JAKARTA, GRESNEWS.COM - Memiliki kondisi geografis sebagai negara agraris, ternyata tak menjamin terwujudnya kesejahteraan di sektor pertanian. Alhasil, jumlah profesi petani yang dahulunya banyak digeluti masyarakat kini semakin surut.

Kondisi tersebut justru bertentangan dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dimana pasal tersebut mengamanatkan, perlindungan dan pemberdayaan petani bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, serta kehidupan yang lebih baik

Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengakui, jumlah angkatan kerja petani dan buruh tani mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013).

Ia memaparkan, sekitar tahun 2003 kondisi pekerja sektor pertanian cukup tumbuh signifikan. Tercatat jumlah petani saat itu mencapai 31 juta tenaga kerja. "Namun dua tahun terakhir, 2013 sampai saat ini,  jumlahnya turun sebesar 5 juta atau berkurang menjadi 26 juta orang," ungkap Kasdi kepada gresnews.com, Jumat (18/12).

Menurut Kasdi penurunan itu, salah satunya dipengaruhi dominasi sektor industri yang menyebabkan alih lahan pertanian ke sektor non pertanian. Selain faktor lain seperti merosotnya pendapatan petani karena jatuhnya harga komoditas, karena dampak serbuan produk pertanian impor.

Sementara itu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), melihat selama sepuluh tahun terakhir terjadi eksploitasi lahan tani dan konflik agraria di wilayah kehutanan dan perkebunan. Setidaknya pada tahun 2014 telah terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar dengan melibatkan 105.887 Kepala Keluarga (KK).

Konflik agraria tertinggi terjadi di sektor infrastruktur 215 konflik agraria (45,55%), sektor perkebunan 185 konflik agraria (39,19%); Kehutanan 27 konflik agraria (5,72%); Pertanian 20 konflik agraria (4,24%); Pertambangan 14 (2,97%); Perairan dan kelautan 4 konflik agraria (0,85%); lain-lain 7 konflik agraria (1,48%).

Melihat fakta itu, Indonesia sedang mengalami krisis agraria yang sangat luar biasa dengan menempatkan rakyat, khususnya kaum tani sebagai korban perampasan tanah.

BANTUAN KEPADA PETANI - Kasdi menyampaikan, dalam rangka meningkatkan kembali jumlah angkatan kerja di sektor pertanian, pemerintah melalui Kementerian Pertanian terus mendorong pembenahan dan perbaikan infrastruktur seperti jaringan irigasi dan bantuan alat dan mesin pertanian.

Kasdi mengatakan, pada akhir tahun 2015, dari total 3 juta hektar lahan yang mengalami kerusakan irigasi, pemerintah sudah merehab hampir 2,4 juta hektar atau tersisa 600 ribu hektar yang ditargetkan akan selesai tahun 2016.

"Hal ini mendukung musim tanam berikutnya dan menjamin ketersediaan air. Artinya kita sudah memiliki infrastruktur yang baik di lapangan. Diharapkan dapat mengembalikan peluang insentif bagi pekerja pertanian," kata dia.

Kemudian, bantuan sarana dan prasarana pertanian atau alat dan mesin juga disebutkan sudah cukup banyak difasilitasi pemerintah. Tahun ini, Ia menyebut, pemerintah telah memberikan  60 ribu unit alat dan mesin sektor pertanian.

"Ini bertujuan mengatasi kelangkaan pekerja pertanian. Diharapkan hasil produksi berhasil dan pasarnya terjamin untuk meningkatkan manfaat. Kalau kita kembangkan, pertanian bisa bergairah dan banyak yang mau kembali terjun sebagai petani," tuturnya.

Guru Besar Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menyebut, minimnya jaminan kesejahteraan bagi kehidupan petani dan degradasi lahan pertanian menjadi penyebab utama menurunnya jumlah angkatan kerja sektor pertanian.

Andreas mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir petani yang terpaksa keluar dari lahannya mencapai 5 juta Kepala Keluarga. Menurutnya, kondisi tersebut cukup memprihatinkan karena pada tahun 2003 silam, jumlah keluarga tani cukup besar yaitu 31 juta orang dan dalam kurun waktu dua tahun terakhir berkurang menjadi 26 juta orang.

"Jumlah keluarga tani di seluruh Indonesia dalam 10 tahun berkurang sebanyak lima juta atau tiap tahun 500 ribu tenaga tani," tutur Andreas kepada gresnews.com, Jumat (18/12).

Hal itu, menurutnya, merupakan suatu keadaan yang tidak bisa dihindari karena pada kenyataannya jumlah tenaga kerja sektor pertanian menurun lalu angkatan kerja industri meningkat. Persoalannya, lanjut Andreas, selama 10 tahun terakhir sektor industri belum berkembang.  Sementara petani di satu sisi terus tergusur dari lahannya.

"Lalu mereka menjadi masyarakat miskin kota. Ini perkembangan dan anomali yang sama sekali tidak diinginkan," kata dia.

Ia menggarisbawahi, saat jumlah petani menurun bukan berarti menggambarkan kemajuan. Pemerintah dinilai perlu mengidentifikasi dan melihat faktor penyebabnya.

"Kalau karena mereka terserap di industri dan mendapat penghasilan layak itu baik, tapi kalau menurun karena kemiskinan di pedesaan serta menjual lahannya, ini yang sangat parah," ungkapnya.

Andreas menyebut, pada tahun 2016 mendatang, jumlah petani masih akan terus menurun walaupun dalam skala kecil. Ia memperkirakan, saat ini jumlah tenaga kerja petani sudah melemah sekitar 25 juta orang.

Andreas menjelaskan, alih fungsi lahan cukup berpengaruh pada penurunan petani. Di lain sisi, faktor yang jauh lebih mempengaruhi adalah alih kepemilikan lahan.

Ia menjelaskan, lahan yang mula-mula dikuasai petani kemudian berpindah tangan ke pihak yang bukan petani. Hal ini menjadi faktor potensial menghancurkan profesi petani. Ketika itu dipegang bukan kaum petani, tanah akan dijadikan bahan spekulasi.

ANTITESIS KEDAULATAN PANGAN - Dalam pembangunan pertanian tahun 2015-2019, pemerintah mencanangkan program kedaulatan pangan. Tujuan itu merupakan amanat UU Pangan Tahun 2002 dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Menurut Andreas, hal itu menunjukan kedaulatan pangan memang merupakan sebuah pembangunan pertanian yang harus diperjuangkan bersama. Kedaulatan pangan, menurutnya, adalah bagaimana efektifitas program pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh kalangan petani.

"Kenyataan yang ada sekarang tidak demikian. Sebanyak 570 ribu petani di enam bulan pertama pemerintahan saat ini jatuh miskin," kata Andreas.

Melihat kondisi itu, program kedaulatan pangan masih sebatas wacana. Contoh lain yang menunjukan petani belum sejahteran adalah harga Nilai Tukar Petani (NTP) yang mengalami drop saat puncak panen raya selama tiga bulan berturut-turut.

Hal ini, kata Andreas, mengindikasikan belum adanya gerakan besar bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani. Sekarang justru gerakan yang dilakukan adalah mencapai peningkatan produksi yang pada kenyatannya seringkali tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani.

Dengan demikian, kesejahteraan petani masih belum diutamakan. Ia menilai, seringkali pemerintah berpikir terbalik misalnya peningkatan produksi diyakini dapat membuat petani sejahtera.

"Itu keliru, ketika produksi surplus kemudian harga turun berarti sama saja. Padahal ketika kita fokus ke kesejahteraan petani, produksi akan naik karena petani akan semakin giat berusaha," imbuhnya.




BACA JUGA: