Jakarta - Kerusakan alam dan pencemaran air di Indonesia telah menyebabkan ketersedian sumber air bersih semakin menipis. Akibatnya, kemampuan negara menyediakan air bersih dari pengelolaan air baru 15%.

Manajer Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional WALHI, Islah, mengatakan dalam kasus pencemaran Sungai Ciujung dan Cibanten di Provinsi Banten, negara tidak berdaya untuk melakukan pemulihan lingkungan dan menghentikan pencemaran yang dilakukan korporasi besar.

“Misalnya PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), tetap saja membuang limbah ke Sungai Ciujung dan perusahan penambangan pasir tetap membuang limbahnya ke sungai Cibanten yang berakibat rusaknya sarana irigasi pertanian rakyat dan sumber air kebutuhan sehari-hari. Hal serupa, banyak pula terjadi di berbagai propinsi di Indonesia, sebut saja sungai Citarum di Jawa Barat yang tercemar limbah perusahaan textile, Sungai Bengkulu di Bengkulu yang tercemar limbah batu bara, ataupun sungai Aijkwa di Papua yang tercemar limbah Perusahaan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia,” ujar Islah dalam rilis yang diterima gresnews.com, Kamis (22/3) .

Sementara itu, lanjut Islah, di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, pencemaran dan krisis air masih didominasi oleh pencemaran limbah, aktifitas pertambangan dan perkebunan.

Bencana air
Perusakan lingkungan tidak hanya menyebabkan terjadinya krisi air bersih. Menurut Islah, perusakan lingkungan juga telah menyebabkan banjir bandang yang tak henti menimpa berbagai daerah di Indonesia.

“Dalam tiga bulan terakhir, Banjir bandang paling tidak telah terjadi di Kab. Lombok Timur-NTB, Kabupaten Kota Baru-Kalimantan Selatan, Kabupaten Bangli-Bali, Kabupaten Pasaman-Sumatera Barat, Kabupaten Pidie-NAD, Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, Kabupaten Lebak dan Serang Banten yang menyebabkan ribuan rakyat mengungsi, meninggal dunia, gagal panen dan kerugian ekonomi, fisik hingga trauma psikologis,” ungkap Islah.

BNPB bahkan menempatkan banjir pada urutan teratas kejadian bencana di Indonesia (39%) yang disusul oleh putting beliung (18%), tanah longsor (16%) dan kekeringan (14%).

“Banjir dan kekeringan di Indonesia sebenarnya tidak perlu terjadi jika hutan tropis Indonesia lestari. Sebab hutan tropis memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap dan menyimpan air. Saat musim hujan tiba hutanakan menyerap dan menyimpan air sehingga tidak terjadi banjir. Sedangkan ketika musim kemarau sungai-sungai akan tetap mengaliri air dari simpanan air di hutan,” ujar Islah.

Faktor-faktor lainnya, sambung Islah,  adalah perubahan bentang alam, berkurangnya daerah resapan dan penampung air alami, pencemaran sungai, penambangan yang merusak dan pembukaan perkebunan besar. Dalam kaitan inil, maka curah dan intensitas hujan bukan faktor tunggal  yang menyebabkan banjir bandang atau banjir pada umumnya. Apalagi perubahan iklim juga disebabkan oleh terganggunya keselarasan alam dalam hal ini siklus karbon.

"Kehancuran sumber daya air berarti bencana, kelaparan, penyakit, kematian hingga kehancuran perekonomian. Karena air dibutuhkan dalam seluruh proses produksi manusia, bahkan mempengaruhi seluruh ekosistem," tukas Islah.

Untuk itu, Walhi menyerukan empat tuntutan kepada pemerintah untuk memperbaiki lingkungan yang telah hancur.

BACA JUGA: