JAKARTA-GRESNEWS.COM - Pencanangan swasembada pangan khususnya beras yang ditargetkan terealisasi pada 2017 dianggap salah kaprah. Pemerintah seharusnya tidak terjebak kepada target swasembada komoditas tertentu saja, tapi lebih berfikir ke depan untuk melakukan pendekatan gizi seperti swasembada karbohidrat. Sebab Indonesia adalah negara besar yang tidak bisa diseragamkan begitu juga terkait masalah pangan.

Hal tersebut diungkapkan Khudori anggota dewan Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat. Ia mengungkapkan bahwa secara prinsip, negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan atas ketersediaan pangan serta aksesnya terhadap masyarakat. Akan tetapi jika memberlakukan swasembada komoditas seragam terhadap seluruh masyarakat selain akan menyebabkan penurunan kualitas lahan akibat dipaksa untuk terus meningkatkan produktivitasnya, dari sisi sumber daya manusia lebih dari 50 persen petani di Indonesia adalah petani gurem.

"Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan kebutuhan regional dan kebutuhan komuditas yang di tiap daerah pasti berbeda," ujar Khudori di Cikini, dalam dialog ketahanan pangan, Minggu, (30/10).

Ia mengakui dengan semakin bertumbuhnya penduduk, maka peningkatan produktivitas pangan menjadi keharusan. Apabila peningkatan produktifitas ini hanya terfokus kepada beberapa komoditas seperti beras, hal tersebut akan sulit dicapai. Sebab beberapa faktor seperti perubahan iklim serta anomali cuaca yang dahsyat membuat para petani sulit merencanakan pola penanaman. Selain itu, praktik pemerintah yang memberikan subsidi pupuk berbasis kimia lambat laun akan merusak kualitas tanah yang berefek pada produktivitas tidak bisa dilakukan secara jangka panjang.

Kebijakan swasembada komoditas tersebut yang beresiko pada merajalelanya praktik monoculture juga berisiko pada dimonopolinya pasar pangan oleh perusahaan tertentu. Sebab konsentrasi trend pasar global pada saat ini hampir seluruh komoditas pangan yang seragam di kuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.

"Kalau begini bukan cuma cuaca yang anomali, kebijakan pemerintah ini juga anomali," ujarnya.

Menurutnya, praktik mono culture pangan memang akan mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Tetapi hal tersebut hanyalah sementara, efek buruk seperti kerusakan lahan dan lingkungan seperti yang terjadi di Garut beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, longsor Garut terjadi akibat kontur lahan di Garut yang terjal malah ditanami komoditas sayuran yang tidak mampu menahan air secara kuat, padahal musim hujan yang semakin sedikit dengan volume air yang sama pada tahun ini menyebabkan tanah mengalami erosi besar-besaran.

"52 persen ketergantungan produksi pangan menumpuk di Jawa, padahal Jawa sudah sesak," ujarnya.

Jika ditinjau dari aspek budaya, penyeragaman pangan bisa dibilang sebagai bentuk tidak menghargai keberagaman yang ada di Indonesia. Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Tjuk Eko Hari Basuki menyatakan Indonesia berbeda dengan negara-negara di Eropa. Sumber Hayati yang dimiliki Indonesia sangat besar dan beragam jumlahnya, sehingga penyeragaman pangan lewat swasembada komoditas bukannya membuat negara ini menjadi semakin maju akan tetapi malah menjadi lebih tertinggal dibandingkan masa lalu.

"Dahulu makanan pokok sangat beragam di setiap daerah sekarang tinggal hitungan jari makanan pokok yang dikonsumsi," ujar Tjuk Eko di tempat yang sama, Minggu (30/10).

Padahal dengan adanya keberagaman makanan pokok, ketahanan pangan di Indonesia akan menjadi kuat. Hal itu pulalah yang dilihat oleh para pendahulu kita. Masyarakat pada zaman dahulu tidak hanya mementingkan produktifitas yang melimpah, akan tetapi keberlangsungan produktifitas juga menjadi hal penting untuk diperhatikan. Zaman sekarang apabila beras yang dijadikan komoditas maka padi yang akan selalu ditanam, padahal ada waktunya jagung untuk tumbuh, serta tanah untuk beristirahat.

"Kalau mau berkelanjutan ya maju ke belakang, karena zaman dahulu lebih maju dari pada sekarang," ujarnya.

MENURUN - Sementara itu, Noor Advianto selaku Direktur Pangan dari badan Perencanaan pembangunan nasional (BAPENNAS) mengungkapkan bahwa jika melihat pertanian secara produksi, maka permasalahan yang utama adalah berapa penduduk yang menjadi konsumen. Sebab tren yang terjadi pada saat ini ialah menurunnya jumlah konsumsi karbohidrat di masyarakat dan meningkatnya tren mengkonsumsi sayur dan buah sehingga dari sisi gizi ada peningkatan di masyarakat.

Selain itu, urban society selalu meningkat setiap tahunnya menjadi masalah yang tidak bisa dipungkiri. Urban society yang dimaksud ialah berubahnya gaya hidup di desa menjadi seperti di kota termasuk dalam hal pangan. Ia memperkirakan di masa depan, orang akan memilih makan praktis, organik dan premium sehingga jika tidak bisa mengikuti trend yang berkembang kedaulatan pangan akan sulit dicapai.

"Sehingga pasar pangan akan dikuasai negara lain," ujarnya di Cikini, Minggu, (30/10).

Oleh karena itu, pemerintah harus fokus terhadap peningkatan produktivitas pangan per lima tahun. Pengarahan yang dilakukan pemerintah sekarang ialah bagaimana bahan pokok seperti beras, jagung dan kedelai memiliki stok yang aman untuk masa depan. Masalah yang terjadi ialah, sumber daya pertanian baik manusia dan lahan makin berkurang tiap tahunnya, sehingga menyebabkan harga menjadi mahal padahal negara lain sudah melaju dengan cepat dalam sektor pertanian sehingga kita tidak mampu berkompetisi.

"Bagaimana bisa berkompetisi jika hanya mengandalkan cara lama, yang ada hanya menambah beban pemerintah untuk memberi subsidi serta perlindungan," tegasnya.

BACA JUGA: