JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bersiaplah menghadapi perlambatan ekonomi yang berkepanjangan. Diproyeksikan kondisi global berupa perlambatan ekonomi ini masih akan terus berlanjut hingga tahun depan.

Ada beberapa faktor yang menjadi pemicunya. Diantaranya ketidakpastian bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) menaikkan tingkat suku bunganya, membuat pasar keuangan global bimbang. Tentu saja ini menekan gerak mata uang dunia lainnya termasuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Memang kondisi lagi seperti ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun, rupiah melemah," kata anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti Soetiono, Jakarta, Kamis (3/9).

Wanita yang akrab disapa Titu ini menjelaskan, kondisi tersebut juga terlihat dari pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang melambat. Juga diikuti kenaikan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL), meskipun masih dalam batas aman.

"Tapi kita harus optimis di tengah perlambatan. DPK dan kredit tetap masih tumbuh, walaupun NPL meningkat tapi tetap terkendali, di bawah benchmark," sebut dia.

Titu mengungkapkan, kondisi demikian dibarengi dengan akan dilaksanakannya pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan dan 2020 untuk sektor keuangan. Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkan diri lebih dini.

"MEA akan kita masuki akhir 2015, sektor jasa keuangan tidak terkecuali. Ada 5 hal yang terjadi free flow yaitu barang, jasa, investment, tenaga kerja (skill), dan modal," ucap Titu.

PULUHAN RIBU KENA PHK - Perlambatan ekonomi yang terjadi di Indonesia telah mulai berdampak ke sektor rill. Mulai banyak perusahaan yang akhirnya mengambil langkah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya. "Secara umum memang ini dikarenakan perlambatan ekonomi," ungkap Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri di Istana Negara, Jakarta, Rabu (2/9).

Hanif pun menunjukkan data menunjukkan sudah ada 26.506 karyawan yang terkena PHK di Indonesia per 25 Agustus 2015. Daerah dengan jumlah PHK paling besar adalah provinsi Jawa Barat dengan 12.000 orang. Selanjutnya adalah Banten dengan 5.424 orang, Jawa Timur dengan 3.219 orang, Kalimantan Timur 3.128 orang, dan DKI Jakarta 1.430 orang.

PHK ini tersebar di berbagai industri. Paling besar adalah industri padat karya, di antaranya adalah garmen dan tekstil. Kemudian di industri logam dan sepatu. Alasannya adalah sepinya pesanan, sehingga membuat perusahaan tutup.

"Karena tidak ada order (pesanan) barang ini terutama terjadi pada penyerapan pasar terhadap produk unggulan seperti garmen tekstil, industri logam dan sepatu," kata Hanif.

Alasan lainnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak diperpanjang, perusahaan mengakhiri perpanjangan kontrak kepada pihak ketiga (outsourcing), kurang efisiensi dan pekerja tidak bersedia pindah lokasi.

Dalam kesempatan itu, Hanif juga menuturkan masih ada potensi PHK terhadap 6.266 orang di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Tangerang, Subang, Pangkeb, dan Jawa Tengah.

Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP)‎ Jumisih‎ mengatakan, selama pertengahan kuartal ketiga (Januari-Agustus 2015) ini sudah ada ribuan buruh yang  mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal karena pabrik tempat mereka bekerja tutup. Tepatnya 5.300 buruh perempuan yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jalan Cakung Cilincing Raya, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

Sebagian besar perusahaan tempat ‎mereka bekerja gulung tikar karena tidak bisa menutup ongkos produksi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami perlambatan. "Dengan kondisi berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan upah di bawah Upah Minimun Provinsi (UMP) sebesar Rp 2,7 juta saja perusahaan banyak yang gulung tikar, bagaimana teman-teman kami dapat bertahan dengan kondisi perlambatan ekonomi seperti ini," ujar Jumisih.

‎KBN Cakung yang merupakan salah satu kawasan industri garmen terbesar di Indonesia saat ini memiliki kurang lebih 80.000 buruh, dimana 99 persen di antaranya merupakan buruh perempuan, sedangkan sisa satu persen adalah buruh laki-laki.

‎Dari puluhan perusahaan yang menempati kawasan seluas 176 hektare itu, kini hanya didominasi oleh dua perusahaan asal Korea Selatan yang memiliki modal besar, yakni PT Hansai Indonesia Utama yang memiliki lima buah  pabrik dan PT Tainan yang memiliki empat buah pabrik. Total jumlah buruh di kedua perusahaan itu sebanyak 8.000 orang.

‎Lebih lanjut, ia mengungkapkan, kondisi di KBN Cakung saat ini banyak perusahaan yang menggunakan sistem kontrak borongan dan lebih mengutamakan buruh harian lepas. Hal itu untuk menekan ongkos produksi dan tenaga buruh dapat dilepas kapan pun bergantung pesanan produksi.

‎PERBANKAN SEDIKIT LIMBUNG - Sektor perbankan di Indonesia masih kuat menghadapi dolar Rp 14.000 yang terjadi saat ini. Namun yang harus diwaspadai di tengah kondisi perlambatan ekonomi adalah kenaikan kredit bermasalah (non performing loan/NPL).

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengatakan, dia melihat daya tahan industri perbankan saat ini masih kuat. "Masih oke, perbankan itu istilahnya concern pokoknya bukan kepada rupiah atau indeks (saham). Saya malah fokusnya pada NPL. Jadi mudah-mudahan lah, jadi NPL masih kecil (gross) 2,5%, nett 1,5%. Jadi saya pikir masih sangat kuat. Mudah-mudahan daya tahan industri perbankan masih cukup. Kalau potensi ke depan, nanti kita lihat bareng-bareng," ujar Muliaman, Jakarta, Senin (31/8).

Soal pertumbuhan kredit bank, Muliaman mengatakan, tahun ini pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia rata-rata adalah 12-13%.  "Jadi menurut saya, 13% bisa tercapai sudah luar biasa. Jadi mungkin antara 12-13% lah. Saya akan terus pantau. Tapi kan berbagai paket kebijakan OJK kemarin kan memberikan ruangan yang cukup longgar, terutama kredit kepada UMKM," jelas Muliaman.

Pada kondisi saat ini, kredit bank ke sektor UMKM menjadi primadona. Sektor UMKM ini yang bisa menggerakan perekonomian di saat perlambatan ekonomi tejadi. Bahkan, kredit ke sektor ini pertumbuhannya lebih tinggi dari pertumbuhan kredit secara nasional

"Pertumbuhan kredit mikro pada beberapa bank BUMN lebih tinggi dari kredit umum. Jadi saya pikir pada tingkat bawah masih ada kegiatan. Maka dari itu, fokus kita ke UMKM pas, jadi akan kita teruskan," ungkapnya.

Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan, tingkat non performing loan (NPL) alias kredit macet bank pelat merah itu saat ini berada di kisaran 1,88% (gross) dan berpotensi naik lagi sampai akhir tahun.

"Naik terus (kredit macet), tapi tidak usah panik. Dulu waktu (krisis finansial) 2008 (NPL) kita di 4%, naik jadi 5,2%. Sekarang kan mulai dari 1,88% jadi kalau naik misalnya 1,2-1,3% seperti 2008, berarti baru di kisaran 3-3,5%. Itu masih jauh lebih baik dibandingkan dulu," katanya ditemui di kompleks Bank Indonesia (BI), Jakarta Pusat, Rabu (2/9/2015).

Menurut Budi, itu hanya hitungan kasar. Budi juga berharap kredit macet bank pelat merah itu tidak akan mencapai angka 3% di akhir 2015.

"Insya Allah tidak. Hitung-hitungan kalau belajar dari kondisi 2008 itu kan peningkatan sekitar 1,2% untuk (Bank) Mandiri. Kalau kondisinya sama dengan 2008, tapi sekarang kan relatif masih lebih baik karena likuiditas bagus," katanya.

Maka dari itu, Budi akan menjaga tingkat kredit macet bank berkode BMRI itu tetap di bawah 3%. Meski nanti ternyata kredit macetnya di atas 3% pun pengaruhnya tidak terlalu besar. (dtc)

BACA JUGA: