JAKARTA, GRESNEWS.COM  - Pertumbuhan ekonomi tak lepas dari pembangunan infrastruktur. Hanya saja hingga saat ini serapan anggaran pembangunan infrastruktur terbilang rendah. Padahal anggaran yang disiapkan pemerintah cukup besar.

Salah satu kendala adalah tertinggalnya Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Untuk itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berinisiatif  merevisi beleid ini. Rencananya Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (RUU Jasa Konstruksi) akan segera disahkan akhir tahun ini. Draft RUU ini saat ini masih dalam tahap penyempurnaan.

Gabungan Pelaksana Konstruksi (Gapensi) telah mengusulkan lima masukan untuk penyempurnaan RUU tersebut. Ketua Umum Gapensi Iskandar Z Hartawi, Sabtu (21/11), mengatakan kelima masukan dari Gapensi itu merupakan hasil Musyawarah Nasional Gapensi.

Masukan itu diantaranya. Pertama, agar UU baru nantinya, memberi kewenangan Asosiasi dalam pelaksanaan sertifikasi badan usaha. Sebab asosiasi lebih mengetahui profil anggotanya.

Kedua, di dalam RUU itu perlu ada jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pelaku usaha konstruksi. Dengan pengaturan dan pemberlakuan hukum yang lebih jelas dan seimbang akan menghindarkan pelaku jasa konstruksi menjadi korban kriminalisasi akibat tidak adanya kepastian hukum pidana atau perdata. Hartawi mengatakan, pengusaha jasa konstruksi merupakan profesi yang paling rentan atas tindakan kriminalisasi di negeri ini.

Hal ini disebabkan tingkat kepastian dan perlindungan hukum di industri ini sangat rendah."Padahal, serapan dan optimalisasi anggaran sangat tergantung pada semangat pelaku jasa konstruksi dalam mengeksekusi proyek-proyek infrastruktur,"kata dia.

Ketiga, lanjut Hartawi, daya saing pelaksana konstruksi musti ditingkatkan. Salah satunya dengan melakukan pemberdayaan badan usaha kecil menengah bidang jasa konstruksi dengan memperluas lapangan usaha melalui penguatan kemitraan, dan dukungan rantai pasok, permodalan serta peningkatan kapasitas kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM). Apalagi tahun depan kita ini mau bersaing dengan jasa konstruksi dari negara tetangga kita yang lebih kuat.

Keempat, Gapensi mengharapkan RUU tersebut menjamin pengaturan jasa konstruksi secara jelas, tegas, dan terkoordinasi dengan baik agar tercipta kesetaraan dan harmonisasi jasa konstruksi. Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih.

Kelima, asosiasi yang diberi kewenangan memberikan sertifikasi harus diseleksi lebih ketat."Dalam rangka pembinaan kepada jasa konstruksi diperlukan seleksi yang lebih ketat kepada asosiasi yang diberi kewenangan memberikan Sertifikasi Badan Usaha (SBU), Sertifikat Keahlian (SKA), Surat Ketrampilan Tenaga Kerja (SKT)," ujar dia.

TUNJANG PERTUMBUHAN - Sementara Sekjen Gapensi Andi Rukman Karumpa menilai UU Jasa Konstruksi penting segera disahkan guna mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3 persen tahun depan. Belanja negara sebesar Rp 2.095 triliun sedangkan belanja infrastruktur sebesar 8% dari APBN 2016 atau senilai Rp 313,5 triliun. Nilai ini harus optimal diserap agar target pertumbuhan itu tercapai.

Pada APBNP 2015, pemerintah telah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 290,3 triliun atau meningkat 63,18% dari realisasi APBN 2014, yang tercatat mencapai Rp177,9  triliun. Dikatakannya, lemahnya serapan anggaran, utamanya infrastruktur, telah terbukti memperlemah pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.

"Semoga ini jadi pelajaran berarti bagi kita bahwa ekonomi kita masih ditopang oleh sebagian besar anggaran pemerintah," tutup Andi.

ATUR KELEMBAGAAN - RUU tentang Jasa Konstruksi merupakan salah satu RUU Inisiatif DPR RI dalam Program Legilasi Nasional (prolegnas) 2015-2019. Niat awal RUU ini karena melihat perkembangan dunia jasa konstruksi yang begitu pesat.

Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhidin M.Said mengatakan, revisi UU Jasa Konstruksi perlu dilakukan mengingat perkembangan yang semakin pesat, dengan harapan bisa bersaing dengan negara lain, khususnya menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.

Di antara substansi RUU ini adalah untuk melindungi masyarakat jasa kontruksi, baik pelaku usaha maupun tenaga kerja kontruksi dalam negeri. Terpenting juga RUU ini mengatur soal kelembagaan. Dimana ada dua lembaga yang fungsinya dibedakan.

Dua kelembagaan itu, Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional (BASJKN) dan Lembaga Pengembangan. Konsep kelembagaan ini guna memisahkan antara fungsi registrasi dan sertifikasi, dengan fungsi penelitian dan pengembangan (Litbang), pendidikan dan pelatihan (diklat).

BASJKN merupakan badan yang memiliki fungsi akreditasi dan sertifikasi yang dibiayai oleh APBN, diharapkan dalam kegiatan operasionalnya tidak menemui kendala anggaran.  Sebaliknya hasil pungutan dari proses akreditasi dan serifikasi menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sementara, Lembaga Pengembangan yang merupakan wujud peran masyarakat jasa konstruksi berfungsi menjalankan atau mendorong penelitian dan pengembangan, menyelenggarakan pendidikan dan penelitian, menjalankan mediasi dan penilai ahli, serta menunjuk dan menetapkan penilai ahli.

Dalam konsep RUU, menurut Muhidin, terdapat perubahan bidang usaha dan siklus pekerjaan konstruksi. Pembidangan usaha jasa konstruksi didasarkan pada Central Product Clasification/CPC (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang kompatibel dengan playing field dan standar internasional.

Terkait kegagalan konstruksi, dalam RUU dibedakan menjadi kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan.Resiko kegagalan konstruksi diakibatkan oleh tidak terpenuhinya standar keselamatan konstruksi yanhg diatur lebih tegas dalam RUU ini. Termasuk pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya resiko kegagalan konstruksi dan peran penilai ahli dalam penetapan pihak yang bertanggung jawab dan dalam tahapan pekerjaan konstruksi terkait kesalahan terjadi. Kegagalan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana.

BERI KEPASTIAN HUKUM - Dengan RUU Jasa Konstruksi yang pastinya akan memberikan kepastian hukum. UU Jasa Konstruksi No 18 Tahun 1999 sebelumnya tidak memberikan kepastian perlindungan hukum. Bahkan, fenomena yang ada menunjukkan indikasi "kriminalisasi" di sektor jasa konstruksi.

Anggota Panja RUU ini Syukur Nababan mengatakan, UU yang ada sebenarnya cukup bagus, tapi masih ada beberapa kelemahan yang harus sempurnakan. Salah satunya adalah terkait kepastian hukum. Ini penting, agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

Dampak dari tidak adanya kepastian hukum menyebabkan banyak pelaksana jasa konstruksi sangat berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaan. Salah satu indikasinya adalah rendahnya penyerapan anggaran. Sukur memaparkan, sampai dengan 31 Agustus 2015, penyerapan APBN-P 2015 realisasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) baru mencapai Rp307,7 triliun atau 40,3 persen dari pagunya. Di Kementerian PUPR yang didominasi belanja sektor konstruksi, penyerapan anggarannya sampai dengan bulan Agustus baru dikisaran 30 persen, dari total anggaran Rp118,5 triliun.

"Para pelaku sektor jasa konstruksi sangat rentan mengalami kriminalisasi.  Kadang persoalannya hanya kurang bayar dan lebih bayar, tapi itu bisa berubah menjadi tindak pidana korupsi. Untuk itu perlu ada formulasi yang tepat agar mampu melindungi sektor jasa konstruksi," kata Syukur dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
 

BACA JUGA: