JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines/MNA (Persero) Sardjono Djhony menuding PT Perusahaan Pengelola Aset/PPA (Persero) telah "membisniskan" aset-aset PT Merpati Nusantara Airlines/MNA (Persero) yang tengah dalam kondisi kolaps. Menurutnya bukannya berusaha menyehatkan dan menyelamatkan Merpati, PPA justru mengambil untuk dengan menjual aset-aset perusahaan BUMN tersebut.

Menurut Sardjono ada perusahaan BUMN yang menjadi aktor dibalik penjualan aset-aset  milik Merpati yaitu Merpati Training Center (MTC) dan Merpati Maintenance Facility (MMF). Menurutnya selama ini perusahaan tersebut memberikan masukan-masukan kepada Kementerian BUMN,agar menjual aset dua perusahaan tersebut.

Dia menambahkan PPA memang menghendaki MTC dan MMF menjadi bagian asetnya. Artinya, perusahaan tersebut malah mencari untung di tengah kondisi Merpati sedang terpuruk. Sehingga Sardjono menuding penjualan aset-aset milik Merpati menjadi salah satu penyebab Merpati berhenti beroperasi.

"Merekalah yang buat skenario, mereka yang bisik-bisik ke Kementerian BUMN karena mereka ingin menjadikan MTC dan MMF aset mereka," kata Sardjono kepada gresnews.com, Jakarta, Jumat (13/11).

Penelusuran gresnews.com, memang kedua aset milik Merpati tersebut telah dijual kepada PT Perusahaan Pengelola Aset/PPA (Persero)Penjualan aset itu berlangsung pada periode Dahlan Iskan menjabat sebagai Menteri BUMN. Dijualnya kedua aset tersebut dilakukan untuk menutupi biaya operasional serta utang-utang Merpati.

Senada dengan Sardjono, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana menilai tugas PPA adalah menyehatkan perusahaan BUMN yang merugi, bukanlah berbisnis aset-aset negara. Menurutnya PPA selama ini berbisnis terhadap aset milik negara yang bermasalah dengan mengambil untung atas aset tersebut.

Dia mengatakan, saat perusahaan BUMN merugi PPA datang seolah-olah memberikan bantuan kepada perusahaan BUMN, padahal PPA melakukan penjualan terhadap aset-aset BUMN yang merugi itu.

Padahal, dalam pengelolaan aset-aset negara sudah diatur UU No 1 Tahun 2004 mengenai Perbendaharaan Negara, dimana aset-aset BUMN merupakan aset milik negara. Sehingga tidak boleh disita oleh siapapun baik oleh pengadilan atau pun PPA. Bahkan dalam aturannya, PPA juga tidak punya hak untuk memiliki aset-aset milik BUMN. Menurutnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus menelusuri tindak tanduk yang dilakukan PPA dalam mengelola aset BUMN yang merugi.

"Ini perlu digaris bawahi. PPA itu berbisnis terhadap aset milik negara yang bermasalah. Jadi dia membisniskan aset milik negara, jadi dia ambil untung," kata Azam kepada gresnews.com.

PPA MEMBANTU MERPATI - Menanggapi hal ini, Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K.Ro menilai justru kehadiran PPA untuk menjembatani perusahaan BUMN yang sedang mengalami kesulitan keuangan, termasuk Merpati yang saat ini mengalami kesulitan keuangan (Financial Diskresi). Menurutnya tugas PPA menangani perusahaan yang merugi untuk dilakukan restrukturisasi, bukan merugikan perusahaan.

Menurutnya aset-aset perusahaan BUMN merugi yang diserahkan kepada PPA merupakan dana talangan, dimana dalam proses bisnis selayaknya kreditur dan debitur untuk mendapatkan dana talangan tentunya harus ada aset yang dijaminkan. Menurutnya penjualan aset dilakukan dikarenakan kondisi keuangan perusahaan sedang mengalami kesulitan.

"Jadi adanya PPA justru untuk membantu bukan menambah kesulitan. Masuknya PPA untuk melakukan restrukturisasi," kata Aloysius kepada gresnews.com.

RIWAYAT TERPURUK - PT Merpati Nusantara Persero yang berdiri pada 1962 akhirnya harus gulung tikar. Perusahaan BUMN ini tak lagi bisa beroperasi dan menggaji karyawan hingga saat ini. Pemerintah belakangan memutuskan untuk menjual perusahaan BUMN yang memperoleh penugasan untuk melayani penerbangan rute perintis ini.

Keruntuhan Merpati dirasakan mulai terjadi pada 1 Januari 2014, saat itu perusahaan telah menangguhkan sebagian  penerbangannya dan hanya menyisakan penerbangan 2 Boeing, tiga pesawat MA60, satu pesawat Cassa dan dua pesawat twinotter DHC-6.  Hal itu disebabkan  karena beban utang yang begitu besar. Terutama utang kepada sejumlah BUMN lain. Seperti tunggakan pembelian bahan bakar kepada PT Pertamina, dan tunggakan sewa hanggar kepada PT Angkasa Pura.   

Penurunan cash in serta kepercayaan masyarakat dan agen menyebabkan kegiatan operasional maskapai itu tidak bisa dilanjutkan lagi. Sehingga Merpati meniadakan seluruh penerbangan pada 5 Februari 2014. Bahkan Merpati men-suspend semua izin rute hingga akhir Februari 2014.

Sebab tenggat itu tak mampu dilalui Merpati untuk membayar kewajiban kepada para debitur. Diantaranya sistem reservasi yang harus dibayar pada 31 Januari 2014, tuntutan gaji karyawan yang harus dipenuhi, kewajiban maskapai melunasi dan melakukan pembayaran untuk termin selanjutnya. Keterbatasan kemampuan membeli bahan bakar serta biaya pengembalian tiket.

Merpati membutuhkan setidaknya Rp 7,2 triliun untuk dapat beroperasi kembali. Pada 18 September 2014 Menteri BUMN Dahlan Iskan menyatakan Merpati kemampuan Merpati untuk hidup kembali untuk menemui jalan buntu. Upaya mencari investor untuk menyelamatkan Merpati juga gagal.

Pemerintah pun menugaskan Perusahaan Pengelola Aset untuk menangani dan menalangi sejumlah kebutuhan Merpati seperti gaji karyawan dan sebagainya. Serta mencarikan patner swasta untuk menghidupkan kembali Merpati. Namun upaya tersebut hingga saat ini tak berbuah. Belakang pemerintah melalui Kementerian BUMN berencana untuk menjual Merpati pada pihak asing. Hanya saja banyaknya persoalan yang membelit perusahaan penerbangan perintis ini menyebabkan banyak pihak pesimis dapat menemukan pembeli.

BACA JUGA: