maka harus diproses hukum secara hati-hati dan teliti.

"Karena ini ada yang terkait dengan ketentuan UU Pers. Karena itu proses yang diatur dalam UU Pers harus diterapkan dalam kasus ini. Tentu tidak begitu saja menyetop proses hukum di Bareskrim. Sebab nanti pengadu juga merasa diperlakukan tidak adil. Tapi proses itu dijalani tidak ada salahnya," ujar Arsul pada gresnews.com, Senin (13/7).

Ia menambahkan proses hukum ini dilakukan terhadap pimpinan lembaga negara. Sehingga polisi harus menanganinya dengan sangat hati-hati dan cermat. Lalu karena penersangkaan ini dikenakan oleh pejabat negara yang bertugas mengawasi pejabat negara lainnya, harus digunakan rumusan yang lebih rigid mengenai pencemaran nama baik.

Sebab seorang pejabat negara seharusnya mempunyai kesadaran bahwa sebagian dari diri saya memang boleh dikritisi oleh publik. Ia mencontohkan dalam facebook Jokowi dimaki-maki, tapi tidak kemudian melihat facebook dan memprosesnya secara hukum.

Lalu misalnya ketika ada media yang mengkritisi anggota DPR karena tidak pernah bicara dan sering tidur, hal itu tidak boleh dikatakan sebagai pencemaran nama baik. Menurutnya, kriminalisasi terjadi kalau tindak pidananya tidak dilakukan lalu ada proses hukum.

Dalam konteks ini, tindakannya ada hanya saja yang dipertanyakan hal tersebut masuk ke ranah pencemaran nama baik atau bukan. Sehingga polisi harus jelaskan ketika sudah menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam kasus ini apakah sudah ada ahli yang didengar hal ini bagian dari pecemaran nama baik.

"Atau polisi sudah berkonsultasi dengan Dewan Pers yang ahli dalam soal delik pers tindak pidana yang melibatkan media. Polisi baru mengatakan menetapkan dua tersangka. Tapi atas dasar apa?" lanjutnya.

Dalam aturannya memang tidak ada kewajiban hukum agar polisi menjelaskan. Tapi dalam kasus dimana menyangkut pejabat negara dan yang menjadi pokok persoalan terkait dengan tugas konstitusional, harus dijelaskan secara terbuka. Potensi seperti itu tidak hanya pada KY.

Tapi media yang diberitakan harus ditarik sebagai pelaku yang turut serta atau membantu melakukan. Sehingga harus dibedakan kasus pencemaran nama baik yang menyangkut masyarakat biasa dengan kalau menyangkut pejabat publik. 

BACA JUGA: