JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pungutan dana ketahanan energi yang diambil pemerintah dari penjualan harga baru Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan solar dinilai berpotensi menimbulkan korupsi dan tindak pidana lainnya. Pasalnya status pungutan tersebut seperti sebuah pungutan liar karena tidak memiliki landasan khusus dan melanggar undang-undang lainnya.

Anggota Komisi VII DPR RI Inas Nasrullah Zubir dari fraksi Hanura mengatakan, Dana Ketahanan Energi (DKE) belum diatur dalam undang-undang, sehingga jika ada pungutan semacam DKE maka sifatnya ilegal. Kalaupun ada instrumen UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka itu harus dibahas dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"UU PNBP memang memberikan peluang kepada pemerintah untuk menarik pungutan dari masyarakat di luar pajak tetapi harus masuk sistem APBN," kata Inas, gedung DPR, Senayan, Jakarta (29/12).

Karena itu, kata dia, pungutan yang dicanangkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said tidak dapat dilaksanakan tanggal 5 Januari 2016, karena tidak masuk dalam pembahasan APBN 2016. "Pungutan itu baru bisa dilaksanakan jika pemerintah memasukkan DKE ke dalam APBNP 2016 yang akan datang dan disetujui DPR," tegas Inas.

Dia sendiri mengakui pungutan DKE ini memang dibutuhkan untuk mempersiapkan infrastruktur energi terbarukan demi generasi yang akan datang. Apalagi kondisi harga minyak mentah dunia terlalu fluktuatif mengikuti harga pasar dan pemerintah menanggung beban akibat besarnya volume impor ketimbang ekspor minyak nasional.

"Saat ini Indonesia juga sedang menghadapi krisis minyak bumi, dimana cadangan minyak bumi kita yang proven cuma tinggal 3,7 miliar barrel untuk kurang lebih 20 tahun," jelasnya.

Kondisi negara dengan anggaran yang sangat terbatas hanya memiliki dua pilihan dalam menjelang krisis minyak bumi ini. Pertama mengurangi lifting minyak bumi domestik dan mengurangi impor dengan konsekuensi masyarakat dijatah untuk membeli BBM, atau kedua memungut DKE untuk mempersiapkan cadangan energi terbarukan masa depan. "Kalau dari dua pilihan yang ada, pilihan pertama sangat berisiko chaos," ujarnya.

Meski begitu, tetap saja aturan dalam memungut dana dari rakyat tetap harus diikuti sehingga tidak bisa sembarangan menetapkannya.

Pada kesempatan terpisah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dana ketahanan energi jelas merupakan sebuah pungutan liar karena tak ada dasar hukumnya. Tulus menuturkan semestinya pemerintah membuat payung hukum sehingga jelas dan transparan, sebelum mengumumkan adanya pungutan dana ketahanan energi.

"Harusnya pemerintah harus lebih dulu membentuk payung hukum sebelum menerapkan kebijakan dana ketahanan energi," kata Tulus saat ditemui di Warung Komando, Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Selasa (29/12).

Kemudian, kata dia, harus dibentuk kelembagaan independen agar lebih transparan pengelolaannya dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain. "Jika tidak itu sama saja pungli," katanya menegaskan.

BENTUK KETIDAKADILAN - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean pungutan DKE adalah bentuk ketidakadilan negara terhadap rakyatnya. Pasalnya pungutan sebesar Rp200/liter BBM yang dijual itu dilakukan saat daya beli masyarakat melemah.

"Pemerintah kita katakan tidak adil, karena ketika harga minyak mentah tinggi, pemerintah justru tidak memungut dana energi dari para kontraktor kerja sama di sektor migas. Termasuk pemerintah tidak menyisihkan bagian hasilnya dari harga minyak mentah sebagai dana energi," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Kamis (24/12) malam.

Ferdinand mempertanyakan kenapa sekarang ketika harga minyak mentah rendah malah publik yang dibebankan dengan dana energi. Dia menilai, belum waktunya rakyat dibebani pungutan baru yang malah lebih besar dari jumlah penurunan harga BBM. Contohnya premium akhirnya hanya turun Rp150/liter sementara pemerintah memungut Rp200/ltr diluar keuntungan yang didapat Pertamina dari harga keekonomian.

Selain itu, pungutan ini juga rawan dikorupsi karena mekanisme penampungan dana hasil pungutan DKE belum jelas. "Disimpan oleh siapa, di rekening mana, kemudian peruntukannya bagaimana? Ini harus jelas publikasinya," kata Ferdinand.

Dia mengaku tak bisa menerima alasan jika dana itu disebut juga sebagai dana stabilisasi. "Apakah BBM tidak akan naik jika terjadi kenaikan harga minyak dunia hingga batasan kenaikan Rp200/liter BBM. Jika dana stabilisasi, dasar hukumnya apa? Ini juga belum jelas," tanyanya.

Sementara itu, ia juga meminta pemerintah menjelaskan perhitungan dari angka besaran pungutan Rp200/liter BBM itu, berapa yang akan dialokasikan untuk dana energi. Kemudian berapa untuk dana stabilisasi harga BBM.

Hal ini menurutnya tidak boleh tidak jelas, karena nanti bisa-bisa pembangunan energi baru tidak ada sama sekali karena alasan dana dipakai untuk stabilisasi atau sebaliknya stabilisasi tidak jalan dengan alasan dananya habis untuk energi baru.

Selain itu, pemerintah juga harus mengumumkan berapa total dana yang diterima dari pungutan ini selambat lambatnya setiap 3 bulan berbarengan dengan periode evaluasi harga BBM. "Intinya harus clear dan tidak boleh dizona abu-abu karena rentan penyimpangan," ungkapnya.

Dia menyarankan agar dana energi tersebut diserahkan pada investasi langsung dikelola Pertamina untuk pembangunan SPBG dan Geothermal atau panas bumi.

TERUS DIMATANGKAN - Pemerintah sendiri mengaku masih terus mematangkan rencana mencari dana ketahanan energi dari masyarakat yang dilakukan melalui pungutan sebesar Rp200/liter kepada setiap pembeli bahan bakar minyak (BBM) jenis premium, dan Rp300/liter untuk solar.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan pemerintah masih akan terus mendengarkan masukan masyarakat. Dia mengaku senang akan banyaknya masukan dari masyarakat karena itu, menunjukkan adanya kepedulian pada masa depan energi kita.

"Semakin banyak masukan, semakin kritis, semakin baik. Karena itu akan menjadi, apa bagi pemerintah supaya lebih prudent. Kita akan terus mendengar dari berbagai pihak, tentu sambil mengkaji apa yang terbaik," kata Sudirman Said kepada wartawan sebelum mengikuti rapat terbatas, di kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/12) siang seperti dikutip setkab.go.id

Sudirman menegaskan, secara prinsip rencana penarikan pungutan dana ketahanan energi sebenarnya sudah diputuskan dalam sidang kabinet, dimana yang memberi pendapat banyak instansi, bukan hanya usulan Kementerian ESDM. Namun demikian, menurut Sudirman, pemerintah hari ini sedang mengkaji dan memikirkan beberapa opsi.

Soal dasar hukum pungutan dana ketahanan energi, Sudirman Said, menegaskan, sebenarnya sudah jelas yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014."Di situ jelas sekali itu, sumbernya dari mana dan juga pemakaiannya untuk apa nanti, tapi diperlakukan aturan untuk mengelola dana itu," jelas Sudirman.

Pemeritah, kata Sudirman, akan tetap memberlakukan pungutan itu pada tanggal 5 Januari mendatang. Menurut Sudirman, ada beberapa opsi untuk mendapatkan dana ketahanan energi, yaitu korporasi, APBN, penyisihan, bisa juga dari konsumen.

“Ini kan sebenarnya bagian dari iuran begitu, iuran dan jangan lupa sebagian itu untuk membayar utang karena kita sudah menguras selama ini dan tidak dikembalikan. Dan sebagian juga untuk membantu saudara-saudara kita yang ada di 2516 desa yang masih belum mendapatkan listrik," pungkas Sudirman.

Sementara itu Dirut Pertamina Dwi Soetjipto mengemukakan, bahwa dana ketahanan energi itu hal yang dibutuhkan untuk jangka panjang ke depan, dan itu banyak dipraktikkan di negara-negara lain. Meski demikian, diakui Dwi belum ada aturan hukum yang menjadi dasar pemberlakuan keputusan yang diambil saat sidang kabinet paripurna (23/12) lalu itu. "Iya masih belum. Masih belum masih dibicarakan," ujarnya. (Gresnews.com/Agus Irawan)

BACA JUGA: