JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah --- melalui otoritas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan --- menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) ditentang oleh Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK). Alasannya: mempersulit industri rokok yang saat ini tengah lesu darah.

Koordinator KNPK Zulfan Kurniawan menyatakan kenaikan tarif CHT rata-rata sebesar 11,5% pada 2016 itu akan semakin menyulitkan industri kretek dari hulu hingga hilir.

"Instrumen cukai yang didalihkan sebagai pengendali konsumsi berpotensi meruntuhkan keberadaan perusahaan kretek kelas menengah dan kecil yang sangat banyak jumlahnya," kata Zulfan kepada gresnews.com, Minggu (14/8).

Zulfan menilai sepertinya pemerintah tidak mempunyai pilihan selain menaikkan tarif CHT untuk menggenjot penerimaan negara. Selama ini CHT menyumbang hingga 95% pendapatan cukai Indonesia. Seharusnya, kata dia, pemerintah menggali sumber-sumber baru barang kena cukai.

"Selama ini di Indonesia hanya tembakau dan minuman beralkohol yang dikenakan cukai," kata Zulfan.

Dia menegaskan, di tengah melemahnya daya beli masyarakat dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, kebijakan menaikkan tarif CHT itu akan memicu naiknya pita cukai ilegal yang malah akan merugikan pemerintah sendiri.

Secara terpisah, Direktur Center Budget for Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi juga menyatakan, kenaikan tarif CHT akan merugikan petani tembakau dan pabrik rokok, terutama skala menengah dan kecil. Dia menilai pemerintah tengah putus asa mencari sumber penerimaan negara yang lain.

"Maka yang lebih gampang diinjak pemerintah dengan menaikkan cukai rokok agar bisa menyiksa petani rokok dan menutup pabrik rokok milik lokal," kata Uchok kepada gresnews.com, Minggu (14/8).

Menurutnya, kenaikan tarif CHT justru akan menguntungkan perusahaan rokok impor, yang bermodal kuat. Artinya, kata dia, kenaikan tarif CHT itu seperti sebuah permainan industri rokok yang punya modal kuat. Mereka mempengaruhi pemerintah agar menaikkan tarif CHT seolah-olah untuk memaksimalkan penerimaan negara. "Padahal, kepentingan implisitnya adalah untuk mematikan industri rokok lokal," ujarnya.

PERINTAH JOKOWI - Sebetulnya, "heboh" kenaikan tarif CHT itu dipicu oleh arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Juni lalu. Jokowi tengah mempertimbangkan untuk menandatangani Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) sebagai semacam panduan untuk program pengendalian tembakau nasional.

"Prinsipnya ada empat arahan dari presiden," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo, Selasa (14/6/2016).

Arahan pertama adalah memerintahkan kepada semua menteri terkait untuk menekan impor tembakau. Selanjutnya, Jokowi ingin agar cukai tembakau impor dinaikkan.

"Ketiga adalah menaikkan cukai rokok, kemudian yang keempat adalah mempersempit ruang gerak perokok," imbuh Pramono.

Alasan pemerintah ingin mengendalikan tembakau adalah ingin melindungi generasi muda. Untuk itu pemerintah bermaksud membatasi ruang gerak perokok di ruang terbuka.

"Kita ingin persiapkan generasi muda ke depan yang lebih sehat, lebih kompetitif, maka tempat-tempat merokok akan ada pembatasan sehingga ruang bagi perokok di ruang publik akan semakin terbatas," tutur Pramono.

Sehari setelah tersiar arahan presiden tersebut, harga saham perusahaan rokok di Bursa Efek Indonesia (BEI) bergelimpangan, antara lain PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), dan PT Bentoel International Inv Tbk (RMBA).


KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU - Pada 18 November 2015, Kementerian Keuangan telah merilis kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2016 yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2015 tanggal 6 November 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, dengan ketentuan tarif cukainya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.

Ketentuannya adalah sebagai berikut:
Kebijakan tarif cukai HT 2016 ini diterbitkan setelah penetapan target penerimaan APBN 2016 dari sektor cukai HT ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR RI sebesar Rp139,82 triliun. Kebijakan tarif cukai HT mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kesehatan, tenaga kerja, dan penerimaan negara; namun dengan tetap memperhatikan kondisi perekonomian nasional saat ini. Dalam kebijakan tarif cukai HT tahun 2016, khusus kepada pengusaha pabrik sigaret kretek tangan kecil dengan batasan jumlah produksi rokok sampai dengan 50 juta batang per tahun (SKT gol. III b) tidak dinaikkan tarif cukainya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan pengusaha rokok kecil dan tenaga kerja.

Sistem tarif cukai HT melanjutkan kebijakan pada tahun 2015 yaitu sistem tarif cukai spesifik dengan penyesuaian kenaikan tarif cukai sesuai ketentuan perundang-undangan dengan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan target penerimaan cukai HT dalam RAPBN Tahun Anggaran 2016. Kenaikan tarif cukai HT dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain tingkat sensitivitas harga, jenis HT (buatan mesin atau tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil) dengan kisaran untuk rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 11,4%-15,6%, Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 12,9%-16,4% dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 0%-12%. Secara rata-rata, kenaikan tarif cukai HT untuk tahun 2016 adalah sekitar 11,5%. Beban cukai HT dinaikkan secara moderat berkisar mulai Rp0,- sampai dengan Rp70,- per batang.

Tarif cukai untuk jenis Klobot (KLB), dan Kelembak Menyan (KLM), Tembakau Iris (TIS), Cerutu (CRT), dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tidak mengalami kenaikan tarif cukai (0%) dalam rangka menjaga keberlangsungan tenaga kerja. Sedangkan tarif cukai untuk hasil tembakau yang diimpor ditetapkan sama dengan tarif cukai tertinggi untuk masing-masing jenis dan golongan HT yang diproduksi di dalam negeri

Penyesuaian terhadap batasan harga jual eceran (HJE) juga dilakukan pada semua jenis dan golongan HT sesuai dengan perkembangan harga transaksi pasar dan untuk menjaga supaya harga rokok tidak terlalu murah di masyarakat. Dalam PMK Nomor 198/PMK.010/2015 terdapat juga penyempurnaan beberapa ketentuan dalam PMK Nomor 179/PMK.011/2012 yaitu:

1. Mengubah Pasal 10 mengenai harga transaksi pasar (HTP) dengan menghapus batasan angka 5% (lima persen) HTP yang melampaui harga jual eceran untuk penghitungan PPN dengan alasan bahwa PMK mengenai Tarif Cukai Hasil Tembakau, terakhir PMK Nomor 205/PMK.011/2014 adalah murni mengatur tarif cukai HT dan dengan berlakunya sistem tarif spesifik, pengaturan HJE untuk perhitungan PPN menjadi tidak relevan diatur dalam PMK dimaksud; dan

2. Menghapus Pasal 14 mengenai penagihan atas kekurangan perhitungan pembayaran cukai dan pungutan negara lainnya karena ketentuan tentang penagihan berdasarkan Pasal 10 Ayat (3) UU Cukai telah diatur dalam PMK tersendiri.

Sebagai catatan, Industri Hasil Tembakau memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kelompok Industri Hulu meliputi industri pengeringan dan pengolahan tembakau, termasuk kegiatan usaha di bidang pengasapan dan perajangan daun tembakau.

Kelompok Industri Antara meliputi industri bumbu rokok serta kelengkapan lainnya yakni tembakau bersaus, bumbu rokok dan kelengkapan lainnya seperti klembak menyan, saus rokok, uwur, klobot, kawung, dan pembuatan filter.

Kelompok Industri Hilir meliputi Industri Rokok Kretek, Industri Rokok Putih, dan Industri Rokok lainnya seperti cerutu, rokok klembak menyan, dan rokok klobot/kawung.

Pada Jumat, 27 Maret 2015, Menteri Perindustrian Saleh Husin menyebutkan industri rokok di Indonesia melibatkan 6,1 juta orang tenaga kerja.

Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan perokok aktif dari usia 10 tahun ke atas di Indonesia berjumlah 58,7 juta orang.

Sementara World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah perokok di Indonesia pada 2025 sebanyak 90 juta orang atau 45% dari jumlah populasi Indonesia. (dtc)

BACA JUGA: