JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Kementerian Pertanian mengkomersialisasikan jagung transgenik RR NK603 menuai kritik. Kebijakan ini mengkhianati program kedaulatan pangan yang diusung Presiden Joko Widodo lantaran tak berpihak pada petani kecil. Bahkan, petani kecil terancam kriminalisasi oleh perusahaan pangan besar lantaran belum adanya payung hukum yang melindungi mereka.

Koordinator Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko menyatakan prihatin dengan rencana pemerintah ini yang didukung perusahaan benih multinasional, Mosanto. Perusahaan ini pernah tersandung masalah suap pejabat di Sulawesi Selatan.

Konon bibit transgenik ini berteknologi canggih dan diciptakan untuk meningkatkan produktivitas menjadi berlipat, tahan perubahan iklim, aman bagi manusia dan lingkungan. "Tapi faktanya semua berbeda, yang ada di belakang itu industri yang kejar keuntungan. Dia pasti akan pilih bahan yang menguntungkan bisnisnya," kata Tejo di Bakoel Koffie, Cikini, Jumat (18/12).

Benih-benih yang kemungkinan akan diproduksi adalah kedelai, jagung, dan kapas. Sebab ketiga bibit itulah yang komoditinya paling menghasilkan di dunia. Namun, alih-alih mempermudah, Mosanto akan berjualan benih satu paket yang direkayasa tahan herbisida glyphosate.

"Dengan memakai herbisida ini hama lain mati, tak perlu menyiangi tapi tanaman utama tak mati. Padahal, herbisida ini beracun dan banyak negara sudah melarang," ujarnya.

Uji aman dilakukan hanya menggunakan tikus dalam jangka waktu 90 hari, tanpa adanya konsensus yang jelas, mengapa harus 90 hari. Padahal penelitian serupa dari Perancis di tahun 2000-an menyatakan kanker pada tikus baru ditemukan setelah lebih dari 3 bulan mengkonsumsi produk transgenik.

Bibit transgenik ini baru digunakan paling di negara seperti Amerika, Brazil, dan Argentina yang jenis pertaniannya merupakan pertanian dengan lahan besar. Negara lain, seperti China misalnya relatif masih kecil menggunakan bibit ini, bahkan tergolong masih taraf pengujian, sebab hanya memiliki luasan lahan pertanian yang tidak seberapa.

"Ini terkait politik dagang. Faktanya bibit ini tak meningkatkan produksi secara signifikan. Sama saja seperti jagung hibrida biasa," katanya.

Perbedaannya hanya pada ketahanan hama, hanya saja kelebihan ini malah membawa pengaruh buruk bagi lingkungan. Sebab, terbukti mencemari tanah, membunuh serangga lain yang menguntungkan (salah sasaran), dan tak cukup uji ilmiah dampak jangka panjang.

Pada contoh kasus Kapas trangenik di Sulawesi Selatan pada 2000-an, pemerintah dan Mosanto menjanjikan hasil hingga 3-4 ton/ha. Namun setelah ditanam, hasilnya hanya 2 persen petani yang berhasil mencapai 3 ton/ha, sebanyak 76 persen di bawah 1 ton/ha. Di negara lain, jagung transgenik yang dijanjikan 10 ton/ha hanya menghasilkan 4 ton/ha .

"Terbukti ini tak cocok pada petani tanah kecil, Amerika, Brazil Argentina punya ribuan hektar. Kita?" tanyanya skeptis.

Di dalam penanamannya, bibit ini harus dibentuk kawasan pengungsian, minim 20 persen lahannya tak ditanami tanaman utama. Ini berguna ditanami tanaman lain sebagai tempat mengungsi hama penyakit yang tak mati. Apalagi, ia menduga dengan rekayasa genetik, harga benih ini bisa 2-3 kali lipat mahalnya.

Sebelum disebarluaskan, pemerintah memang sudah melakukan pengkajian untuk keamanan pakan, pangan, dan lingkungan. Namun, pengkajian ini berbeda dengan pengujian, pemerintah hanya mengkaji berdasar dokumen yang diberikan perusahaan pengusul, yakni Mosanto. Selesai membaca, ketika dirasa data mencukupi akan diterbitkan sertifikat aman pangan dan pakan.

"Namanya jualan tak mungkin membeberkan keburukan. Ini lubang besar berbahaya buat petani dan masyarakat," ujarnya.

Belajar dari kasus di Kanada dimana terdapat perani yang dikriminalisasi lantaran kebunnya terciri gen dari kebun perusahaan besar. Ia dituduh mencuri, padahal, kebunnya lah yang tercemar gen pada kebun perusahaan besar.

Atau pada kasus benih hybrida di Kediri dimana petani bekerjasama dengan BISI untuk memproduksi benih. Namun petani dapat membuat hasil yang berlipat dibandingkan yang ditargetkan BISI, lantaran BISI hanya mau membeli sesuai target maka benih sisa pun diperjualbelikan. Sialnya hal ini membuat para petani terseret ke jalur hukum.

"Dikhawatirkan akan terjadi hal yang serupa ketika bibit transgenik ini disebar dan dikomersialkan," ujarnya.

PAYUNG HUKUM TAK MENCUKUPI - Walaupun Indonesia memiliki UU perlindungan lingkungan yang semangatnya melindungi rakyat kecil. Namun, belum ada klausus khusus yang menyuratkan adanya perlindungan ganti rugi.

"Ini yang harus digiatkan, perlindungan terhadap pemberdayaan petaninya," ujar Tejo kepada gresnews.com, Jumat (18/12).

Apalagi, sudah menjadi rahasia umum, dimana payung hukum di Indonesia bisa dimainkan. "Belum pernah saya melihat ada implementasi siapa yang harus ganti rugi," katanya.

Ditambahkan Kordinator Sawit Watch, Ahmad Surambo walaupun petani dapat memilih tak menggunakan bibit transgenik ini. Pada dasarnya, tetap tak ada pilihan lain untuk tak menggunakan. Sebab pasti terjadi pencemaran hayati sehingga akan membuahkan bibit yang transgenik pula.

Apalagi seperti kasus di Sulawesi Selatan, birokrasinya masuk melalui perintah Bupati. "Para petani pun banyak diimingi janji surga, naik haji bisa samoai 4 kali karena hasil yang melimpah. Kalau sudah begini siapa yang tak tergiur," katanya di tempat yang sama.

Sebenarnya, Indonesia memiliki UU Budidaya dimana terdapat perlindungan perekonomian petani ketika dinyatakan mengikuti program pemerintah. Para petani akan ditanggung hidupnya ketika terjadi gagal panen sampai adanya panen baru.

"Tapi ini tak pernah berjalan, Kementan juga tak pernah buat PP turunan UU budidaya ini. Waktu ditanya, sembari tertawa mereka bilang alasannya tak ada uang," ujarnya menceritakan kembali.

PENGUJIAN KETAT - Kementerian Pertanian bakal melepas benih pertama hasil program rekayasa genetika atau bioteknologi. Yakni benih jagung produksi Monsanto Indonesia yang dinyatakan toleran terhadap herbisida glisofat. "Pelepasan ditentukan dalam sidang tim penilai Badan Benih Nasional," kata anggota Komisi Keamanan Hayati Program Rekayasa Genetika, Bambang Purwantara dalam diskusi perbenihan di Malang, Selasa (1/12).

Menurut Bambang, Mosanto telah mengantongi persetujuan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan pakan. Proses penilaian dan pengujian dilakukan secara ketat dan berhati-hati. Melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan sejumlah Kementerian sehingga membutuhkan waktu panjang hingga bertahun-tahun. Setelah dilepaskan, benih itu akan menjalani uji multi lokasi. Tujuannya untuk memastikan produk benih lebih berkualitas dan secara genetika tak berubah.

Bambang yang juga Direktur Indonesian Biotechnology Information Center (IndoBIC)‎ menjelaskan program rekayasa genetika paling banyak diproduksi perusahaan transnasional. Produk transgenik selama ini menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah pihak menuding produk transgenik tak aman bagi kesehatan dan lingkungan. Namun Bambang memastikan jika produk tanaman pangan yang dihasilkan aman untuk kesehatan apalagi sudah ada 35 negara telah menanam produk bioteknologi ini.

Bambang mengatakan pemeriksaan dan pengujiannya melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Kementerian Kesehatan. Pemeriksaan dilakukan secara detil. Termasuk memastikan produk tanaman pangan hasil program rekayasa genetika itu tidak menyebabkan alergi atau beracun.

BACA JUGA: