JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beralasan sulit mendistribusikan benih hasil penelitiannya secara optimal, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian (Kementan) menggratiskan benih-benih hasil penelitiannya kepada pihak swasta untuk bisa dilakukan penggandaan dan kemudian didistribusikan ke petani.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian Muhammad Syakir mengatakan, meski selama ini badan yang dipimpinnya tersebut menelurkan puluhan benih hasil penelitian pertanian setiap tahun, hanya segelintir saja hasil penelitian tersebut yang bisa sampai dan dinikmati petani secara langsung. Alasannya karena status Balitbang Kementan yang sebagai lembaga pemerintah sehingga sulit mendistribusikan benih hasil penelitian secara optimal.

"Kami lembaga pemerintah, tidak ada fungsi komersial. Makanya kami sekarang kerjasama agar ada penggandaan benih yang kita teliti bisa dilakukan oleh swasta, sekaligus mempercepat distribusinya," kata Syakir, usai melakukan penandatanganan MoU dengan PT Bisi Internasional Tbk di Gedung Balitbang Kementan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Kerjasama dengan swasta, sambung Syakir, bisa membuat petani langsung menikmati hasil penelitian Litbang Kementan. "Kami kerjasama dengan semua swasta. Dan kebetulan yang pertama dengan Bisi. Karena dia kan sudah pengalaman dalam produksi dan distribusi benih," jelasnya.

Syakir menuturkan, pihaknya tidak menerima sepeser pun, dari pemakaian benih unggul hasil penelitian Balitbang jika dipakai perusahaan benih swasta. "Kami non komersial, semua perusahaan bisa pakai, kecuali yang sudah lisensi baru bayar," katanya.

Soal harga benih hasil penelitian Balitbang yang nantinya diperbanyak dan dijual industri benih swasta, dirinya tidak bisa mengintervensi harga benih di tingkat petani. "Nanti kan sama Bisi dijual sesuai harga umum pasar," kata Syakir.

Menurutnya, meski memiliki ratusan peneliti yang tersebar di 33 provinsi, pihaknya kesulitan mengenalkan hasil penelitian pertanian pada petani. "Ini (kerjasama) dengan Bisi bisa jadi terobosan," tambahnya.

Pada tahap awal, Bisi baru akan memproduksi dan menjual benih padi hasil penelitian Balitbang bernama Inbrida. "Kami sudah siap produksi massal. Catatan saya, pabrik kami bisa memproduksi 20.000 ton benih padi per tahun," kata Direktur Utama Bisi Internasional, Jemmy Eka Putera.

Langkah pemerintah menggratiskan benih hasil penelitian Balitbang Kementan kepada swasta untuk kemudian dijual ke petani ini dinilai mengecewakan. Pasalnya, saat ini para petani tingkat mandiri pun sudah memiliki kemampuan memperbanyak benih. Pemberian benih kepada swasta bertentangan dengan banyak program dan aturan pemerintah sendiri, juga berpeluang menghilangkan bebberapa genetika yang tak diminati di pasaran.

LANGGAR PUTUSAN MK - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Andreas Santoso menyatakan, langkah pemberian benih ke swasta menurutnya jelas melanggar nawacita presiden, juga menggagalkan program pengembangan 1000 desa mandiri benih. Selain itu, juga bertentangan dengan hasil Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem budidaya tanaman. "Putusan MK tersebut akhirnya membolehkan petani memuliakan tanaman tanpa mendaftarkan varietas dan izin edar tanamannya," katanya kepada gresnews.com, Rabu (22/7).

Andreas mengatakan, secara prinsip pemberian benih cuma-cuma ini seharusnya tidak ke swasta. Sebab untuk menghasilkan varietas unggul dibutuhkan penelitian panjang dan menggunakan uang negara yang didapatkan dari pajak rakyat bukan dibiayai swasta. "Tiba-tiba hasil uang rakyat ini diberikan secara gratis ke swasta, diperbanyak, dan dijual lagi ke petani, ini mencederai petani kecil," tegasnya.

Dia menceritakan, saat ini sudah banyak jaringan tani yang memiliki kapasitas menangkarkan benih. Sebab pada dasarnya, menangkarkan benih merupakan keahlian dasar dan mudah yang dimiliki petani dan pemerintah pun seharusnya mendukung secara penuh. Apalagi, balai penangkaran benih litbang Kementan sudah ada di kabupaten dan kecamatan dengan kelompok petani sebagai penangkarnya.

Pada masa Orde Baru, keahlian petani memuliakan benih ini memang dikebiri dengan kewajiban mendaftarkan varietas dan mendapatkan izin edar tanaman. Saat itu, para petani yang kreatif membuat benih-benih unggul banyak yang dipenjara lantaran tak sesui prosedur. Pemerintah, berkeras para petani kecil ini harus melewati proses pendaftaran galur baru untuk dilepas Kementan baru diajukan izin edar.

Kebiasaan buruk rezim Orba ini terus berlangsung hingga ke era reformasi hingga akhirnya ketentuan itu digugat ke MK.  Dalam putusan MK, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap kata "perseorangan" dalam Pasal 9 Ayat (3) sepanjang tidak tidak dimaknai dan dikecualikan untuk perorangan petani kecil.

Sehingga redaksional Pasal 9 Ayat (3) berubah menjadi: "Kegiatan Pencarian dan Pengumpulan Plasma Nutfah Sebagaimana Dimaksud Dalam Ayat (2), Dapat Dilakukan Oleh Perorangan Atau Badan Hukum Berdasarkan Izin Kecuali Untuk Perorangan Petani Kecil".

Demikian pula Pasal 12 Ayat (1) UU Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri. Sehingga redaksional Pasal 12 Ayat (1) berubah menjadi: "Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri".

MK berpendapat petani kecil telah mencari dan mengumpulkan plasma nutfah dalam kegiatan pertaniannya sejak lama. Bahkan, dapat dikatakan menjadi pelestari karena dengan pola pemilihan tanaman sebetulnya petani telah memilih varietas tertentu yang dianggap menguntungkan. "Nah, ini karya yang bagus malah diserahkan ke swasta kan aneh. Pembelaan pemerintah ini ke siapa? Perusahaan besar?" sindir Andreas.

GAGALKAN PROGRAM PEMERINTAH - Digratiskannya benih hasil penelitian Balitbang Kementan ke swasta untuk kemudian dijual ke petani ini, kata Andreas juga menggagalkan program pemerintah sendiri untuk mengembangkan petani kecil dan meningkatkan kedaulatan petani. Ia kemudian menceritakan dalam menemukan varietas unggul, tahap paling sulit adalah proses pemuliaan tanaman sampai menemukan varietas baru.

Tahap selanjutnya, yakni penangkaran yang amat mudah bagi petani kecil, karena hingga sekarang pun petani telah memiliki bank benih tersendiri. Untuk menghasilkan satu varietas baru yang unggul dan stabil, minimal dibutuhkan waktu 9 generasi sampai disilangkan. Untuk kasus di Indonesia, dua generasi memakan waktu hingga satu tahun lamanya, sehingga total menghabiskan waktu 4,5 tahun dari proses penyilangan hingga stabil.

"Dari uji multilokasi, penyebaran dan sebagainya, dana yang dibutuhkan untuk penelitian mendekati Rp50 miliar," ujarnya.

Menakar penjualan bibit dari swatsa ke petani, biasanya jika bibit tersebut merupakan proyek pemerintah melalui subsidi maka akan dipatok harga sebesar Rp10 ribu per kg. Jika merupakan bibit unggul maka bisa dipatok harga sampai di atas Rp20-25 ribu per kg. "Perusahaan ini bisa untung sangat besar, biaya produksi benih hanya Rp7-8 ribu per kg," bebernya.

Pada kesempatan terpisah, Koordinator Pokja Beras Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Said Abdullah mengatakan, langkah pemerintah ini amat disesalkan, selain karena pendanaannya bersumber dari APBN, hasilnya juga tak dinikmati langsung oleh rakyat.

Said menilai, semua argumentasi yang dikeluarkan Kementan soal kesulitan mendistribusikan bibit ke petani hanyalah omong kosong belaka. "Mereka juga katakan tak punya infrastruktur, padahal infrastruktur ada di tiap kelurahan dan ini merupakan program pemerintah sendiri," katanya kepada gresnews.com, Rabu (22/7).

Dia menuturkan, kerjasama dengan swasta ini pada akhirnya juga tetap akan melibatkan petani kecil. Sebab, saat swasta melakukan proses perbanyakan benih, mereka akan bekerjasama dengan petani-petani penangkar untuk setelahnya dijual lagi ke para petani tersebut.

Saat pemerintah menyatakan tak mengambil untung dalam penyerahan bibit ke swasta, seharusnya argumentasi ini tak perlu disampaikan. Sebab, peran pemerintah memang untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Sedang pemberian benih dengan siklus berputar yang dijalankan swasta, otomatis akan menaikkan harga.

Minimal, kata Said, satu hingga dua kali tambahan harga untuk pengangkutan dan pengemasan. "Nilai manfaat yang diberikan negara lebih besar ke perusahaan daripada ke petani. Sungguh sesat pikir!" katanya.

HARUS LANGSUNG KE PETANI - Said mengatakan, bibit itu seharusnya langsung didistribusikan ke petani seperti yang sering dicontohkan oleh IPB sendiri. Di IPB, bibit dilakukan penelitian untuk kemudian diperbanyak dan dibagikan ke petani.

Kemudian dari petani pertama, berparalel membagikan ke petani lain, sehingga mampu mengurangi biaya yang dikeluarkan petani. Dengan sistem ini, para petani hanya akan melakukan barter bibit, jikapun harus membeli maka harganya maksimal hanya mencapai Rp10 ribu per kg.

Dengan diberikan dulu ke swasta, rantai ini tak berjalan dan akan memberikan dampak buruk lainnya yaitu, kemungkinan bibit yang dihasilkan patennya akan dimiliki perusahaan. Kasus ini sudah banyak terjadi di tingkatan petani penyilang benih dimana benih yang dihasilkan diperbanyak oleh perusahaan dan hak mendaftarkannya pun dikuasai perusahaan tersebut.

Jika sudah begini, maka petani tak akan berani lagi memperbanyak lantaran takut dianggap melanggar UU dan bisa dipidanakan. "Pemerintah tak berpikir, kerugiannya banyak dan sampai sejauh ini," kata Said geram.

Dampak selanjutnya dari digratiskannya bibit ke swasta ini adalah akan terjadi reduksi kekayaan hayati, sebab perusahaan akan mengujicoba semua benih yang diberikan pemerintah di lahan dan di pasaran. Jika di pasaran yang diminati hanya beberapa dari sekian jumlah, maka yang akan diproduksi pun hanya benih-benih yang laku di pasaran tersebut. Akibatnya, benih yang tak diproduksi lama-lama akan hilang genetikanya.

Lain halnya apabila kewenangan penangkaran diberikan pada petani langsung, hasilnya petani akan memelihara genetikanya. Sebab, petani biasanya menanam benih apapun yang disuka, tiap musim akan berganti benih dan di tiap kecamatan saja jenis benih yang ditanam pun berbeda-beda sehingga keberlanjutan genetika akan terpelihara.

"Dampaknya luas, kesesatan pikir pemerintah sampai pada dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik," katanya.

Contoh kasus matinya genetika tertentu pun sudah dirasakan pada jagung, dimana 80 persen jagung yang ditanam merupakan varietas hibrida. Para petani enggan menanam jagung lokal dan bergantung pada satu jenis dan akhirnya jenis lokal pun menjadi hilang.

"Saya curiga kenapa dilepas ke Bisi? Ada apa dengan kepentingan politik ekonomi besar di baliknya?" tanya Said (dtc)

BACA JUGA: