JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuding rendahnya serapan anggaran daerah diakibatkan adanya hobi pemerintah daerah mendepositokan APBD-nya di bank lebih dari dua bulan. Sayangnya praktek itu tidak dapat diredam lantaran dilegalkan dalam perundang-undangan.

Menurut Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah (Dirjen Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnizar Moenek, hasil monitoring 30 Juni lalu, Provinsi Riau menjadi penyerap APBD terendah karena hanya mampu menyerap APBD 11,2 persen. Sementara Gorontalo tertinggi dengan serapan hingga 35 persen.

Penempatan deposito daerah ini tak hanya berpusat pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) tapi pada bank persepsi. Yakni bank penempatan kas daerah, bisa BRI, Mandiri, BPD atau bank-bank lainnya.

"Seharusnya penempatan dana di bank persepsi tak boleh lebih dari dua bulan," ujarnya kepada gresnews.com, Kamis (13/8).

Penempatan dana di bank persepsi ini memang sesuai PP 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Pada Pasal 115 dikatakan Pemda dapat melakukan investasi jangka pendek maupun panjang untuk memperoleh manfaat ekonomis, sosial, dan atau manfaat lainnya. Sedangkan Pasal 116 menyatakan investasi jangka pendek adalah investasi yang bisa dicairkan untuk dimiliki dalam waktu 12 bulan dan jangka panjang lebih dari 12 bulan.

Selain itu pada Pasal 193 (1) UU Nomor 32/2004 dijelaskan uang pemerintah daerah yang sementara belum digunakan dapat didepositokan dan/atau diinvestasikan dalam bentuk investasi jangka pendek sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah. Hal ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan manfaat lebih (bunga bank) atas penempatan dana silpa guna menambah pendapatan asli daerah (PAD).

"Kas daerah memang dapat disimpan dalam bentuk deposito maupun giro. Namun tak bisa berlama-lama, biasanya hanya 1-2 bulan," katanya.

Namun, bagian penjelasan dari Pasal 193 (1) itu menyatakan penempatan deposito hanya dapat dilakukan di bank pemerintah. Artinya, sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 193 (1), dana APBD/silpa tidak boleh disimpan atau di depositokan di bank nonpemerintah. Namun, pada Permendagri Nomor 13/2006 tentang pengelolaan keuangan daerah, dikatakan bahwa bupati dapat membuka rekening kas daerah lebih dari satu bank yang sehat.

"Kepala daerah itu rata-rata menyimpan 3 bulan, bahkan ada yang lebih," ujar Reydonnizar yang akrab disapa Doni.

Doni mengingatkan pada hakekat dan ketentuan dalam UU dimana belanja daerah harus digunakan sebesar-besarnya untuk pelayanan publik. Untuk itu, jangan sampai kepala daerah serta merta menempatkan uang daerah sebagai instrumen investasi non permanen berupa deposito dan giro.

"Itu yang kita larang untuk digunakan lama, dikhawatirkan ada modus seperti itu," ujarnya.

Apalagi, jika menilik bunga deposito yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 6-7,75 persen. Maka sudah tentu keuntungan yang didapat dari bunga dapat dikatakan cukup besar.

USUL PEMBATASAN - Untuk memperbesar serapan daerah dan menekan jumlah penyimpanan uang daerah ke bank yang bertujuan investasi maka Kemendagri mengusulkan adanya pembatasan waktu simpanan. "Nanti akan ada di rancangan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, penempatan dana akan dibatasi waktunya. Untuk saat ini memang bisa lebih dari dua bulan," katanya.

Selain Riau dan Gorontalo, urutan serapan daerah kedua ada pada Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan menyerap APBD sebanyak 33 persen. Menyusul Papua Barat 28 persen dan Maluku 24 persen. Kemudian Jawa Tengah 22,8 persen, DKI Jakarta 19,4 persen, Kalimantan Utara 15 persen dan Banten 12 persen.

Secara umum realisasi penyerapan APBD 2015 untuk tingkat Provinsi, rata-rata baru mencapai Rp 25,9 persen. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota mencapai 24,6 persen.

Sesuai data Kemendagri, per Mei 2015, dana Pemerintah Daerah mencapai Rp 250 triliun dan hanya mengendap di BPD karena tidak dipergunakan untuk pembangunan daerah.

Anggota Komisi III Ali Umri yang pernah menjabat sebagai Walikota Binjai ini membeberkan memang banyak kepala daerah yang memperlakukan anggaran tersebut layaknya deposito. Pemda mengharapkan dividen dari dana anggaran yang tersimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Padahal, menurutnya, bunga yang didapat tidaklah seberapa, malah digadaikan dengan pembangunan daerah yang tidak berjalan dan juga merugikan negara.

"Untuk apa mengharapkan bunga? Cara berpikir kepala daerah yang seperti itu menggunakan logika yang keliru," katanya kepada gresnews.com, Rabu (12/8).

TAHU PRIORITAS PEMBANGUNAN - Saat menjadi Walikota Binjai, Ali memilih anggaran kotanya langsung disalurkan untuk pembangunan yang sudah diproyeksikan secara terprogram. Mandegnya penyerapan anggaran di daerah menurutnya terkait erat dengan ketidakcakapan pimpinan daerah memimpin program pembangunan wilayahnya. Dampaknya, penggunaan dan penyerapan anggaran tidak dapat maksimal digunakan untuk pembangunan.

"Seharusnya kepala daerah lebih dahulu mengetahui prioritas pembangunan yang diperlukan sebelum merancang anggaran pembangunan dengan cara turun ke bawah," tegasnya.

Selaku walikota saat itu, ia mengaku lebih dulu meninjau lapangan serta mengumpulkan aparatur di tingkat bawah dari RT, RW, Kepala Desa hingga camat serta perwakilan masyarakat untuk mendapatkan masukan pembangunan di daerah tersebut. Dengan langkah tersebut, pemerintah daerah jadi mengetahui prioritas dalam pembangunan daerah.
 
Rendahnya serapan anggaran juga bisa disebabkan ketidak harmonisan hubungan antara legislatif dan eksekutif di daerah. Adakalanya DPRD tidak langsung ketok palu atas anggaran yang diajukan oleh eksekutif.

"Hal ini biasanya karena anggaran yang diajukan DPRD tidak diakomodir Pemda,” ujar Ali.

Ia membuat perhitungan kasar apabila mengikuti suku bunga tabungan sebesar 0,4 persen dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang disimpan per bulan Rp10 miliar. Maka setahun akan mendapat bunga Rp10 miliar dikali 12 bulan dikali 0,4 persen yakni hanya sekitar Rp48 juta.

"Tentu ini jumlah kecil dan tak bisa dibelanjakan juga, minimal dua tahun baru muncul," katanya.

Namun, coba angka ini diasumsikan dengan mengikuti suku bunga deposito yang ditetapkan OJK per tahun, DAU Rp175 miliar dikali 12 bulan dikali 7,75 persen, yakni Rp9,3 miliar. Bunga yang diperoleh ini memang nantinya akan masuk ke APBD lagi. Tentu semakin lama anggaran diendapkan maka semakin rendah pula serapan daerahnya.

Namun menanggapi usulan Kemendagri yang akan melakukan pembatasan waktu penyimpanan, ia mengaku tak sepakat. Menurutnya  tak perlu ada pelarangan. Sebab, pemerintah daerah diibaratkan sebagai pemegang saham sehingga hak penuh penggunaan uang berada di tangannya.

"Ini masalah manajerial pimpinan saja, harusnya mereka paham pembangunan untuk masyarakat lebih penting," ujarnya.

Lebih jauh Ali menyarankan agar pemda membuat addendum kontrak untuk meminimalisir terjadinya kriminalisasi dalam penggunaan anggaran.  Hal ini khususnya untuk anggaran yang digunakan untuk proyek-proyek pembangunan dengan kerja sama pihak lain.

"Ketika proyek belum siap sesuai target perencanaan dan menimbulkan kecurigaan korupsi maka dengan addendum, proyek masih bisa diperpanjang dan tetap selesai dikerjakan tanpa terbengkalai atau terhenti,” katanya.

TIMBULKAN MASALAH HUKUM - Selain menjadi penyebab penyerapan anggaran yang rendah, penempatan dana daerah ini juga berpotensi menyeret kepala daerah ke ranah hukum seperti yang terjadi di Berau. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tanjung Redeb Rudy Hartawan Manurung telah memanggil pihak-pihak terkait terhadap penempatan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) APBD Berau anggaran 2006-2014 dalam deposito.

Kasus itu terungkap saat Pemkab Berau dinyatakan mengalami defisit anggaran, sekitar Rp 404,90 miliar hingga Rp 638,95 miliar pada APBD 2006–2013. Belakangan diketahui, Pemkab malah memiliki simpanan deposito di beberapa bank. Dalam kurun 2006–2013, diketahui penerimaan pemkab dari bunga deposito tersebut mencapai Rp 361,99 miliar.

Kejari pun melakukan pengusutan. Mereka telah memanggil Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dan pihak perbankan. Mereka dipanggil untuk mengklarifikasi indikasi penyimpangan yang mencuat. Misalnya, terkait pemindahan dana deposito dari BPD ke BNI senilai Rp 100 miliar. 

BACA JUGA: