JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kedaulatan pangan yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah dinilai jargon belaka. Pemerintah belum benar-benar berpihak kepada kehidupan para petani.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Pangan, Fransiscus Welirang, menilai pemerintah belum mampu memposisikan kedaulatan pangan secara pasti. Padahal hakikat kedaulatan itu adalah hak konstitusional petani untuk menentukan masa depannya.

Namun jika berkaca pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2014, ternyata terdapat banyak penggelembungan seperti luas lahan pertanian serta produksi gabah dan jagung. Produksi padi 70 juta ton gabah kering panen (GKP), menghasilkan keuntungan atau kelebihan pendapatan (rendemen) jenis katul 40 persen sejumlah 28 juta ton dan beras 60 persen sejumlah 42 juta ton. Dengan produksi padi 5 ton per hektare dari luas tanam 14 juta hektare, dihubungkan dengan populasi penduduk tahun 2014 sebanyak 250 juta jiwa, berarti kebutuhan beras 168 kilogram per orang per tahun.
 
Akan tetapi berdasarkan data BPS justru tercatat rata-rata per tahun dengan dua setengah kali panen adalah seluas 5,6 juta hektare. Padahal, dari seluas tanam atau sawah 5,6 juta hektare itu terdiri dari lahan beririgasi hanya 3 juta hektare dan 60 persen beririgasi rusak seluas 1,2 juta hektare. Artinya, hanya 4,2 juta hektare luas tanam tetapi dalam data BPS digelembungkan 1,4 juta hektare menjadi 5,6 juta hektare.

"Pantas saja jika impor beras tahun 2014 sebanyak 830 ribu ton beras," kata Franky di Jakarta, Sabtu (18/4).

Dia juga menyoroti terkait konsumsi beras penduduk yang realitanya membutuhkan 168 kilogram per orang dalam per tahun. Tetapi, data BPS menghitung kebutuhan beras secara bulat itu 466,7 gram per orang per hari untuk sekali makan membutuhkan beras 156 gram per orang atau untuk 3 kali makan membutuhkan 225 gram per orang per hari.

Kemudian untuk jagung, berdasarkan catatan BPS produksi jagung sebanyak 18 juta ton pipil kering per tahun. Tapi untuk 40 juta orang yang makan jagung hanya membutuhkan 14 juta ton per tahun, terdapat penggelembungan 4 juta ton per tahun. Terbukti jika data impor jagung tahun 2014 sejumlah 3,254 ton, karena produksi dari luas lahan 3,6 juta hektare hanya menghasilkan 5 ton per hektare

"Jadi wajar saja jika petani tidak pernah kaya," kata Franky.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Serikat Tani Islam Indonesia (STII) Abdullah Puteh menilai pemberian bantuan berupa hand traktor dari pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena lahan sawah pertanian di Indonesia tidak semua datar. Begitu pula dalam membangun bendungan sudah jelas tidak akan mampu mengaliri lahan sawah yang letaknya di bukit-bukit atau di lereng pengunungan.

Apalagi dalam sistem pembangunan pertanian saat ini masih bersifat sentralistik, dimana kebijakannya tidaklah memperhatikan realita perbedaan sifat lahan di setiap daerah. Seharusnya pemerintah masih memberlakukan penerapan otonomi daerah untuk pembangunan pertanian di daerah. Tanpa pemberlakuan otonomi daerah, tentunya pembangunan pertanian akan berjalan timpang dan kurang adil.

"Tidak cukup bagi kelompok petani hanya diberi hand traktor dan dengan membangun banyak bendungan, apabila lahan pertanian di daerah tidak dilakukan dengan cara pendekatan otonomi daerah yang hakiki," kata Puteh.

BACA JUGA: