JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam memberikan sanksi terhadap dugaan pelanggaran kode etik hakim nampaknya tak ‘seseram’ yang digambarkan Undang-Undang KY. Sebab dari seluruh pengawasan etik yang dilakukan KY, output pengawasannya hanya berupa rekomendasi yang tidak wajib dilaksanakan Mahkamah Agung (MA).

Kalaupun MA tak melaksanakan rekomendasi tersebut, maka tak ada sanksi bagi MA. Akibatnya, ada kesan banyak hakim berlindung di bawah MA. Peran KY dalam pemilihan hakim agung mungkin terasa manfaatnya bagi peradilan, tapi peran KY dalam pengawasan hakim dirasa tidak signifikan lantaran KY dibuat hanya sebagai lembaga pemberi rekomendasi yang tak bertaji.

Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengakui rekomendasi KY kadang memang tak dilaksanakan MA. Khususnya untuk dugaan pelanggaran etik hakim yang menjadi perhatian publik. Meskipun ia mengakui sebagian besar rekomendasi KY dilaksanakan MA. Dalam UU diatur ketika rekomendasi KY tak dilaksanakan MA, lalu MA memiliki pendapat lain, seharusnya ada pemeriksaan bersama.

Sementara menurutnya pemeriksaan bersama tidak pernah berjalan. Kerap kali atas rekomendasi KY tersebut, MA menjawabnya dengan alasan persoalan tersebut bukan kewenangan KY. Menurut Imam, dalam konteks ini ‘suka-suka’ MA untuk melaksanakan atau tidak rekomendasi KY sebab tidak diatur sanksi ketika MA tak melaksanakan rekomendasi KY.

"Pemeriksaan bersama dilakukan karena ada unsur KY dan MA. Tapi tidak dilaksanakan MA," ujar Imam pada gresnews.com, Minggu (12/7).

Padahal dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (UU KY), diatur dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara KY dan MA mengenai usulan KY tentang penjatuhan sanksi dan MA belum menjatuhkan sanksi dalam jangka waktu dimaksud Pasal 22D ayat (3), maka usulan KY berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh MA.

Lalu dalam Pasal 22E ayat (2) UU a quo disebutkan dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara KY dan MA mengenai usulan KY tentang penjatuhan sanksi ringan, sedang, dan berat, maka dilakukan pemeriksaan bersama antara KY dan MA terhadap hakim yang bersangkutan. Selanjutnya ayat (3) dalam hal MA dan KY dalam jangka waktu dalam Pasal 22D tidak mencapai kata sepakat, maka usulan KY sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 22B ayat (1) huruf a berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan MA. Ayat (4) UU a quo mencantumkan aturan ketentua tata cara pemeriksaan diatur bersama oleh KY dan MA.

Imam mencontohkan rekomendasi KY yang tidak dijalankan MA terkait perkara hakim yang menangani kasus Antasari Azhar. Lalu Hakim Darmin Sanusi yang saat seleksi calon hakim agung perkataannya dianggap ‘menusuk’ perasaan kaum wanita ketika ditanya soal perkosaan. Menurutnya, saat itu KY sudah merekomendasikan agar ada MKH.

"Walaupun sudah gregetan dan sudah tahu bahwa misalnya perkara hakim ‘ini’ melanggar UU. Tapi kita tidak bisa menyimpang dari ketentuan UU," lanjut Imam.

Imam menambahkan peran KY dalam pemeriksaan dan pemberian rekomendasi dilakukan dalam rangka kebaikan dalam menjaga dan menegakkan martabat hakim. KY juga bukan mencari kesalahan hakim.

Untuk diketahui, dalam perkara hakim yang menangani Antasari Azhar, pada 10 Agustus 2011 KY merekomendasikan pada MA agar tiga hakim Herry Swantoro, Ibnu Prasetyo, dan Nugroho Setiadji dinonpalukan selama 6 bulan. Sebab majelis hakim itu dianggap melanggar kode etik perilaku hakim karena mengabaikan bukti dan beberapa keterangan ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus pembunuhan. Dalam rekomendasi tersebut, KY juga mengusulkan agar dibuat Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Tapi pada September 2011 ternyata MA malah memutuskan untuk menolak rekomendasi KY.

Selanjutnya pada 22 Januari 2013 KY juga pernah memberikan rekomendasi pemecatan tidak hormat pada MA terkait Hakim Daming Sunusi yang melontarkan pernyataan bahwa pelaku dan korban pemerkosaan sama-sama menikmati pemerkosaan. Pernyataan ini diucapkan Daming saat mengikuti fit and proper test calon hakim agung di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Atas rekomendasi ini, pada 13 Februari 2013 MA berpandangan persoalan Daming tidak perlu sampai disidangkan ke MKH. Sebab pernyataan Daming dikatakan bukan dalam persidangan tapi dalam ujian calon hakim agung.

Sepanjang 2010 hingga 2014, dikutip dari website resmi KY, laporan masyarakat pada KY atas dugaan pelanggaran kode etik hakim sebanyak 3.685 laporan. Dari laporan tersebut, 1.679 laporan tidak bisa ditindaklanjuti dan 1.380 laporan ditindaklanjuti hingga  pemeriksaan serta usulan sanksi sebanyak 327 pada MA.

REKOMENDASI KY TAK BISA MENGIKAT HAKIM - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil menuturkan kewenangan untuk menerapkan sanksi khususnya yang berdampak pada konsekuensi administrasi adalah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Sehingga MA yang berwenang untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan sanksi pada hakim. Konsep tersebut harusnya dipahami oleh pembuat UU.

"Ketika dalam UU sebelumnya rekomendasi KY banyak yang tidak ditindaklanjuti, maka dipaksa dengan cara rekomendasi mengikat. Bagaimana mengikatnya ketika KY tidak memiliki kewenangan administratif? Jadi konsepnya sudah salah," ujar Arsil saat dihubungi gresnews.com, Minggu (12/7).

Menurutnya, dilihat dari perspektif norma yang ada, rekomendasi KY memang tidak bisa mengikat hakim. Persoalan selanjutnya, kenapa MA tidak mau mengikuti rekomendasi KY disebabkan adanya perbedaan sanksi terhadap hakim antara kedua lembaga tersebut. Mekanisme untuk menemukan jalan perbedaan tersebut yang seharusnya dibuat untuk memberikan sanksi pada hakim.

Dalam UU KY memang sudah diatur adanya mekanisme pemeriksaan bersama. Tapi sebelum pemeriksaan bersama tersebut, seharusnya ada mekanisme yang mengatur soal perlu atau tidak pemeriksaan rekomendasi bersama antara KY dan MA. Ia menilai semangat dalam pembuatan UU KY terlalu mengedepankan tujuan bagaimana agar kewenangan KY bisa diperbesar.

Ia menilai seharusnya pembuat UU tidak memikirkan bagaimana memperbesar kewenangan KY. Tapi memikirkan bagaimana kehormatan hakim bisa terjaga. Sebab kewenangan KY ditujukan untuk menjaga kehormatan hakim dan bukan sebaliknya.

BERKACA DARI KASUS SARPIN - Arsil menambahkan dalam rekomendasi KY perlu dilihat lagi kenapa MA tidak mau menindaklanjutinya. Ia mencontohkan ketika ada 1000 rekomendasi lalu ada 100 yang tidak ditindaklanjuti, maka bukan berarti kewenangan KY tidak efektif. Menurutnya, dari 100 rekomendasi KY yang tidak dijalankan MA, ia mencurigai kemungkinannya karena KY yang kebablasan. Akibatnya MA tidak mau mngikuti rekomendasinya.

Contoh rekomendasi KY terhadap kasus dugaan pelanggaran etik Hakim Sarpin, ia menilai KY sudah melampaui kewenangan. Sebab teknis malah diurusi KY. Padahal MA pun ada batasan dalam soal pengawasan teknis yudisial terhadap hakim. Dalam teknis yudisial, MA tidak boleh memberikan sanksi pada hakim.

"Dalam kasus Sarpin itu yang  mau incar KY sebenarnya,  menyatakan putusan Sarpin salah. Itu sudah sangat clear apa yang dikehendaki KY. KY sendiri sebenarnya melakukan pelanggaran etik karena dia sudah menentukan apa yang mau diputus," tutur Arsil.

Menurutnya, banyak kasus seperti Sarpin lainnya yang direkomendasi KY pada MA. Lalu MA menganggap rekomendasi tersebut sudah melampaui kewenangan. Sehingga kewenangan KY dinilai tidak perlu lagi diikuti. Untuk itu harus dilihat lagi kenapa rekomendasi-rekomendasi KY pada MA tidak diikuti.  

PERBEDAAN REKOMENDASI DKPP DAN KY - Imam menyatakan ‘iri’ dengan lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang saat ini dipimpin Jimly Asshiddiqie. Sebab semua rekomendasi DKPP dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meski begitu, bukan berarti ia menginginkan agar KY diberi kewenangan untuk mengeksekusi langsung dugaan pelanggaran kode etik hakim. Tapi setidaknya rekomendasi KY bisa dilaksanakan.

"KY tidak punya keinginan muluk jadi pengeksekusi karena kita bukan pelaku penegakan hukum. Kita bagian dari kekuasaan kehakiman tapi bukan pelaksanakan kekuasaan kehakiman. Kita tidak bisa menyimpang dari itu. Tapi yang penting dengan kewenangan yang sejumput itu bisa dilaksanakan sesuai ketentuan itu sudah bagus," ujar Imam.

Imam mengakui memang antara KY dengan DKPP tidak bisa serta merta langsung disamakan. Sebab KPU memang menjadi lembaga yang dapat dikatakan masih baru sehingga bisa menerima pengawasan dari DKPP. Sementara, ia menilai hakim-hakim sudah terlalu lama tidak diawasi dan merasakan pengawasan yang longgar. Sehingga ketika ada pengawasan, para hakim ini malah menjadi resisten.

Terkait perbedaan perlakuan antara KY dengan DKPP ini, Arsil menilai KY dan DKPP jelas berbeda. Sebab peran KY menyangkut independensi hakim. Menurutnya, tidak akan ada orang yang mau sengketanya diselesaikan oleh pihak yang tidak netral. Sehingga esensi hakim harus independen. Persoalan independensi hakim dalam menyelesaikan masalah ini tentu akan sangat berbeda dengan tugas panitia pemilu.

"Apalagi panitia pemilu kerjanya kalau sudah mau pemilu. Setahun sekali. Hakim tiap hari," ujar Arsil.

Arsil menambahkan paradigma UU KY memang cenderung melihat hakim sebagai musuh. Sehingga KY hanya melakukan pengawasan saja. Sementara tindakan pengawasan cenderung pada tindakan untuk mencari kesalahan. Dalam konstitusi disebutkan KY memiliki fungsi mengangkat hakim agung dan memiliki wewenang lain untuk menjaga martabat hakim yaitu pengawasan.

Menurutnya, pengawasan hanya menjadi salah satu cara untuk menjaga martabat hakim. Persoalannya, UU KY memang lebih menonjolkan KY dalam pengawasan terhadap hakim. Menurutnya hal ini yang membuat KY seakan mencari-cari kesalahan agar hakim bisa diberikan sanksi. Paradigma UU ini menurutnya yang membuat munculnya potensi konflik MA, hakim dengan KY menjadi tinggi.

"Jadi bukan sekadar Pasal 22E UU KY. Jadi konsepnya memang banyak yang kacau," ujarnya.

PERLU PERUMUSAN ULANG - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan persoalan hubungan kewenangan antara MA dan KY memang harus ditata ulang. Caranya dengan merevisi baik UU KY maupun UU MA. "Kebetulan kedua UU tersebut ada dalam program legislasi nasional DPR 2015-2019," ujar Arsul saat dihubungi gresnews.com, Minggu (12/7).

Ia menilai kewenangan KY perlu ditata ulang agar tegas. Lalu baik DPR maupun pemerintah selaku cabang-cabang kekuasaan yang terlibat dalam pembentukan UU harus menetapkan legal policy yang lebih jelas, apakah akan memperkuat kewenangan dan kelembagaan KY atau mempersempitnya melalui revisi UU KY.

Terkait hal ini, Imam mengatakan pada saatnya ada amandemen UUD 1945, KY memang harus ditata ulang. Selama belum ada penata-ulangan wewenang, KY tentunya akan melaksanakan ketentuan yang ada secara optimal. "Kalau terhalang itu tantangan yang perlu dibenahi bersama," tutur Imam.

BACA JUGA: