JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mencuatnya isu kartel daging unggas (ayam potong) belakangan ini membuat Menteri Pertanian Republik Indonesia Amran Sulaiman merasa harus turun tangan. Untuk menyelesaikan polemik tersebut, Amran pun menggelar rapat tertutup dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), perwakilan dari Bareskrim Mabes Polri dan para pengusaha ternak unggas/ayam.

Menurut Amran, pihaknya sengaja memfasilitasi para pengusaha ternak unggas untuk bertemu dengan KPPU dan sejumlah pihak terkait lainnya guna menyelesaikan polemik kartel daging ayam yang diduga disebabkan karena maraknya perdagangan afkir dini (biang) yang dilakukan oleh para pengusaha ternak unggas. Hal ini dinilai telah berdampak pada peningkatan harga pasar di level konsumen.

"Memang telah terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand daging ayam yang terjadi di internal pengusaha ternak ayam. Sehingga fenomena itu yang kemudian menyebabkan adanya afkir dini," kata Amran Sulaiman pada awak media di Kantor Kementan RI, Jakarta Selatan, Senin (21/3).

Untuk menyiasati polemik tersebut, lanjut Amran, pihaknya telah membuat beberapa poin kesepakatan guna menstabilkan kembali kondisi industri ternak unggas atau ayam. Belakangan ini, kata Amran terdapat ketimpangan antara pengusaha ternak level besar dengan pengusaha level kecil atau pengusaha ternak mandiri.

Amran menegaskan, sejumlah poin kesepakatan itu dibuat agar tidak terjadi disparitas harga yang terlampau jauh antara peternak mandiri (kecil) dan peternak besar. Dia meyakini kesepakatan yang telah dibuat bersama itu bertujuan agar pengusaha atau peternak baik yang kecil maupun yang besar bisa mendapatkan keuntungan yang wajar, sehingga harga yang sampai di level konsumen juga mendapatkan harga yang wajar.

"Jadi para pengusaha juga bisa mendapatkan keuntungan yang wajar, dan konsumen juga bisa tersenyum dengan membeli dengan harga yang wajar, itulah target pemerintah," tegasnya.

Adapun poin kesepakatan yang sudah disepakati antara pengusaha dan pemerintah, lanjut Amran adalah, pertama menciptakan keseimbangan supply dan demand daging ayam di level para pengusaha. Pemerintah berencana akan sebuah regulasi yang mengatur tentang batas jumlah produksi binatang ternak jenis unggas guna menstabilkan harga dipasaran.

Ia menambahkan, regulasi yang nantinya akan dibuat adalah Peraturan Menteri (Permen) Menteri Pertanian yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam berusaha di budidaya ayam. "Ini berlaku untuk pengusaha ternak unggas yang besar maupun pengusaha mandiri (kecil)," ujarnya.

Kesepakatan kedua, para pelaku usaha wajib melakukan integrasi vertikal sampai dengan hilirisasinya dan peternak besar dengan skala tertentu wajib membangun rumah potong unggas. Amran menambahkan, berbagai pihak juga telah menyepakati konsolidasi nasional usaha dan industri perunggasan melalui perbaikan di berbagai aspek hulu sampai dengan hilirnya.

Ketiga adalah moratorium pembangunan kandang close house bagi perusahaan besar dan afiliasinya yang melakukan pola kemitraan dan budidaya internal farm sampai dengan adanya rumah potong ayam dan blast freezer sampai adanya penampungan.

BUKAN ULAH KARTEL – Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Herry Dermawan menyatakan, terjadinya gejolak pada harga daging unggas belum tentu disebabkan oleh permainan kartel peternak ayam. Menurutnya, fenomena ini terjadi memang karena tidak ada keseimbangan antara supply dan demand produksi ayam.

"Bayangkan, saat ini kondisi ayam kita itu melebihi kapasitas. Dalam satu minggu produksi ayam kita sekarang sekitar 75 juta ekor, sementara kebutuhan masyarakat itu 45 juta ekor per minggu. Itu artinya ada kelebihan sekitar 22 juta ekor bibit ayam per minggu. Makanya ada istilah afkir dini (pembatasan biang dengan cara menjualnya)," kata Herry menjelaskan.

Kendati demikian, menurut Herry, kelebihan bibit ayam sebanayk 22 juta ekor per minggu itu bisa saja dilakukan oleh para kartel yang hendak memainkan harga dipasaran. Namun, ia enggan menegaskan siap yang bermain dalam situasi saat ini.

"Kalau masuk ke wilayah hukum saya tidak mengerti, yang pasti yang paling mungkin melakukan itu adalah perusahaan kelas besar, kalau pengusaha ternak mandiri (kecil) seperti kami ini tidak mungkin memainkan itu," ujarnya.

Terlepas dari itu, tambah Herry, ia mengapresiasi langkah Kementan dan KPPU yang saat ini berupaya hadir bagi para peternak, terutama bagi para peternak mandiri. Menurutnya, pemerintah memang harus membuat regulasi yang dapat memastikan produksi ternak unggas (ayam) agar tercipta keseimbangan antara pengusaha kelas besar, menengah, dan kecil.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Krissantono. Menurut Kris, rencana Kementan membuat regulasi ini dapat memperjelas regulasi jenis usaha budidaya ayam baik untuk pengusaha kelas besar, menengah, maupun kecil.

Hal itu disampaikan oleh Krissantono mengingat saat ini KPPU tengah menyelidiki adanya dugaan persaingan usaha yang tidak sehat yang terjadi di lingkaran pengusaha ternak unggas/ayam dengan dalih adanya afkir dini yang dilakukan oleh para pengusaha unggas.

"Kita berharap kesepakatan yang tadi sudah disepakati dapat menjadi landasan hukum bagi kita semua. Sehingga ke depan tidak ada lagi kasus yang saat ini ditangani oleh KPPU. Jangan sampai kasus satu di pucuk sana kemudian digeneralisir oleh KPPU bahwa ini semua permainan pengusaha ternak unggas," jelasnya.

AROMA KARTEL AYAM – Ketua KPPU Syarkawi Rauf jauh sebelumnya telah menyatakan, bahwa saat ini pihaknya telah mencium adanya aroma permainan tidak sehat yang tengah dimainkan oleh kartel pengusaha ternak ayam ternama di Indonesia. Syarkawi memaparkan, setidaknya ada 12 nama perusahaan yang diduga menjadi pelaku kartel untuk memainkan harga ayam di pasaran.

"Saat ini kasus itu sudah masuk tahap persidangan di KPPU," tegas Syarkawi Rauf.

Menurutnya, perusahaan besar peternakan unggas itu telah melakukan kesepakatan yang menyebabkan terjadinya gejolak harga ayam di pasaran dengan cara melakukan kesepakatan afkir dini atau penjualan/pemusnahan induk ayam dengan dalih meningkatnya produksi bibit ayam belakangan ini.

Adapun 12 perusahaan yang saat ini tengah diselidiki oleh KPPU adalah, PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Malindo, PT CJ-PIA, PT Taat Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, PT Hybro Indonesia, PT Expravet Nasuba, PT Wonoyoko Jaya, CV Missouri, PT Reza Perkasa, dan PT Satwa Borneo Jaya.

Dari 12 perusahaan itu, menurut Syarkawi, terdapat dua perusahaan yang melakukan duopoli.
"Mereka kuasai semua proses dari hulu hingga ke hilir. Nilai bisnis unggas Rp 400 triliun dari hulu sampai hilir. Ini namanya penguasaan pasar, duopoli oleh 2 perusahaan besar," ujar Syarkawi.

Sejumlah peternak terkena dampak dari praktik kartel tersebut, contohnya di Semarang dan Bandung. Syarkawi mengungkapkan di Semarang ada disparitas biaya produksi sebesar Rp18.000/kg, sedangkan harga pokok di tingkat peternak hanya sekitar Rp8.500/kg-Rp10.000/kg.

Kondisi serupa juga dialami peternak ayam di Bandung. "Yang paling terdampak adalah di Bandung dan Semarang karena pembentukan harga seperti itu," ujar Syarkawi. (dtc)

BACA JUGA: