site-nav-wrap
berita

Menkumham Disarankan Tetap Pertahankan PP 99 Soal Pengetatan Remisi

Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan publik dan negara sudah menempatkan kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.

Post Image

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana Menteri Hukum dan HAM (menkumham) Yasonna Laoly soal pemberian remisi pada koruptor dianggap tidak tepat. Pasalnya telah terdapat ketentuan yang mengatur soal pengetatan remisi korupsi. Aturan tersebut pun belum dievaluasi untuk melihat efektivitasnya. Sebab kalau terbukti efektif, ada baiknya aturan pengetatan remisi tetap dipertahankan.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan publik dan negara sudah menempatkan kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi (PP 99) terdapat tiga jenis kejahatan yang masuk kategori extraordinary crime yaitu terorisme, narkoba, dan korupsi.

"Kejahatan luar biasa dianggap musuh masyarakat maka wajar kalau pelakunya diberi perlakuan luar biasa dibandingkan kejahatan lain. Itu hakikat PP tersebut," ujar Arsul saat dihubungi Gresnews.com, Senin (16/3).

Arsul melanjutkan, meskipun PP 99 telah mengatur soal pengetatan remisi, ia tidak menyalahkan pernyataan menkumham soal perlunya remisi bagi koruptor. "Sebab dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pemasyarakatan memang tidak membedakan antara narapidana korupsi dengan narapidana kasus lainnya," ujarnya.

Ia menilai wajar Yasonna memiliki wacana soal pemberian remisi pada koruptor. Lagipula narapidana sebagai warga binaan memang harus dibina. Kalau menunjukkan perilaku baik maka berhak mendapatkan remisi. "Sehingga memang pernyataan Yasonna dianggap senada dengan UU tersebut," kata Arsul.

Arsul menambahkan, sebelum menkumham melakukan penyamaan atas dua dasar hukum yang ia jabarkan di atas, sebaiknya PP 99 tetap dilaksanakan terlebih dulu. Dalam PP 99 terdapat pengetatan syarat remisi bagi narapidana narkoba, terorisme, dan korupsi. "Sehingga remisi pada hakikatnya memang tidak dihilangkan," tegasnya.

PP 99 menurut Arsul harus dilaksanakan lebih dulu karena baru diberlakukan pada November 2012. Pemberlakukan PP ini baru diterapkan sekitar 2 tahun. Ia pun mengaku belum mengetahui bagaimana evaluasi terhadap PP 99. Sehingga sebelum diubah menkumham harus mengevaluasinya lebih dulu secara menyeluruh pelaksanaan PP tersebut sebelum melonggarkan kembali syarat remisi bagi kejahatan luar biasa.

Arsul menilai kalau dari hasil evaluasi PP ini berjalan efektif dalam arti membuat orang takut melakukan korupsi maka PP 99 harus dipertahankan. Selanjutnya, kalau PP ini tidak efektif menurutnya tetap harus ada syarat tertentu bagi pemberian remisi koruptor. "Misalnya koruptor selama masa tahanan harus berkelakuan baik sekaligus menjadi justice collaborator," ujarnya.

Maksud justice collaborator yaitu menyeret dan meminta pertanggungjawaban pelaku-pelaku lainnya yang masuk ke dalam lingkaran kasus korupsi yang bersangkutan. Tujuannya agar kerugian negara bisa dipulihkan. Koruptor yang bersangkutan sendiri yang dikenakan denda yang juga harus menyelesaikan dulu uang pengganti tersebut sebelum mendapatkan remisi.

Ia menuturkan pemberian remisi juga harus melihat posisi terdakwanya. Contohnya seorang pegawai rendahan yang terlibat kasus korupsi karena harus mengantarkan sejumlah uang suap pada anggota DPR yang tertangkap tangan menurutnya tetap perlu diberi remisi. Sebab orang ini tidak tahu menahu soal korupsi tapi juga ikut terjerat. Sementara untuk koruptor itu sendiri menurutnya bisa menggunakan peran jaksa penuntut umum dan hakim untuk mempertimbangkan agar hak remisi koruptor dihilangkan.

Senada dengan Arsul, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai korupsi telah didefinisikan sebagai kejahatan luar biasa. Sehingga sanksinya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Berbeda dengan jenis kriminal lain yang bisa mendapatkan remisi. Sebab remisi sebenarnya digunakan sebagai alat untuk membebaskan orang dari penghukuman kejahatan yang prinsipnya tidak mengganggu publik apalagi negara.

"Pemberian remisi tidak bisa kita terima untuk orang-orang yang bertentangan dengan prinsip ini. Sebab kejahatan korupsi berdampak luas. Sehingga tidak perlu ada remisi," ujar Ray saat dihubungi Gresnews.com, Senin (16/3).

Selanjutnya, Ray menilai pandangan menkumham salah soal remisi diberikan pada koruptor karena semua orang sama di mata hukum sehingga harus diperlakukan adil merupakan sesuatu yang salah kaprah. Menurutnya, justru pemberian remisi pada koruptor sama saja telah berlaku tidak adil pada masyarakat yang telah mendapatkan dampak buruk dari korupsi.  

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan agar narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkoba diberi remisi lantaran hak bagi tiap narapidana. Menurut Yasonna, PP 99 yang diterbitkan pada masa mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersifat diskriminatif.