JAKARTA, GRESNEWS.COM – Terungkapnya kembali kasus penyuapan terhadap hakim, seperti kasus tertangkapnya Kepala Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dan dua hakimnya, mengungkit peran Komisi Yudisial  (KY) dalam pengawasan hakim. Termasuk kewenangannya untuk melakukan penyadapan yang selama ini tidak bisa dilaksanakan meski telah tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (UU KY).

Selama ini kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan penyadapan tak bisa dilaksanakan, karena dinilai tak diperlukan. Sebab penyadapan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi seseorang. Sehingga wewenang tersebut hanya boleh dilakukan dalam konteks penegakan hukum. Dalam hal ini yang berwenang adalah aparat penegak hukum. Sementara lingkup kewenangan Komisi Yudisial hanyalah menjaga kehormatan hakim yang bersifat etik.

Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengakui terdapat kewenangan penyadapan yang diberikan UU pada KY. Tapi dalam prakteknya mandat UU tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan benar. Imam menyebutkan soal kewenangan KY untuk melakukan penyadapan terhadap hakim-hakim yang diduga melakukan pelanggaran etik.

"Tapi ketika menggandeng kepolisian, dia menolak. Karena di UU lain dikatakan bahwa polisi bisa melakukan penyadapan dan perekaman dalam konteks penegakan hukum. Sementara KY wilayahnya etik. Itu jadi kendala," ujar Imam kepada gresnews.com, Minggu (11/7).

Imam menambahkan persoalannya memang perlu ada harmonisasi dan sinkronisasi antar UU agar jangan ada norma yang malah bertentangan. Akibatnya hukum di Indonesia ini ‘letih’ karena ketidaksinkronan tersebut. Menurutnya, hal ini perlu segera diperbaiki.

Kewenangan penyadapan memang menjadi wewenang KY sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Dalam Pasal 20 ayat (3) UU KY disebutkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, KY dapat meminta bantuan pada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh hakim. Lalu Pasal 20 ayat (4) tercantum ketentuan aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan KY sebagaimana dimaksud pada ayat (3).  

PERJELAS KEWENANGAN MENYADAP - Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Desmond J Mahesa mengatakan ke depan memang perlu diperjelas istilah penyadapan tersebut. Sehingga kapasitas KY, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi akan diperbolehkan melakukan penyadapan. Hanya saja perlu diatur wilayah-wilayah tertentunya.

"Misalnya polisi boleh melakukan penyadapan pada saat diduga apa, harus ada hakim pengawas dalam KUHAP. Termasuk bagaimana mekanisme KY dan polisi pada tahap melakukan penyadapan,” ujar Desmond saat dihubungi gresnews.com, Minggu (12/7).

Menurutnya, ada wilayah KY yang lebih pada persoalan etik dan wilayah jaksa, kepolisian juga KPK yang menyadap untuk tindak kriminal. Ia menilai lembaga-lembaga yang saling terkait tersebut bisa melakukan kerjasama dalam penyadapan.

Ia mencontohkan belakangan ini terdapat operasi tangkap tangan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara di Medan. Dalam kasus tersebut menurutnya harus ada kerjasama antara KPK, KY, dan kepolisian dalam rangka melakukan penyadapan.

Dalam kasus Medan tersebut pihak yang proaktif memang KPK. Sebab, menurutnya, sejak seorang pejabat dilantik, KPK berhak melakukan peyadapan. Sementara untuk kewenangan KY menyadap, Komisi III masih perlu merumuskannya dalam KUHP dan KUHAP. Sehingga penyadapan yang dilakukan KY pada nilai etik agar polisi bisa membantu KY.

PENYADAPAN WILAYAH PIDANA - Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakkir mengatakan prinsipnya harus kembali pada asas bahwa kalau hanya terjadi dugaan pelanggaran kode etik hak hakim dinilai tidak boleh dirampas. Sehingga penyadapan tidak boleh dilakukan untuk pelanggaran etik.

"Kalau pelanggaran etik itu mengarah pada tindak pidana, maka pakai saja tindak pidananya. Sebab kalau pelanggaran tindak pidananya ada maka pelanggaran etiknya juga ada. Misalnya KY menduga ada suap, lapor saja ke polisi mohon disadap, itu tidak apa," ujar Muzakkir kepada gresnews.com, Minggu (11/7).

Menurutnya, yang disadap bukan pelanggaran etiknya tapi lebih pada pelanggaran pidana. Kalau penyidik berhasil membuktikan terdapat dugaan pelanggaran pidana maka bisa dipastikan pelanggaran etiknya juga akan terkena. Sebab tingkatan terberat dari pelanggaran etik adalah pelanggaran pidana.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil menuturkan penyadapan dilakukan sebenarnya untuk mencari bukti atas dugaan pelanggaran hukum. Penyadapan itu sendiri sebenarnya bisa dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi yang diperbolehkan.

"Jadi sifatnya upaya paksa. Karena itu upaya paksa yang melanggar hak asasi maka harus dibatasi untuk kepentingan tertentu saja. Jadi tidak semua hal bisa disadap. Penyadapan hanya bisa dilakukan untuk penegakan hukum yaitu pidana," ujar Arsil saat dihubungi gresnews.com, Minggu (11/7).

Menurutnya, konsep penyadapan yang ada di UU dianggap memang kacau. Sebab perilaku yang dimaksud dalam UU KY bukan perilaku pidana. Sebab kalau perilaku pidana sudah ada yang mengurusi yaitu kepolisian dan KPK. Jadi yang dimaksud dengan perilaku hakim, tidak digolongkan pada perilaku pidana. Ketika perilaku hakim tidak masuk pidana, ia mempertanyakan perilaku apa yang ingin diketahui dari penyadapan. Hal itu yang tidak jelas konsepnya dalam UU KY. "Jangan nanti semuanya mau disadap," ujarnya.

Menurutnya, ayat tersebut harus dibatalkan. Jangan karena penyadapan KPK dianggap sukses, lalu semua pihak meminta kewenangan penyadapan untuk hal yang tidak tepat. Ia mencontohkan kalau ada tindakan suap yang dilakukan tersangka pada seseorang, menurutnya hal itu masuk ke tindak pidana korupsi yang tentunya menjadi kewenangan KPK.

Arsil berpendapat setiap pelanggaran pidana pasti akan masuk ke dalam pelanggaran etik. Jadi pidana merupakan pelanggaran etik yang sudah sangat ‘parah’. Sementara perilaku pidana bukan merupakan wilayah KY. KY hanya mengawasi perilaku hakim. Sehingga perilaku yang menjadi objek KY lebih pada perilaku yang tidak masuk ke dalam kategori pidana. Sebab perilaku pidana merupakan ranah penegak hukum. Ia menilai perilaku yang tidak diawasi siapapun merupakan perilaku yang sifatnya etik.

INTEGRASI PENGATURAN PENYADAPAN - Untuk diketahui, aturan mengenai penyadapan memang tersebar di sejumlah UU. Diantaranya UU KY, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010.

Pada Pasal 40 UU Telekomunikasi mengatur tiap orang dilarang menyadap informasi yang disalurkan jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun sebagai kegiatan penyadapam yang tidak legal. Lalu dalam Pasal 41 UU tersebut menyatakan penyelenggara komunikasi memiliki kewajiban merekam pemakaian fasilitas komunikasi. Hanya saja dalam Pasal 42 ayat (1) UU tersebut di atur penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima.  Jika aturan pasal ini dilanggar maka perusahaan penyedia telekomunikasi bersangkutan mendapat sanksi pidana penjara atau denda dua ratus juta rupiah.

Lalu Pasal 30 UU ITE mengatur larangan mengakses komputer dan sistem elektronik milik orang lain untuk mencuri informasi atau dokumen elektronik dengan cara apapun secara melawan hukum. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) UU KPK berisi aturan kewenangan KPK untuk menyadap guna melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Adapun Pasal 75, Pasal 77, dan Pasal 78 UU Narkotika memperbolehkan penyidik Badan Narkotika Nasional melakukan penyadapan atas izin pengadilan maupun tanpa izin ketua pengadilan. Penyadapan dengan izin ketua pengadilan dilakukan bila ada bukti awal yang cukup dalam waktu tidak lebih dari 3 bulan sejak surat penyadapan diterima penyidik.

Lalu menyadap tanpa izin pengadilan dapat dilakukan dalam keadaan mendesak dan setelah itu meminta izin pada ketua pengadilan dalam waktu tidak lebih dari 1 x 24 jam. Selanjutnya pada Pasal 31 UU Pemberantasan Terorisme diatur penyadapan diperbolehkan dengan ketentuan ada izin dari pengadilan negeri dengan waktu tidak lebih dari satu tahun.

PUTUSAN SOAL PENYADAPAN - Lalu Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata pernah memutus terkait persoalan penyadapan. Permohonan uji materi itu diajukan oleh Anggara dari Institute for Criminal Justice Reform, besama seorang advokat Supriyadi Widodo Eddyono, dan seorang peneliti Wahyudi Djafar. Mereka menggugat Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang mengamanatkan pembentukan peraturan (PP) pemerintah tentang cara intersepsi atau penyadapan.

Landasan pemohon menggugat pasal tersebut lantaran penyadapan dianggap melanggar hak privasi seseorang yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sehingga seharusnya aturan penyadapan diatur melalui UU dan bukan PP. Atas uji materi tersebut, MK mengabulkan seluruhnya permohonan pemohon untuk membatalkan pasal tersebut.

Dalam pertimbangan putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 MK menyebutkan penyadapan merupakan proses merekam informasi, kegiatan yang melanggar hukum sehingga harus dilarang, dan hanya dapat dilakukan penyidik pejabat kepolisian yang berwenang.

Belum ada aturan yang komprehensif mengenai penyadapan yang tersebar di sejumlah UU dengan mekanisme yang berbeda-beda, memungkinkan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sehingga penyadapan harus mengatasnamakan lembaga yang memiliki kewenangan yang diberikan UU. Tujuannya agar tidak melanggar privasi ataupun hak asasi warga negara.

Lalu dalam putusan MK juga dijelaskan penyadapan harus dilakukan jika yang disadap dinilai mengandung kepentingan khusus, mendesak, dan tidak sewenang-wenang melanggar rights of privacy orang lain. Bahkan menurut majelis hakim konstitusi, sejumlah UU yang memberikan kewenangan dan mengatur penyadapan masih belum memberikan tata cara yang lebih jelas mengenai penyadapan. Misalnya terkait prosedur pemberian izin, batas kewenangan penyadapan dan soal siapa yang berhak melakukan penyadapan.

Selama ini penyadapan memang menjadi salah satu kewenangan aparat penegak hukum dalam membantu penyelidikan dan penyidikan dalam proses hukum untuk mengungkap tindak pidana. Tapi MK berpendapat kewenangan aparat tersebut pun harus tetap dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Selanjutnya, MK menilai perlu ada UU khusus yang mengatur mengenai penyadapan pada umumnya hingga tata caranya. UU ini dinilai dibutuhkan karena belum ada aturan yang sinkron mengenai penyadapan yang berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara.

BACA JUGA: