JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pekan ini pemerintah China membuat gebrakan tak terduga, People´s Bank of China (PoBC) atau Bank Sentral China sengaja melemahkan mata uangnya, Yuan. Imbasnya luar biasa, para investor panik, pasar keuangan serta mata uang dunia, terutama Asia berjamaah terjerembab.

Selasa lalu (11/8/2015), depresiasi yuan terhadap dolar AS mencapai 2 persen. Dari 6,1162 menjadi 6,2298. Level tersebut adalah posisi terendah dalam tiga tahun terakhir. Posisi rupiah pun kian terjungkal dan membuat dolar naik ke level Rp 13.795, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk ke level 4.479,491.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan langkah China memang di luar dugaan. Namun mereka punya dasar sengaja melemahkan Yuan. Pertumbuhan ekonomi kuncinya, dalam sepuluh tahun terakhir China selalu menikmati pertumbuhan ekonomi hingga dua digit.

Sejak tahun lalu dan kini, pertumbuhan ekonomi China melambat, hanya 7 persen saja. Ekspor produk China yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi anjlok dalam.

Simak data terbaru ekspor China, sepanjang Juli 2015, penurunan ekspor China mencapai 8,3 persen atau terendah sejak 4 bulan terakhir.

"China ingin mendorong pertumbuhannya melalui ekspor. Caranya dengan devaluasi yuan sampai 2 persen," ujar mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, Kamis (14/8).

SULIT DORONG PERTUMBUHAN - Chatib, yang sekarang aktif sebagai Senior Fellow Harvard Kennedy School, menilai dengan mendevaluasi mata uangnya maka efek untuk mendorong pertumbuhan China tidak akan terjadi. China sengaja mengirimkan deflasi untuk Eropa dan AS. Termasuk ke banyak negara lain. Deflasi adalah semacam kondisi yang memaksa negara tak bisa tumbuh tinggi. Barang impor bisa didapat dengan murah, produsen berhenti berproduksi karena harga barangnya tak kompetitif dan roda ekonomi tak berjalan cepat.

Langkah China tersebut membuat perekomonian global serentak stagnan, termasuk negara-negara yang menjadi pangsa pasar ekspor China. Konsumen utama dari barang-barang ekspor China adalah Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang saat ini masih dalam status ekonomi yang lemah. Terutama dari sisi konsumsi. Tentu saja mereka pun juga ingin menggenjot ekspor untuk kembali menguatkan ekonominya.

Namun bila devaluasi menjadi langkah China maka barang Eropa dan AS akan mahal sehingga tidak kompetitif melawan China. Artinya ekonomi Eropa dan Amerika tetap melambat dan tak bisa membeli barang dari China.

PEREKONOMIAN GLOBAL GOYANG - Langkah tiba-tiba China itu membuat investor berada dalam ketidakpastian. Padahal ekonomi global mulai kondusif, setelah persoalan Yunani mereda. Ditambah dengan rencana Bank Sentral AS, yaitu Federal Reserve (The Fed), merealisasikan kenaikan suku bunga di akhir 2015.

Kini The Fed pasti akan berpikir ulang. Karena kenaikan bunga acuan bakal membuat dolar AS semakin menguat, setelah investor berbondong-bondong ke negeri Paman Sam untuk meletakkan dananya. AS adalah safe haven. Begitu para investor menyebutnya.

"Kalau The Fed naikkin (suku bunga), itu (dolar) akan lebih kuat lagi dan ekspor mereka akan terpukul. Terpaksa mereka menunda lagi. Ketidakpastian akan makin lama lagi dan menjadi lebih tinggi," ungkapnya dengan sedikit kecemasan.

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual sepakat sentimen China ini justru membuat dolar AS kian perkasa. Di tengah penguatan dolar AS yang semakin meroket, pemerintah AS tentu tidak akan membiarkan mata uangnya terlalu kuat. Karena barang-barang ekspor AS akan semakin mahal dan ini tentu akan melemahkan daya saing AS.

David menilai, Bank Sentral AS yaitu The Federal Reserve (The Fed), akan menahan menaikkan tingkat suku bunga acuan. Tentu ini akan sedikit memberi ruang bagi Indonesia atas ´gempuran´ sentimen negatif.

Jika The Fed menunda menaikkan suku bunganya yang direncanakan September 2015, maka para investor juga akan tetap mempertahankan portofolio mereka di Indonesia. Penarikan dana besar-besaran yang diperkirakan sebelumnya tidak akan terjadi.

Namun memang, kata David, penundaan ini akan kembali memberi ketidakpastian ke pasar keuangan. Tapi setidaknya, kekhawatiran soal The Fed sedikit berkurang."Tapi ya memang, timbul kembali ketidakpastian, tapi akan menyesuaikan nanti," katanya.

LANGKAH INDONESIA - Chatib menjelaskan banyak pilihan yang bisa diambil Indonesia. Bisa saja ikut terlibat dalam currency war, ikut melemahkan mata uang rupiah. Asalkan pemerintah siap menerima caci maki dari publik. Karena pelemahan rupiah (dianggap) adalah sebuah tanda kegagalan dari pemerintah. Termasuk kegagalan Bank Indonesia (BI).

Meskipun panjang lebar pemerintah menjelaskan pelemahan nilai tukar adalah bagian dari upaya mendorong ekspor. Tetap bakal sulit diterima masyarakat. Sehingga, solusi untuk ekonomi Indonesia tetap tumbuh adalah, dengan memperkuat belanja dalam negeri. Atau sering disebut dengan kebijakan keep buying strategy. Selama masyarakat masih mampu belanja, maka roda ekonomi tetap berputar.

Jangka pendek, pemerintah bisa memulai dengan mengurangi pajak masyarakat. Misalnya dengan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kelompok barang tertentu dan jenis pajak lainnya.

Selain itu, juga bisa dengan mekanisme bantuan langsung untuk masyarakat miskin atau dulunya dikenal dengan nama Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Sementara Tunai (Balsem), yang nilainya Rp 10 triliun dalam 6 bulan untuk masyarakat miskin, itu menurut Chatib wajar.

Cara lain adalah, dengan mengaktifkan kegiatan di masyarakat desa. Perbaikan saluran irigasi, membangun tempat ibadah, taman belajar atau hal-hal lain yang bisa membuat uang berputar, namun dirasakan langsung oleh masyarakat.

Untuk langkah infrastruktur yang diusung oleh pemerintah sekarang, Chatib menilai sudah tepat. Tapi itu adalah jangka menengah panjang. Minimal dari pembangunan jalan, waduk atau pembangkit listrik, efeknya baru akan terasa dalam dua atau tiga tahun ke depan.

Akan tetapi, pemerintah juga harus hati-hati. Mekanisme ini jangan sampai dinikmati orang kalangan atas. Keep buying strategy harus untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Kalau orang berpenghasilan rendah diberikan tambahan uang, pasti belanja, Karena pendapatan pas-pasan atau juga kurang. Sementara bila diberi uang ke orang kaya, pasti pilih menabung ketimbang belanja.

Apa yang terjadi sekarang, bukanlah barang baru. Berbagai teori dan pengalaman dari banyak negara termasuk di Indonesia sudah pernah terjadi. Pemerintah hanya butuh tenang dan ambil kebijakan yang tepat. Agar masyarakat juga tak ikut panik.

HANYA SESAAT - Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menambahkan, penundaan The Fed akan baik bagi Indonesia. "Positive thinking, ini baik karena dolar terlalu kuat, AS akan mikir-mikir lagi untuk menaikkan suku bunga, ekspor mereka akan mahal, daya saing menurun," katanya.

Tony menyebutkan, sentimen China tidak akan berlangsung lama. Pasalnya, ambruknya pasar keuangan dunia termasuk Indonesia lebih karena shock sesaat. Dalam beberapa waktu ke depan, pasar keuangan akan kembali normal.

Di Indonesia, tentu harus diimbangi dengan dorongan sentimen positif dari dalam negeri agar pasar keuangan bisa kembali bergairah.

"Ini respons sesaat. Mereka sedang terkaget-kaget dengan ini. Pasar shock. Rupiah tidak akan melemah lebih lanjut karena sudah undervalue, dan akan kembali positif tapi harus ada sentimen positif dari kita, bisa dorong infrastruktur, serap belanja pemerintah, dan reshuffle," jelas Tony. (dtc)

BACA JUGA: