JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya pemerintah mencari sumber energi alternatif pengganti energi fosil sepertinya mulai terfokus pada pemanfaatan energi panas bumi. Perbincangan soal pemanfaatan energi ini semakin marak terutama setelah Presiden Joko Widodo berjanji akan menggenjot pengembangan energi terbarukan tersebut. Hal itu dikatakan Presiden pada Minggu (5/7) lalu saat meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Kamojang Unit 5, di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Janji Jokowi ini dinilai masuk akal lantaran Indonesia memang kaya akan potensi panas bumi, yaitu mencapai 28.000 megawatt (MW). Sayangnya, sampai saat ini energi yang disebut juga sebagai energi geothermal ini baru sedikit dimanfaatkan, yaitu hanya 5 persen saja. Karena itu Presiden berjanji akan memberi insentif agar energi panas bumi ini dioptimalkan pemanfaatannya, terutama untuk memproduksi listrik.

Presiden pun meminta para menterinya untuk mengutamakan pembangunan PLTP. "Ke depan, pembangkit listrik cari yang ramah lingkungan. Itu yang diprioritaskan," kata Presiden saat itu.

Hanya setelah tekad itu dicanangkan, kemudian muncul banyak pertanyaan. Antara lain, selama ini mengapa potensi panas bumi sebesar itu tidak dimanfaatkan dengan optimal? Apa penyebabnya? Selain itu juga muncul lontaran, jika presiden akan memberikan insentif bagi pengembangan panas bumi ke depan, lantas bagaimana selama ini?

Menurut Data Kementerian ESDM, Indonesia adalah negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Jumlah total potensi panas bumi kita adalah 28.824 megawatt (MW). Rinciannya, potensi sumber daya panas bumi (resources) sejumlah 12.300 MW, cadangan terduga 13.413 MW, cadangan mungkin 823 MW, cadangan terbukti 2.288 MW.

"Dari cadangan terbukti itu, yang dimanfaatkan baru 1.438,5 MW. Itu sudah termasuk yang Kamojang kemarin," kata Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Yunus Saefulhak kepada gresnews.com, Rabu (8/7).

POTENSI JUARA MINIM DANA - Saat ini, ada dua program pengembangan listrik yang memasukkan panas bumi di dalamnya. Pertama, program listrik 35.000 MW dari Presiden Joko Widodo. Direncanakan ada sekitar 1.160 MW listrik dari panas bumi. Jangka waktu pengerjaanya antara tahun 2015-2019.

Kedua, ada pengembangan sekitar 4.600 MW listrik panas bumi untuk program FTP II. "FTP II saat ini jalan juga, namun jangka waktunya sampai tahun 2024," kata Yunus.

Miris memang. Potensi panas bumi Indonesia yang begitu besar, hanya terserap sekitar 4,9 persen saja. Dari segi pemanfaatan ini, Indonesia masih ketinggalan. Indonesia berada di posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan Filipina. "Filipina punya potensi panas bumi 4.000 MW, yang dimanfaatkan sudah separuhnya, 2.000 MW," kata Yunus.

Yunus juga mengatakan selama ini banyak yang menyederhanakan potensi kita sebesar 28.824 MW tanpa dirinci. Padahal, kata dia, antara resources dan reserves beda alias tidak boleh disatukan. Sebab untuk mengubah angka, dari resources menjadi reserves itu perlu peningkatan kualitas data melalui kegiatan ekplorasi.

Angka-angka di masing-masing kategori itu bisa berubah dan berpindah ke kategori lain. "Pemerintah tugasnya meningkatkan kualitas data. Jadi meningkat, misal dari cadangan mungkin masuk ke cadangan terbukti setelah dilakukan eksplorasi. Jadi bukan menambah," katanya.

Yunus mengatakan, pemerintah akan melakukan eksplorasi sesuai dengan kemampuan pendanaannya. "Tidak semua. Bagi wilayah tertentu yang sudah menarik bagi investor, langsung kita tenderkan," katanya.

Dengan demikian, datanya tidak lagi menjadi cadangan terduga atau cadangan mungkin, namun menjadi cadangan terbukti. Hanya saja memang butuh dana besar untuk melakukan eksplorasi. Untuk melakukan pengeboran satu sumur panas bumi dibutuhkan dana sekitar US$10 juta. Dengan biaya sebesar itu, kemungkinannya juga masih 50:50, antara gagal dan berhasil. Risikonya sangat tinggi. Selain itu, keuangan Direktorat Jenderal EBTKE juga terbatas.

"Planning-nya direncanakan tahun 2016 ada dana Rp10 triliun, tapi itu untuk semua EBTKE. Untuk panas bumi kita tentu kan lakukan pemboran di beberapa WK yang kita pilih. Tahun 2016 ini kira-kira 12 lubang saja. Kita akan memberikan pendanaan penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN. Ke Geodipa atau Pertamina Geothermal Energy, atau ke mana lah nanti," kata Yunus.

HARUS RAMAH INVESTASI - Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadarma mengatakan, saat ini ada banyak hal yang menghambat pengembangan panas bumi di Indonesia. Mulai dari aspek regulasi, aspek Sumber Daya Manusia (SDM) dan aspek bisnis. Diantara sekian banyak aspek itu, kata dia, aspek SDM yang harus dibicarakan lebih dulu.

Suryadarma mengatakan bahwa target Kebijakan Energi Nasional di tahun 2025, Indonesia harus bangun antara 6.000-9.000 MW. Sedangkan di dunia geothermal, berlaku rule of part, bahwa pembangunan 1 MW perlu 1 orang tenaga ahli. Sedangkan saat ini kapasitas pembangkit panas bumi yang terbangun baru 1.438 MW, dan tenaga ahli yang ada baru sekitar 1.300 orang.

"Kalau tidak ada SDM, siapa yang mau bangun?" katanya kepada gresnews.com. Untuk itu pengembangan SDM ini harus diperhatikan jika panas bumi mau dibangun.

Kedua adalah aspek bisnis terkait dengan harga, yaitu bagaimana mengembalikan investasi. Aspek ini terkait dengan harga jual listrik dari panas bumi. "Kalau harga jual tidak match agak sulit untuk bisa mendapatkan pengembalian. Kalau sulit mendapatkan pengembalian maka sulit juga mendapatkan pinjaman  pendanaan," ujar Suryadarma.

Sebagai ilustrasi, kata dia, untuk 1 MW, sampai menjadi energi membutuhkan biaya sebesar US$3-4 juta. Bayangkan kalau tidak ada kepastian pengembaliannya,” tambahnya.

Ketiga, aspek regulasi. Biaya investasi panas bumi tidak murah. Untuk itu perlu ada kepastian bahwa listrik yang dijalankan oleh pengembang dibeli dengan harga yang baik. Untuk itu harus ada kepastian dalam perizinan.

"Ini memang harus diselesaikan secara komprehensif, termasuk misalnya pembelinya siapa nanti? PLN? PLN juga harus diberi garansi bahwa dia harus beli. Kalau dia nggak ada kepastian, nanti bisa delay lagi, cost of investment-nya makin tinggi. Jadi masalah baru," katanya.

Menurut Suryadarma, pemerintah harus menyelesaikan semua hambatan tersebut dengan komprehensif. Dia juga mendorong agar jaminan atas pengembangan panas bumi ini dimasukkan dalam postur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara. "Karena BBM, apapun pasti dia masuk. Tapi kalau untuk renewable energy kan dia tidak masuk di APBN. Artinya tidak ada yang care, bahwa itu memang dijamin oleh negara dan menjadi prioritas," katanya.

Karena selama ini tidak terlalu diperhatikan, Suryadarma tak menyalahkan jika ada yang menganggap energi panas bumi terkesan dianaktirikan. "Itu yang terkesankan kan begitu," katanya.

Namun, saat ini dia mengaku gembira karena Menteri ESDM Sudirman Said selalu mengatakan bahwa pemerintah saat ini memprioritaskan energi terbarukan, termasuk panas bumi. "Kalau dulu di posisi buncit sekarang energi terbarukan ditempatkan di posisi nomor 1. Karena itu dia disebut energi utama, dulu kan energi alternatif. Kalau alternatif selama ada yang lain kan tidak perlu dipikirkan," katanya.

MASIH BANYAK HAMBATAN - Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Purnomo mengatakan, pengembangan panas bumi sudah saatnya untuk digenjot. Sebab, sesuai rencana bauran energi yang tercantum di Kebijakan Energi Nasional (KEN), Indonesia harus membangun sekitar 7000 MW di tahun 2025. "Sudah saatnya pengembangan panas bumi dilaksanakan sesuai target yang sudah dicanangkan oleh pemerintah," katanya.

Namun, menurutnya ada empat masalah mendasar yang menghambat pengembangan panas bumi di Indonesia. Pertama, informasi mengenai data-data panas bumi masih belum valid. Kedua, harga listrik dari pembangkit panas bumi yang memberi nilai keekonomian, sesuai risiko eksplorasi dan eksploitasinya yang tinggi.

Ketiga, batas waktu dan komitmen pemenang lelang wilayah kerja panasbumi (WKP) untuk menjalankan proyek sesuai target waktu. Keempat, belum adanya peraturan perundangan yang memberi kepastian dalam pengusahaan panas bumi. Seperti jaminan agar tidak ada aturan baru yang dapat membebani  biaya proyek, jaminan kepastian perizinan, dan kepastian pengadaan lahan.

Abadi Purnomo mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya sudah melakukan banyak kerja yang ditujukan untuk mencari solusi yang menghambat pengembangan panas bumi. Misalnya melihat kembali regulasi yang bisa menghambat, untuk diperbaiki.

Abadi Purnomo mengatakan, saat ini ada dua ada masalah di lapangan yang dirasa sangat berat terkait pengusahaan panas bumi. Yaitu masalah sosial dan masalah lahan. Masalah sosial yang dimaksud oleh Abadi Purnomo adalah penolakan dari masyarakat.

Dia mengatakan, masalah ini juga terjadi pada pembangunan infrastruktur di luar panas bumi. "Lapangan terbang ditolak, PLTU ditolak, banyak sekali yang ditolak," ujarnya kepada gresnews.com.

Abadi mengatakan, perlu upaya yang lebih dari pemerintah untuk edukasi masyarakat mengenai pentingnya infrastruktur tersebut untuk dibangun. Tanpa Infrastruktur, tanpa listrik ekonomi tidak akan bergerak dan tidak ada lapangan kerja.

"Kayaknya ada lack of communication dari pengambil kebijakan dengan masyarakat. Ini yang sering menimbulkan terjadinya benturan," katanya.

Untuk itu pemerintah harus pintar menggunakan cara persuasif kepada masyarakat. Misalnya memberi pengertian kepada kelompok yang yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan penolakan.

Abadi mengatakan, saat ini sudah ada beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah sepaham dengan visi yang ingin dicapai pemerintah terkait panas bumi. Misalnya Asosiasi Panas Bumi bertemu dengan LSM WWF yang bergerak di bidang lingkungan.

Abadi mengatakan, WWF saat ini sudah mengerti dan paham mengenai rencana pengembangan panas bumi di area hutan. "Dengan adanya LSM yang sudah ngerti dan paham ini kita minta mereka untuk bisa menerangkan kepada rekannya yang lain," katanya.

HARGA SAAT INI MENARIK BAGI INVESTOR - Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa terobosan untuk mengembangkan panas bumi. Terutama, dengan direvisinya Undang-Undang (UU) tentang Panas Bumi No 27 Tahun 2003 menjadi UU Nomor 21 tahun 2014.

UU Panas Bumi yang baru ini memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan harga listrik dari panas bumi, berdasarkan nilai keekonomian. Untuk memperjelas soal harga, selanjutnya diterbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 17 tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk PLTP oleh PT PLN.

Permen ini mengatur harga patokan tertinggi (HPT) listrik dari pembangkit panas bumi. "Dulu kan tidak berani, karena nggak ada dasarnya (penetapan) harga. Peraturannya nggak ada. Jadi orang takut, Menteri Keuangan, kita, Menteri ESDM. Takut kemahahan, takutnya kena, karena jaman sekarang tahu sendiri," ujarnya.

Permen Nomor 17 tahun 2014 ini memberikan jaminan kepastian bagi investor mengenai harga jual listrik dari panas bumi dan uap panas bumi yang mereka produksi. Di Permen yang diundangkan pada 3 Juni 2014 ini disebutkan bahwa PLN wajib membeli listrik dari PLTP. Pembelian listrik PLTP oleh PLN ditetapkan dengan harga patokan tertinggi, dengan mempertimbangkan tahun beroperasinya PLTP atau Commercial Operation Date (COD) dan wilayah kerja.

Wilayah 1 meliputi Sumatera, Jawa dan Bali. Wilayah II mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Halmahera, Maluku, Papua dan Kalimantan. Sedangkan Wilayah III meliputi  daerah-daerah yang sebenarnya masuk Wilayah I dan II namun terisolasi dan sebagian besar listriknya berasal dari pembangkit listrik dengan bahan bakar minyak.

"Jadi misal, mau dilelang WK ini, tahun COD kapan itu sudah ada tabel harganya. Sudah harga keekonomian plus added value (nilai tambah-red)," kata Yunus.

Berikut ini adalah tabel harga patokan tertinggi pembelian listrik dari panas bumi oleh PLN, seperti diatur dalam Permen tersebut.

Tahun COD

Harga Patokan Tertinggi (dalam sen US$/kWh)

Wilayah I

Wilayah II

Wilayah III

2015

 11,8  17,0  25,4

2016

 12,2  17,6  25,8

2017

 12,6  18,2  26,2

2018

 13,0  18,8  26,6

2019

 13,4  19,4  27,0

2020

 13,8  20,0  27,4

2021

 14,2  20,6  27,8

2022

 14,6  21,3  28,3

2023

 15,0  21,9  28,7

2024

15,5  22,6  29,2

2015

 15,9  23,3  29,6

 

Yunus mengatakan bahwa penetapan Harga Patokan tertinggi (HPT) ini sudah tergolong besar dan menarik dari sisi investasi. "Harga yang ada di matrik itu sudah harga keekonomian. Menurut asosiasi panas bumi dan stakeholder lain, itu sudah menarik," kata Yunus.

Penetapan HPT digodok oleh Kementerian ESDM bersama berbagai stakeholder lain terkait, seperti Kementerian Keuangan, PT PLN, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) dan lainnya. Selain itu kementerian ESDM juga menggandeng World Bank sebagai konsultan.

"World Bank melakukan kajian, hasilnya berupa angka-angka tadi. Tentunya angka tidak persis dengan harga (keekonomian), tapi angka di Harga Patokan tertinggi (HPT) di Permen 17 tahun 2014 itu hasil adjustment dari World Bank dan Asosiasi Panas Bumi," katanya.

Angka HPT ini dapat berubah, tergantung dari hasil evaluasi yang dilakukan Kementerian ESDM setiap tahun. "Meskipun harganya tidak selalu berubah, tergantung hasil evaluasi. Tapi kita diberi kesempatan untuk melakukan evaluasi setiap tahun. Ketika hasilnya harus diubah, maka kita akan melakukan pertemuan lagi dengan stakeholder terkait," katanya.

Yunus mengatakan, meskipun sudah ada HPT penentuan harga pembelian listrik dari PLTP ditentukan lewat lelang. HPT sendiri digunakan sebagai dasar untuk menentukan harga. Prosedurnya, saat ada Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sudah siap maka pemerintah pusat akan membuat panitia untuk melakukan pelelangan atau tender. Panitia terdiri dari: pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal EBTKE, Biro Hukum Kementerian ESDM, wakil dari daerah penghasil baik dari kabupaten dan provinsi serta akademisi.

Di proses tender, para peserta akan berlomba untuk menawarkan beberapa hal untuk memenangkan tender. Yaitu: program kerja, keuangan dan harga. Di situ akan dipilih dan ditentukan pemenang tender dan harga listrik yang akan diproduksinya. Harga itulah yang harus dibayar oleh PLN, yang ditetapkan sebagai pembelinya, tanpa negosiasi lagi. "PLN wajib membeli hasil lelang. Jadi kalau misal HPT 13 sen per kWh. Di lelang ditetapkan 12 sen pemenangnya. Itu yang harus dibeli PLN, dia tidak boleh menolak," katanya.

Dari sisi harga, pemerintah tentu akan mencari harga yang menguntungkan PLN dan pemerintah, yaitu harga yang paling murah. "Tapi harus diperhatikan, harga murah itu reasonable dengan program kerja dan keuangannya atau tidak. Kalau tidak reasonable ya gagal. Akhirnya apa, harga yang sebenarnya, yang dipakai itu adalah hasil tender. Tapi, harga tidak boleh melebih HPT," katanya.

PERIZINAN DIPERMUDAH - Menurut Yunus, terobosan lain yang dihasilkan UU Nomor 21 Tahun 2014 adalah ditariknya seluruh kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat, dalam hal izin panas bumi. "Kalau dulu kan relatif lama pemberian (izin) di sana (daerah). Misalnya kita sudah memberikan WKP untuk ditender, tapi di daerahnya tidak ditender," ujarnya.

Lamanya tender yang dilakukan pemerintah daerah dapat disebabkan beberapa hal. Antara lain, pertama, pemerintah daerah mungkin tidak punya dana yang cukup untuk melakukan tender. Kedua, masalah Sumber Daya Manusia yang kurang, kurang mengerti bagaimana melakukan proses tender. "Makanya salah satu terobosan UU Nomor 21, adalah meletakkan segala urusan panas bumi di pusat, di tarik ke pusat," katanya.

Terkait dengan masalah perizinan, Yunus menambahkan, saat ini sebagian perizinan terkait panas bumi sudah dilimpahan ke BPKM. Yaitu lewat sistem baru bernama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

"Salah satunya, Izin Panas Bumi (IPB) itu di sana. Jadi sudah all round, dari situ sudah keluar semua IPB," katanya. Perizinan untuk pengusahaan panas bumi yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan saat ini juga sudah dilimpahkan ke BKPM, seperti Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Termasuk juga izin jasa lingkungan yang saat ini tengah digodok.

Selain itu, saat ini Pemda juga sudah memiliki BKPM. Perizinan akan lewat lembaga itu. "Izin-izin yang tidak perlu bisa diringkas. Misalnya tadinya ada sampai 23 izin, sekarang cukup 8 izin. Diatur dan disederhanakan perizinannya," katanya.

Saat ini Kementerian ESDM juga menciptakan prosedur-prosedur, antara lain sistem Standar Pelayanan minimal (SPM). "Waktu dan kecepatan sudah tertentu. Sudah ada. Tidak seenaknya. Kalau misalnya ada birokratnya yang melama-lamakan ya kena sanksi. Timeline-nya jelas," katanya.

Terobosan lain yang dihasilkan UU No 21 Tahun 2014 adalah pemerintah boleh melakukan eksplorasi sampai ke pemanfaatan panas bumi. "Dulu kita nggak boleh, dulu kita hanya bisa sampai eksplorasi saja," kata Yunus.

Wewenang baru ini bisa menjadi dasar pemerintah untuk membangunkan pembangkit listrik tenaga panas bumi di daerah terpecil yang tidak diminati oleh investor. "Daerah terpencil yang dilelang tidak laku, lalu siapa lagi yang akan mengembangkan di sana. Harus pemerintah lah," katanya. Untuk pelaksananya, pemerintah bisa menunjuk BUMN atau bisa juga bekerjasama dengan swasta.

UU No 21 Tahun 2014 juga menjadi alat harmonisasi dengan UU lainnya yang selama ini dianggap berseberangan. Misalnya, sebelumnya "penambangan" panas bumi di hutan lindung dan konservasi dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan. Karena itu kegiatan panas bumi di kedua hutan itu tidak diperbolehkan. "Yang tentunya kita tahu, panas bumi itu adanya di hutan, baik hutan lindung atau konservasi," kata Yunus.

Di UU No 21 Tahun 2014, kata "penambangan" dihapus . Sehingga saat ini kegiatan panas bumi diperbolehkan di wilayah hutan lindung maupun konservasi. Untuk memakai hutan lindung, saat ini sudah ada mekanisme Izin Pinjam Pakai (IPP). Sedangkan untuk hutan konservasi, yang sebelumnya sama sekali tidak boleh, saat ini diperbolehkan melalui mekanisme Izin Jasa Lingkungan (IJS). "Mekanismenya di Kementerian Kehutanan. Saat ini sedang dilakukan pembuatan prosedurnya, entah dalam bentuk keputusan menteri atau PP," katanya.

Direktorat Jenderal EBTKE saat ini juga sedang ngebut untuk menyusun turunan dari UU Nomor 21 tahun 2014. Turunan tersebut rencananya berupa tiga Peraturan Pemerintah (PP). Pertama, PP tentang Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung, maksudnya sebagai energi untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Kedua, PP tentang Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung, seperti untuk wisata, agrisbisnis dan lainnya. Ketiga, PP tentang Bonus Produksi. PP ketiga ini berisi kewajiban badan usaha pengembang panas bumi untuk memberi bonus ke pemerintah daerah penghasil.

"Supaya tidak seperti sekarang ini yang terjadi, misal di Lahendong panas bumi sudah produksi sejak tahun 1990 tapi tidak ada kontribusi terhadap daerah. Hanya cium baunya saja. Atau mungkin cuma  (diberi program) community development-nya saja." katanya. Bonus ini akan langsung masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk angkanya masih diperhitungkan, antara 0,5-1 persen dari hasil produksi.

Menurut Yunus, saat ini yang menjadi prioritas dan sedang dikerjakan adalah PP pertama dan ketiga. Hal itu untuk mempercepat pengembangan panas bumi. "Tahun ini diharapkan bisa selesai," katanya.

INSENTIF PENGEMBANGAN PANAS BUMI - Yunus mengatakan bahwa sebenarnya, saat ini pemerintah sudah memberikan beberapa insentif fiskal bagi badan usaha pengembang panas bumi. Pertama, badan usaha pengembang panas bumi tidak dikenai PPN. PPN nya ditanggung oleh pemerintah, istilahnya PPN DTP. Kedua, badan usaha dibebaskan dari bea masuk saat mengimpor peralatan dari luar negeri.

Ketiga, pemerintah memberi keringanan PPh Badan. Badan usaha baru membayar PPh setelah sekitar 6 tahun melakukan eksplorasi. Selain itu, saat ini sedang diusulkan juga pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Yunus mengatakan, intinya pemerintah sudah memberikan beberapa insentif berupa kebijakan fiskal.

Menanggapi ucapan Presiden Joko Widodo yang memberikan insentif tambahan untuk pengembangan panas Bumi, Yunus mengartikannya sebagai insentif non fiskal. "Maksudnya harga panas buminya itu, harganya dinaikkan, supaya jangalah disetarakan dengan batubara. Naikin lah sedikit supaya investor pada tertarik dan pengembang pada sign," ujarnya.

Yunus mengatakan bahwa harga keekonomian listrik panas bumi saat ini sekitar US$12 sen per Kwh. "Saya kira kalau 12 sen di daerah Jawa itu  sudah cukup menarik," ujarnya.

Yunus mengatakan, energi yang dihasilkan oleh panas bumi konstan, terus menerus. Itu merupakan salah satu hal, mengapa panas bumi masuk kategori renewable atau terbarukan. Namun, ada syarat agar panas yang dihasilkan bisa terjaga. Yaitu lingkungan alamnya harus dijaga, agar debit air di wilayah eksploitasi panas buminya tidak turun. Oleh karena itu pengusahaan panas bumi secara otomatis wajib untuk melakukan pengelolaan yang baik di wilayah kerjanya.

"Malah naif sekali kalau pengusaha panas bumi tidak melakukan pengelalaan lingkungan dengan baik. Kalau dia tidak menjaga lingkungannya dengan baik, maka panas buminya terganggu. Masuknya air ke resources area terganggu. Lama-lama terjadi decline, airnya turun. (Produksi) terganggu karena tidak ada yang digodok, tidak ada yang dipanasi. Karenanya, debit air harus dijaga," ujarnya.

Hal itu juga sekaligus menjawab penolakan yang disampaikan beberapa kelompok masyarakat atas pemanafaatan panas bumi. Mereka ada yang takut jika kualitas dan kuantitas air terganggu. Menurut Yunus, salah jika masyarakat menganggapnya begitu. "Masyarakat hanya berorientasi pada air permukaan. Antara 0-200 meter. Sedangkan ini 2000-2500 meter. Tidak ada hubungannya," ujarnya.

PERLU KOMITMEN SEMUA PIHAK - Yunus Saefulhak mengatakan bahwa semua pihak harusnya menyadari dan punya komitmen terhadap pengembangan panas bumi ini. Baik pemerintah, parlemen dan masyarakat. Banyak pihak masih melihat mahalnya pengembangan listrik panas bumi dibandingkan dengan listrik dari batubara atau lainnya. Termasuk untuk memberikan subsidi panas bumi.

"Kadang-kadang perdebatan lamanya adalah di situ. Tentunya, keterbasan ada di sisi keuangan negara. Oke, kita komit panas bumi harus bekembang, tapi saat mengambil keputusan terkait dengan subsidi itu kelihatannya juga semuanya belum bisa komit," katanya.

Menurut Yunus, jika semua pihak berkomitmen terhadap pengembangan panas bumi, maka berapapun harganya untuk menyubsidi sampai tingkat keekonomiannya harus dibayar. Segala macam insentif harus diberikan. Harga listrik panas bumi harus sesuai harga harga keekonomian, dengan konsekuensi subsidi.

"Ketika subsidi itu muncul, maka harus komit seluruh stakeholder. Baik itu Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan tentu saja DPR yang menyetujui," katanya.

Menanggapi tudingan bahwa panas bumi selama ini dianaktirikan oleh pemerintah, Yunus menampiknya. "Mungkin itu ada benarnya, tapi di masa yang lalu. Untuk sekarang ini, mulai saat ini panas bumi sudah diperhatikan," ujarnya. (Gresnews.com/Agus Hariyanto)