JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah gagal disahkan menjadi undang-undang oleh para anggota DPR periode 2009-2014 yang lalu, kini pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan telah memasuki babak baru. Komisi II DPR RI sudah menyerahkan draf RUU Pertanahan yang baru kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk diharmonisasi. Rencananya tahun ini juga Komisi II akan menuntaskan pembahasan RUU tersebut.

Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman mengatakan, harmonisasi diperlukan karena ada beberapa alasan. Pertama karena DPR periode sekarang tidak menjalankan carry over undang-undang yang pernah dibahas periode sebelumnya. "Itu artinya pembahasan yang sudah pernah dilakukan tidak serta merta dilanjutkan namun pembahasannya tetapi dimulai dari awal lagi," kata Rambe kepada gresnews.com, Sabtu (11/7).

Kemudian, harmonisasi juga diperlukan untuk mengakomodir perubahan-perubahan yang telah terjadi baik itu dalam tataran pemerintahan maupun perundang-udangan. "Contohnya pada pembahasan periode lalu itu belum ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang tetapi Badan Pertanahan Nasional, sekarang kan sudah ada, sehingga harus disesuaikan. Setelah harmonisasi di Baleg tuntas, maka akan diajukan ke Sidang Paripurna untuk disahkan RUU-nya kemudian meminta Surat Presiden serta Amanat Presiden agar bisa dimulai pembahasaanya dengan kementerian terkait," urai Rambe.

Rambe menjelaskan ada beberapa isu krusial yang ada dalam RUU ini yang dinilai sanat penting dalam rangka menyelesaikan masalah pertanahan di dalam negeri. Menurutnya, RUU pertanahan ini akan sangat terkait dengan penjabaran dari UU No.2 Tahun 1960 hingga UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

"Ini berkaitan dengan mekanisme pembagian bagi hasil sumberdaya alam yang sangat bersinggungan dengan kewenangan dan tata ruang, kewenangan soal perizinan, dan bagaimana cara mengatur sumber daya alam yang ada di atas dan di bawah bumi," ujar legislator dari Sumatera Utara ini.

Rambe mengungkapkan, RUU ini ke depan juga menawarkan mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan yang marak dan masif di Indonesia. Solusinya adalah pembentukan Badan Peradilan Pertanahan. Rencananya peradilan pertanahan ini akan dibentuk di tiap-tiap provinsi, karena konflik tanah di tingkat provinsi paling tinggi jumlahnya.

"Penyelesaian sengketa agraria sebelum masuk ke pengadilan diatur agar ada mediasi dari kedua belah pihak terlebih dahulu. Kalau mediasi gagal maka barulah kasus tersebut bisa diajukan ke pengadilan pertanahan. Selama ini ribut karena belum ada mediasi sudah masuk pengadilan duluan," pungkasnya.

BUKAN PENGGANTI UU POKOK AGRARIA - Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Dewi Sartika mengatakan, sebetulnya di dalam pembahasan periode yang lalu ada beberapa isu krusial yang masuk RUU ini. Misalnya, hubungan antara negara dan masyarakat hukum adat dan hubungan orang dengan tanah, hak atas tanah, reforma agragria, pendaftaran tanah, penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial, serta penyelesaian sengketa.

Dewi mengingatkan kepada DPR agar RUU Pertanahan ini jangan sampai nantinya akan menggantikan UU PA 1960. Posisi UU Pertanahan ini, kata dia, lebih tepat untuk memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang belum jelas di UU PA tersebut. "RUU ini lebih ditempatkan sebagai operasionalisasi dari UU PA bukan sebagai penggantinya. Apa yang belum jelas di UU PA yang akan dijelaskan di RUU Pertanahan," ujarnya kepada gresnews.com, Sabtu (11/7).

Berkaitan dengan Bab yang mengatur soal reforma agraria, Dewi masih keberatan dengan isi pasal-pasal yang diatur di dalamnya. Menurutnya  isinya masih mencampuradukan reforma agraria dengan legalisasi dan sertifikasi tanah. "Jadi ini bentuknya bukan reforma agraria, melainkan hanya semacam redistribusi tanah saja," ujarnya.

Seharusnya, kata Dewi, reforma agraria itu untuk memperbaiki struktur yang timpang dalam kepemilikan tanah. Misalnya tanah-tanah kelebihan maksimum yang dimiliki perusahaan-perusahaan perkebunan. Lalu tanah-tanah yang ditelantarkan yang jadi obyek dari reforma agraria.

"RUU Pertanahan harus menyadari ada ketimpangan dan itu yang harus diperbaiki. Bukan sekadar bagi-bagi tanah apalagi legalisasi asset," ujarnya.

Dewi pun masih belum yakin dengan mekanisme penyelessaian konflik yang ditawarkan RUU ini. Karena hanya mengandalkan penyelesaian berdasarkan hukum positif. Menurut Dewi bukan pengadilan pertanahan yang dibutuhkan untuk penyelesaian konflik agraria, melainkan penghargaan dan pengakuan hak-hak masyarakat kecil seperti petani dan masyarakat adat.

"Mayoritas kalau dilihat dari hukum posistif mereka akan kalah dalam pengadilan pertanahan ini. Karena kalau dilihat dari bukti-bukti kepemilikan mereka belum ada, misalnya seperti sertifikat," ujarnya.

Dewi lebih percaya bila jalan keluar untuk menyelesaikan konflik agraria ini lebih kepada pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di bawah presiden terlebih dahulu. Ini untuk menuntaskan konflik agraria dari masa lalu yang belum terselesaikan. Karena untuk menyelesaikannya harus ada mekanisme khusus untuk menyelesaikannya.

"Pengadilan pertanahan itu baru untuk tahap berikutnya, terutama untuk menyelesaikan kasus-kasus yang baru bukan konflik dari masa lalu," tegasnya.

Dewi mendorong  RUU Pertanahan ini juga untuk membenahi administrasi pertanahan karena Indonesia belum punya satu pintu pengelolaan administrasi pertanahan. Selama ini administrasi dan pengelolaam penguasaan pertanahan ada di dua kementerian yaitu 70 persen di kehutanan dan sisanya ada di bawah BPN atau Kementerian Agraria sekarang.

PENGAKUAN UNTUK MASYARAKAT ADAT - Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan mengungkapkan, dalam RUU Pertanahan ini harus ada penegasan terhadap status tanah-tanah yang masuk ke dalam wilayah hutan.

"Mestinya Kementerian Kehutanan itu difungsikan sebagai penjaga fungsi hutan saja. mereka tidak boleh mengurusi yang namanya status penguasaan karena itu harus ada di kementerian agraria dan tata ruang, itu akan sejalan dengan keputusan MK Nomor 35 Tahun 2013 bahwa kepemilikan terhadap kuasa atas tanah itu harus ada di kementerian tersebut," ujarnya kepada gresnews.com.

Menurut Abdon, hal lain yang belum jelas pengaturanya dalam RUU ini adalah soal tanah milik masyarakat adat atau hak ulayat. Selama ini menurut Abdon belum ada satu pun undang-undang yang menjamin masyarakat adat atas tanah yang mereka miliki. "Sejak tahun 1960 sejak UU PA lahir, belum ada mengenai sistem pendaftaran mengenai wilayah adat. Jadi itu yang harus dibahas," tegasnya.

Abdon menilai, adanya klausul yang mengatur soal pembentukan peradilan agraria itu harus dipertahankan dalam pembahasan ke depan. Jangan sampai mekanisme permanen terhadap sengketa agraria yang ada, justru hilang setelah ada harmonisasi di Baleg.

Abdon menegaskan jangan sampai norma yang ditetapkan dalam RUU Pertanahan ini melenceng dari garis Ideologi yang sudah ada di UU PA. Abdon khawatir bila itu terjadi maka tanah akan diperlakukan sebagai komoditi atau barang dagangan. "Suatu saat nanti makin banyak hak dari rakyat atas tanah yang jatuh kepada para pemodal," ujarnya.

BADAN PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA LEBIH DIBUTUHKAN - Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan pesimis UU Pertanahan ini akan menjadi kunci menyelesaikan persoalan agraria di tanah air. Abetnego lebih memilih agar pelaksanaan UU PA 1960 lebih dijalankan secara maksimal ketimbang membuat undang-undang yang baru.

Semua hal yang menyangkut persoalan agraria, kata dia, sudah diatur dalam undang-undang tersebut. Untuk konflik agraria misalnya, UU PA sudah memberikan jalan lewat refroma agraria. "Ketika itu dapat berjalan maka penyelesaian konflik itu otomatis sudah termasuk di dalamnya," kata Abetnego kepada gresnews.com.

Abetnego mengakui memang seolah-olah RUU Pertanahan ini menjadi sebuah tahapan menuju reforma agraria. Namun dia menyarankan agar pemerintah lebih baik membentuk badan penyelesaian konflik agraria yang berada di bawah presiden dan lintas sektoral. "Kita mewarisi konflik yang banyak sehingga tidak mungkin diselesaikan kasus per kasus lewat peradilan pertanahan," tegasnya.

Karena itu, kata Abetnego, daripada menunggu undang-undang, lebih baik presiden mengeluarkan peraturan presiden untuk membentuk badan tersebut agar tidak terjebak pada dikotomi antara kementerian kehutanan dengan kementerian agraria. Sehingga lebih mudah menyelesaikan persoalan. "Kita jump to conclusion seperti butuh undang-undang padahal perpres sudah cukup," ujarnya.

Bila mengacu pada TAP MPR tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam, menurut Abetnego itu harus dilakukan sinkorisasi terhadap kebijakan yang ada, dan kedua segera menyelesaikan konflik-konflik yang ada.

"Kalau RUU Pertanahan itu perdebatannya akan ke arah itu maka baru akan selesai dalam dua tiga tahun ini.  Itu membuang waktu lagi. Semangat RUU Pertanahan tidak ketemu dengan logika waktu dan kebutuhan penyelesaian segera ini. Kalau orang yang senang dengan pembuatan kebijakan itu memang menarik tapi masyarakat kan butuh segera," ujarnya.
 
Namun Abetnego tetap mengingatkan kepada pemerintah untuk memperhatikan politik alokasi sumber daya dalam pembahasan RUU Pertanahan nanti. Menurutnya, sekarang penguasaan sumber daya alam agraria itu semua sudah timpang.

Dia mencurigai jika RUU Pertanahan ini hanya akan mengakomidir kepentingan pengusaha untuk mendapatkan tanah saja. "RUU Pertanahan ini penting terkait dengan pembangunan infrastruktur, tapi kami melihat kepentingan yang muncul adalah untuk memuluskan pengusaha," pungkasnya. (Gresnews.com/Lukman Al Haris)

BACA JUGA: