-
Dasar KPK Tahan Pengacara Fredrich Yunadi
Sabtu, 13/01/2018 20:29 WIBKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi. Penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan perkara KTP Elektronik dengan tersangka Setya Novanto.
"Penahanan dilakukan untuk 20 hari pertama terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK utk tersangka FY," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, dikutip dari kpk.go.id, Sabtu (13/1).
Namun Frederich merasa KPK telah melanggar aturan lantaran dirinya sebagai advokat hanya melakukan tugas dan kewajiban membela Setya Novanto sebagai kliennya.
"Saya difitnah padahal pasal 16 UU 18 Tahun 2003 sangat jelas mengatakan advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana," ujarnya saat menuju mobil tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (13/1).
Ia membantah telah bersekongkol dengan dr Bimanesh Sutarjo untuk menyiapkan skenario saat Setya Novanto masuk Rumah Sakit Medika Permata Hijau akibat kecelakaan. Fredrich meminta KPK membuktikan tuduhannya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan penangkapan Fredrich sesuai dengan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 17 KUHAP berbunyi: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
"Jadi tidak mensyaratkan dipanggil dua kali. Syarat pemanggilan dua kali tersebut adalah untuk panggil paksa," ungkap Laode kepada wartawan, Sabtu (13/1).
Laode mengatakan penyidik telah memberi kesempatan kepada Fredrich untuk datang ke KPK tanpa paksaan kemarin (12/1). Surat panggilan untuk pemeriksaan itu sudah dilayangkan KPK kepada pihak Fredrich sejak Selasa (9/1) untuk hadir 12 Januari 2018, yang diatur di Pasal 112 KUHAP.
Pasal 112 KUHAP berbunyi: Penyidik yang melakukan pemeriksaan dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah, dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya surat panggilan dan hari orang itu harus memenuhi panggilan tersebut.
Sementara ayat 2 pada pasal itu berbunyi: Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik. Dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Berbekal bukti kuat penyidik menjalankan Pasal 17 yakni dilakukan penangkapan. (mfb)Aturan Perlindungan Profesi Advokat
Kamis, 11/01/2018 07:12 WIBDua Tersangka Baru Terkait Kasus E-KTP
Rabu, 10/01/2018 19:37 WIBPenetapan status tersangka Fredrich dan Bimanesh dilakukan setelah KPK memeriksa 35 orang saksi dan ahli pada penyelidikan.
Alasan KPK Ajukan Banding Vonis Andi Narogong
Selasa, 02/01/2018 21:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) mengajukan permohonan banding atas vonis terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus korupsi e-KTP. Andi Narogong divonis 8 tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP.
"JPU telah menyatakan banding untuk putusan Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Andi Agustinus," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Selasa (2/1/2018).
Dalam pertimbangannya, KPK lebih berfokus pada penerapan hukum Pasal 2 dan Pasal 3 dalam banding tersebut. Selain itu, KPK berfokus pada penerapan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi bersama-sama dalam proyek e-KTP.
"Dalam proses banding ini, yang menjadi fokus JPU adalah penerapan hukum, terutama terkait dengan pihak-pihak yang melakukan korupsi bersama-sama dan penerapan hukum Pasal 2 dan Pasal 3. JPU lebih berfokus pada penerapan hukumnya. Jadi, kalau lihat tingginya vonis itu, sudah sama dengan tuntutan," ucap Febri.
Menurut Febri, pengajuan banding ini agar konstruksi proyek e-KTP memiliki keterkaitan dengan kasus terdakwa lain, Irman dan Sugiharto, serta sidang terdakwa Setya Novanto. Menurut Febri, keterangan Andi juga memiliki keterkaitan dengan bukti-bukti Setya Novanto.
"Kita juga hargai hakim kabulkan JC (justice collaborator) karena Andi membuka peran pihak lain. Namun, untuk penerapan hukum Pasal 2 atau Pasal 3 dan pihak yang diduga bersama-sama, itu yang sedang jadi perhatian JPU agar konstruksi kasus e-KTP seluruh ini lebih saling terkait dan terintegrasi dengan yang lain, Irman dan Andi serta SN yang sedang berjalan. Karena ada keterkaitan keterangan Andi dengan beberapa bukti Setya Novanto," ujar Febri.
Diketahui, hakim menilai Andi terbukti sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara tersebut. Hakim juga mengabulkan permohonan menjadi justice collaborator yang diajukan Andi.
Selain dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, hakim membebani Andi membayar uang pengganti USD 2,5 juta dan Rp 1,186 miliar.
Jumlah uang pengganti ini dikurangi pengembalian uang Andi Narogong sebesar USD 350 ribu. Bila uang pengganti tidak bisa dipenuhi dalam waktu satu bulan setelah putusan hukuman berkekuatan tetap, harta Andi disita. (cdn/mfb)KPK Sasar Pelaku dari Swasta di Kasus E-KTP
Jum'at, 29/12/2017 20:01 WIBKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menelisik peran sektor swasta terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Penelusuran itu dalam rangka pengembangan perkara.
"Jadi ada swasta, ada penyelenggara negara, ini sedang berlanjut. Seperti yang pernah saya katakan berkali-kali bahwa kasus e-KTP ini bukan kasus lari jarak dekat. Ini lari jarak jauh, ini maraton. Jadi masih banyak," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kepada wartawan di kantornya, Jumat (29/12).
Awalnya, Syarif masih merahasiakan klaster mana yang disasar. Namun akhirnya dia menyebut klaster swastalah yang kemungkinan bakal dijerat.
"Oke sebagai hadiah ulang tahun (KPK), mungkin (pelaku) dari pihak swasta," ucap Syarif.
Sejak Kamis (28/12) kemarin, KPK memang menyatakan sedang mengembangkan kasus e-KTP. Beberapa orang yang telah diperiksa adalah Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dan Ketua DPR nonaktif Setya Novanto.
Terkait kasus ini, banyak nama memang disebut terlibat dalam pengondisian proyek e-KTP hingga menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Hingga kini, KPK juga sudah memproses hukum 6 orang.
Empat di antaranya sebagai terdakwa, yaitu Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang kasusnya sudah vonis, serta Setya Novanto, yang masih dalam proses pengadilan. Ketiga terdakwa pertama pun sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk mengungkap keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
Sementara itu, dalam penyidikan, KPK sedang merampungkan berkas perkara anggota DPR Markus Nari dan Anang Sugiana Sudihardjo. (dtc/mfb)Kembangkan Kasus E KTP, KPK Periksa Anang Sugiana dan Setnov
Jum'at, 29/12/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan akan memeriksa Anang Sugiana Sudihardjo dan Setya Novanto untuk mengembangkan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Pengembangan ini menurut KPK masih dalam tahap awal.
"Dalam rangka pengembangan perkara e-KTP, hari ini dibutuhkan keterangan dari sejumlah pihak, yaitu Anang Sugiana Sudihardjo dan Setya Novanto," ucap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis (28/12).
Selain kedua orang itu, KPK juga menyebut sudah memeriksa beberapa orang. Namun, KPK tidak membeberkan lebih jauh soal penyelidikan baru itu. Hanya saja, KPK mengungkap dugaan pihak lain yang bertanggung jawab dalam kasus ini. "Kami masih terus dalami dugaan keterlibatan pihak lain," kata Febri.
Terkait kasus ini, banyak nama memang disebut terlibat dalam pengondisian proyek e-KTP hingga menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Hingga kini, KPK juga sudah memproses hukum 6 orang.
Empat di antaranya sebagai terdakwa, yaitu Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang sudah kasusnya sudah vonis, serta Setya Novanto yang masih proses pengadilan. Ketiga terdakwa pertama pun sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk mengungkap keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
Sementara di penyidikan KPK sedang merampungkan berkas Anggota Komisi V Markus Nari dan Anang Sugiana Sudihardjo. Sementara itu, Setya Novanto yang sudah menjadi terdakwa dalam kasus ini, sudah memberikan eksepsinya atas dakwaan jaksa KPK.
Dalam eksepsinya itu, Setnov membantah menerima uang sebesar US$7,3 juta seperti yang didakwakan jaksa. Dalam eksepsi tersebut, Novanto juga mengaku tidak pernah ada kesepakatan fee kepada anggota DPR, menerima hadiah jam tangan Richard Mille, dan PT Murakabi tidak turut serta dalam peran mengejarkan proyek e-KTP ini.
Jaksa KPK sendiri enggan menanggapi nota keberatan atau eksepsi Setya Novanto soal penerimaan uang. Menurut jaksa, hal itu sudah masuk dalam pokok perkara.
"Bahwa merujuk argumentasi penuntut umum sebagaimana tersebut di atas dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP keberatan penasihat tersebut sudah memasuki materi pokok perkara," ujar jaksa saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/12)
"Untuk itu mengenai fakta apakah terdakwa benar-benar menerima sejumlah uang atau hadiah, apakah PT Murakabi Sejahtera relevansi atau tidak dengan perbuatan terdakwa serta mengenai siapa kesepakatan pembagian fee. Penuntut umum tidak akan menanggapi karena sudah memasuki pokok perkara," ucap jaksa.
Menurut jaksa, fakta penerimaan tersebut sudah diuraikan atau disampaikan dalam sidang terdakwa Andi Narogong. Fakta persidangan Novanto disebut menerima hadiah atau uang. "Apalagi fakta-fakta tersebut telah dipertimbangkan secara terang dalam putusan Andi Narogong," ucap jaksa. (dtc/mag)Novanto Pertanyakan Hilangnya Nama Politisi PDIP
Rabu, 20/12/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Hari ini, Rabu (20/12) sidang lanjutan perkara E KTP dengan terdakwa Setya Novanto bakal kembali digelar, dengan agenda pembacaan eksepsi dari pihak Novanto. Setya Novanto yang sudah hadir di ruang sidang, kali ini tampak sumringah, berbeda dengan sidang sebelumnya ketika dia lebih banyak diam.
Dalam sidang kali ini, pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya mengaku sudah siap membacakan eksepsi yang diajukan pihaknya dalam sidang dugaan korupsi proyek e-KTP. Dia menitikberatkan pada nama yang hilang dari dakwaan kliennya.
"Intinya berkaitan dengan kebenaran formal maupun substansi daripada dakwaan itu sendiri, yang selama ini muncul memang spekukasi tentang nama yang ada dan kemudian hilang ini menjadi bagian-bagian penting juga yang akan kami sampaikan dalam eksepsi ini," ungkap Firman Wijaya begitu tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Sebab, menurut pengacara ini dengan hilangnya sejumlah nama itu, ada peran yang hilang. Akibatnya, lanjut Firman, konstruksi perkara e-KTP tidak lengkap. Padahal nama-nama itu juga muncul dalam dakwaan terdakwa lainnya seperti Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Highlight kita lebih kepada nama-nama yang hilang itu, karena itu akan menentukan konsep peran serta, termasuk kerugian negara, itu berdasarkan putusan MK harus actual trust (nyata). Beberapa nama yang hilang ini tentu memberikan tidak hanya indikasi pertanyaan tentang kebenaran dakwaan ini, tetapi juga bisa mengandung persoalan-persoalan hukum yang agak serius, misalnya penetuan kerugian negara yang kemudian menjadi spekulatif, serba tidak pasti, karena nama hilang ini kaitannya dengan penerimaan yang didakwaan pada pada Irman, Sugiharto," ucapnya.
Nama yang dipermasalahkan menghilang dalam dakwaan itu antara lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Pihak kuasa hukum juga berharap adanya putusan sela. Sama halnya seperti proses praperadilan yang juga berjalan hingga sidang pokok digelar. "Semua proses kami harapkan ada putusan sela, sama dengan proses praperadilan kemarin. Hemat kami baik praperadilan maupun pokok perkara itu bagian yang tidak terpisahkan," kata dia.
Setya Novanto sendiri tampak siap menghadapi sidang itu. Novanto tampak sesekali tersenyum ke arah istrinya, Deisti Astriani Tagor, yang duduk di bangku pengunjung sidang. Saling sapa juga tampak antara Novanto dengan Deisti diiringi lambaian tangan. Deisti pun membalas senyum Novanto dan juga melambaikan tangan ke arah Novanto.
Untuk persidangan hari ini, majelis hakim mengagendakan pembacaan eksepsi dari tim penasihat hukum Novanto. Seusai menjalani pemeriksaan pada Selasa (19/12) kemarin, Novanto pun mengaku telah sehat. "Sehat," ujar Novanto sambil tersenyum saat itu. (dtc/mag)KPK Siapkan Jerat Pasal Pencucian Uang Buat Setnov
Selasa, 19/12/2017 20:21 WIBPusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut laporan terkait transaksi Setya Novanto telah diserahkan seluruhnya kepada penyidik KPK. Namun isi laporan itu tidak dibeberkan PPATK.
"Sudah, sudah lama, kita jangan berbicara SN (Setya Novanto)-lah. Semua hal terkait diduga terjadi pelanggaran UU atau tindak pidana, PPATK itu punya kewenangan, diminta atau tidak, untuk menyampaikan hasil analisanya," ujar Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di kantor PPATK, Selasa (19/12).
Ahmad tidak menyebut apakah ada transaksi yang mencurigakan dalam laporan itu. Namun dia tidak membantah bahwa penyidik KPK bisa menjerat Novanto dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Pokoknya sudah kami serahkan. (Kemungkinan dijerat TPPU) insyaallah, itu penyidiklah yang bisa," kata Ahmad.
Dalam surat dakwaan Novanto, nama istri dan anaknya, Deisti Astriani Tagor dan Rheza Herwindo, turut disebut memiliki saham di perusahaan yang menjadi holding PT Murakabi Sejahtera, yang ikut dalam konsorsium lelang proyek e-KTP. Ahmad mengatakan, apabila ada indikasi TPPU terkait itu, Deisti dan Rheza bisa dijerat.
"Kalau memang terbukti dia mengetahui dan ikut menyimpan atau menguasai tentu bisa dikenakan, tapi kuncinya, semua dibuktikan oleh penyidik KPK," ucap Ahmad.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua KPK Dian Ediana Rae mengiyakan apa yang disampaikan Ahmad. Rae pun memastikan PPATK siap apabila KPK masih membutuhkan data lain.
"Yang jelas sebetulnya kalau dilihat dari semua yang kita temukan pada hakikatnya sekarang ini seluruhnya sudah kita serahkan ke KPK. Artinya bahwa informasi yang ada di KPK itu sama dengan informasi yang ada di kita sebetulnya," ujar Rae.
"Tapi kan ini kasusnya bisa berkembang. Kalau itu berkembang, tentu kita akan memperhatikan itu. Jadi kita kan selalu ada kolaborasi yang sangat dekat dengan KPK. Jadi kalau ada perlu tambahan, misalnya transaksi ´X´ atau transaksi ´Y´, itu pasti ditambahkan ke kita," Rae menegaskan. (dtc/mfb)Pengusaha Made Oka Disebut Orang Dekat Setnov
Selasa, 12/12/2017 11:00 WIBPenyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Made Oka Masagung terkait kasus korupsi proyek KTP Elektronik (e-KTP). Pengusaha itu disebut-sebut sebagai orang yang membantu permodalan proyek e-KTP.
Sekitar pukul 10.20 WIB, Made Oka tiba di KPK dengan mengenakan kemeja putih yang dibalut jaket biru. Namun Made Oka enggan memberikan keterangan apapun. Dia tampak didampingi seorang pria yang mengenakan kemeja batik warna merah.
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyebut Made Oka dipanggil penyidik untuk dimintai keterangan sebagai saksi. "Made Oka diperiksa untuk ASS (Anang Sugiana Sudihardjo)," ujar Febri dalam pesan singkatnya, Selasa (12/12).
Sebelum Made Oka, Setya Novanto sudah hadir untuk menjalani pemeriksaan. Febri juga menyebut bila Novanto diperiksa berkaitan dengan Anang yang juga sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.
Made Oka memang beberapa kali diperiksa KPK berkaitan dengan kasus tersebut. Bahkan dalam surat tuntutan Andi Agustinus alias Andi Narogong, perannya disebut terang benderang sebagai orang dekat Novanto.
Jaksa KPK menyebut Made Oka sebagai pengusaha yang dikenal Novanto kepada Johannes Marliem (Dirut PT Biomorf) dan Paulus Tannos (Dirut PT Sandipala Arthapura). Novanto menyebut Made Oka sebagai sosok yang akan membantu permodalan proyek e-KTP.
Selain itu, jaksa KPK juga menyebut commitment fee untuk Novanto diberikan melalui tangan Made Oka. Namun, Made Oka selalu bungkam ketika ditanya berbagai macam pertanyaan terkait hal itu. (dtc/mfb)
Akom Kembali Disebut Terima Jatah E-KTP
Jum'at, 08/12/2017 08:00 WIBJaksa KPK menyebutkan Andi Agustinus alias Andi Narogong menerima uang USD 7 juta dari Dirut PT Biomorf Johannes Marliem untuk mantan Dirjen Dukcapil Irman. Uang tersebut dibagikan oleh Irman untuk sejumlah pihak salah satunya pada politikus Golkar Ade Komaruddin.
"Selanjutnya Irman membagikan uang tersebut kepada Diah Anggraeni USD 300 ribu, Sugiharto USD 100 ribu dan sisanya USD 300 ribu untuk Irman," kata jaksa saat sidang tuntutan terdakwa Andi Narogong di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (7/12).
Selanjutnya, jaksa menyatakan Ade Komarudin juga mendapatkan jatah uang USD 100 ribu melalui Drajat Wisnu Setiawan. Uang tersebut merupakan bagian milik Sugiharto.
"Adapun bagian Sugiharto USD 100 ribu diberikan kepada Ade Komarudin melalui Drajat Wisnu," kata jaksa.
Berikut rincian uang yang diterima sejumlah pihak:
1. Gamawan Fauzi mendapatkan sebuah ruko di Grand Wijaya dan sebidang tanah di Jalan Brawijaya melalui Azmin Aulia serta uang Rp 50 juta yang berasal Andi Narogong, Johannes Marliem.
2. Tri Sampurno menerima uang Rp 2 juta dari Dedi Priyono
3. Ade Komaruddin menerima USD 100 ribu dari Irman melalui Drajat Wisnu.
4. M Jafar Napsah menerima uang USD 100 ribu
5. Beberapa anggota DPR yang seluruh berjumlah USD 12,8 jutaNamun dalam beberapa kesempatan, Gamawan dan Akom berulang kali membantah hal tersebut. (dtc/mfb)
Miryam Terima USD 1,2 Juta Jatah Komisi II DPR
Kamis, 07/12/2017 20:44 WIBMiryam S Haryani politikus Hanura disebut menerima USD 1,2 juta untuk dibagikan ke Komisi II DPR. Hal itu diungkapkan jaksa KPK dalam surat tuntutan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Awalnya, jaksa menyebut Andi bertemu Sugiharto (terdakwa kasus e-KTP lainnya) pada Februari 2011. Dalam pertemuan tersebut, Andi memberikan sebuah kertas pembagian uang untuk sejumlah pihak tertentu.
Pembagian uang sejumlah Rp 520 miliar kepada pihak tertentu, yakni kuning kode Golkar Rp 150 miliar, Demokrat kode biru Rp 150 miliar, PDIP kode merah Rp 80 miliar, Marzuki Ali kode MA Rp 20 miliar, Anas Urbaningrum kode AU Rp 20 miliar, Chairuman Harahap kode CH Rp 20 miliar, dan partai lainnya Rp 80 miliar.
Atas rincian tersebut, jaksa menyatakan Sugiharto melaporkan sebuah kertas pemberian Andi kepada Irman. Untuk menyamarkan transaksi, Andi bersama Irvanto Hendra (keponakan Setya Novanto) dan Ikhsan Muda bertemu di Singapura guna membahas pembentukan perusahaan PT Tristar PTE Ltd.
"Setelah pengesahan anggaran 2011, Andi memberikan uang melalui Vidi Gunawan dan Yosep kepada Irman 1,5 juta dolar," ucap jaksa saat sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor,Jakarta, Kamis (7/12).
Kemudian, jaksa mengatakan Irman memberikan uang USD 1,2 juta untuk Komisi II DPR melalui Miryam S Haryani. Sisa uang tersebut disimpan oleh Irman.
"Dan uang itu diberikan kepada anggota Komisi II DPR melalui Miryam dan sisanya dipegang oleh Irman," kata jaksa.
Pada Maret 2012, jaksa mengatakan Sugiharto memberikan uang USD 400 ribu untuk Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR. Uang tersebut dimaksudkan untuk memuluskan anggaran proyek e-KTP.
"Sugiharto memberikan uang kepada Markus Nari USD 400 ribu di Senayan. Uang tersebut bagian dari pemberian Andi dan ditambah Paulus Tanos USD 200 ribu," tutur jaksa.
(dtc/mfb)Jaksa Tuntut 8 Tahun Penjara buat Andi Narogong
Kamis, 07/12/2017 20:22 WIBJaksa menuntut pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Andi Narogong diyakini jaksa terbukti terlibat kasus korupsi proyek e-KTP.
"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini, menyatakan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ujar jaksa pada Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) membacakan surat tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta, Kamis (7/12).
Jaksa menyatakan Andi Narogong bersama pihak lain mengarahkan perusahaan tertentu dalam hal ini konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang proyek e-KTP. Tiga konsorsium yang diminta Andi menang lelang proyek ini yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera.
"Terdakwa memiliki kenalan dengan para pejabat seperti Setya Novanto, Diah Anggraeni dan Irman mempunyai kedekatan menaruh wewenang untuk memenangkan anggaran di DPR. Terdakwa melakukan intervensi PNRI, Murakabri dan Astragraphia untuk memenangkan konsorsium tersebut," ucap jaksa.
Selain itu, jaksa menyatakan Andi Narogong memperkaya diri sendiri dan orang lain. Perbuatan Andi Narogong disebut jaksa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2.314.904.234.275,39.
"Demikian adanya unsur terdakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain serta korporasi," ujar jaksa.
Jaksa juga menyatakan Andi Narogong mempunyai hubungan dengan Setya Novanto untuk membahas anggaran proyek e-KTP di DPR. Andi pun pernah bertemu dengan Setya Novanto di Hotel Gran Melia, Jakarta Pusat.
"Kemudian Andi bertemu Setya Novanto, Diah, Irman dan Sugiharto. Setya Novanto bilang ada proyek nasional ayo dukung bersama-sama. Atas mendapatkan dukungan Novanto Andi mengajak Irman bertemu Novanto di lantai 12 ruang fraksi Golkar di DPR," ucap jaksa.
Andi disebut jaksa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (dtc/mfb)
Surat Dakwaan Setya Novanto Sudah Siap
Rabu, 06/12/2017 20:28 WIBSurat dakwaan atas nama terdakwa Setya Novanto sudah siap. KPK pun telah membagikannya kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dan Novanto.
"Selain ke PN (Pengadilan Negeri), dakwaan dan berkas perkara tersebut akan diserahkan ke pihak tersangka SN (Setya Novanto). Jadi sejak sore ini, maka berkas dan dakwaan tersebut sudah tidak hanya ada di KPK, tapi juga sudah disampaikan ke PN dan tersangka SN," ucap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Rabu (6/12).
Posisi KPK saat ini tinggal menunggu penetapan majelis hakim serta jadwal sidang perdana. Selain itu, Febri menyebut KPK telah siap menghadapi sidang praperadilan Novanto yang bakal digelar pada Kamis (7/12) besok.
"Terhitung sejak tadi pagi sebenarnya proses penyidikan sudah selesai sehingga tanggung jawab beralih ke JPU (jaksa penuntut umum), dan kemudian sore harinya setelah berkas lengkap dan dakwaan sudah ada, maka dilakukan pelimpahan ke PN Jakpus," ucap Febri.
"Jadi domainnya sekarang di PN Jakpus, sekarang tinggal menunggu penetapan majelis dan juga jadwal sidang. Namun secara paralel karena besok dijadwalkan sidang praperadilan, maka KPK akan hadir di sidang praperadilan tersebut," imbuh Febri.
Sore tadi tim KPK telah melimpahkan berkas pokok perkara atas nama Novanto ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Ada ribuan berkas yang diserahkan.
Namun pihak pengadilan belum menentukan majelis hakim yang bakal mengadili Novanto, termasuk penentuan jadwal sidangnya.(dtc/mfb)
Mendudukkan Nebis In Idem dalam Kasus Praperadilan Setya Novanto
Senin, 04/12/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Saat ini salah satu soal yang menjadi fokus dalam persidangan permohonan praperadilan Satya Novanto adalah terkait dengan masalah penerapan nebis in idem. Untuk kepentingan tersebut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mendorong agar hakim praperadilan kasus ini secara berhati-hati menerapkan penggunaan prinsip tersebut dalam praperadilan.
Dia mengatakan, nebis in idem dipahami sebagai tidak adanya pengadilan lainnya atas perkara yang sama baik berdasarkan perkaranya/peristiwa (tempus dan locus delictie) dan kesamaan pelaku, yang telah diadili sebelumnya dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. "Asas nebis in idem bermaksud melindungi individu yang telah dihukum atas suatu kejahatan dari penghukuman lebih jauh dan menjadi sasaran penghukuman berkali-kali atas perbuatan tersebut," ujarnya kepada gresnews.com, Senin (4/12).
ICJR mengingatkan, dalam hukum pidana di Indonesia, prinsip nebis in idem diatur secara jelas dalam KUHP. Pasal 76 Ayat (1) KUHP. Di situ dinyatakan: "Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut".
Titik tekan nebis in idem berada pada kewenangan penuntutan yang dimiliki negara, prinsip nebis in idem memberikan perlindungan untuk memastikan bahwa seseorang hanya diadili (dituntut) satu kali dalam peradilan yang adil untuk suatu perbuatan yang disangkakan padanya (tidak dalam pengertian upaya hukum biasa dan luar biasa). Perbuatan yang disangkakan tersebut adalah perbuatan yang persis sama, berdasarkan tempus delicti dan locus delicti.
"Dengan kata lain, secara contrario, apabila seseorang melakukan suatau perbuatan pidana lain, atau perbuatan pidana lain dengan locus dan atau tempus delicti yang berbeda atau suatu pengulangan pidana, maka padanya dapat dilakukan penuntutan lagi," kata Supriyadi.
Dalam nebis in Idem, kunci utama juga terletak pada pemeriksaan materil suatu pokok perkara. Dengan kata lain, bahwa suatu kasus dilindungi prinsip nebis in idem dalam hal pengadilan sudah memeriksa pokok perkara dan menghasilkan suatu putusan, baik berupa putusan pidana, lepas atau bebas.
"Maka, apabila dalam proses persidangan ternyata belum masuk pada pokok perkara, persidangan pada seseorang masih bisa dilakukan. Intinya prinisip nebis in idem, barulah dapat dipersoalkan dikala pemeriksaan sudah memasuki pokok perkara secara materil. Dalam hal permasalahan bersifat formil maka tidak berlaku prinsip nebis in idem," tegas Supriyadi.
Menururt ICJR, praperadilan sejatinya merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk pula masalah ganti rugi. Praperadilan didesain untuk memberikan perlindungan pada masa "pra persidangan" bagi tersangka atau orang lain yang merasa hak-nya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.
Karena alasan itu, maka praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. Secara eksplisit hal ini dapat dilihat dalam KUHAP Pasal 82 Ayat (1) huruf d yang menyatakan: "dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur".
Pengaturan itu menunjukkan bahwa ada dimensi dan jurisdiksi yang sangat berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara. Secara langsung praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek formil. "Aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pemeriksaan pokok perkara," papar Supriyadi.
Untuk kewenangan baru praperadilan yaitu memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, Pasal 2 Ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016 bahkan secara eksplitis menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan "aspek formil" melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Secara praktik dan teori yang dimaksud "aspek formil" adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti.
Itulah mengapa putusan Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana jelas diatur dalam Pasal 2 Ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016.
Faktor penting lain yang menjadi dasar kenapa tidak ada prinsip nebis in idem dalam praperadilan, karena dalam paperadilan, tersangkalah yang menjadi pihak yang memohonkan dan menuntut. "Apabila prinsip nebis in idem dipakai, maka yang harus dilindungi justru posisi dari aparat penegak hukum. Hal ini bertentangan dengan maksud prinsip nebis in idem itu sendiri," kata Supriyadi.
Pasal 82 Ayat (1) huruf e KUHAP menyatakan: "putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru".Dalam ketentuan ini, KUHAP justru membuka ruang agar tersangka tetap dapat mengajukan permohonan praperadilan baru di tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum meskipun sudah ada putusan praperadilan pada tingkat penyidikan. Ini menunjukkan bahwa pengaturan KUHAP terkait praperadilan, khususnya Pasal 82 Ayat (1) huruf e KUHAP tidak menganut prinsip nebis in idem.
Catatan di atas menunjukkan bahwa nebis in idem hanya berlaku dalam tahapan pemeriksaan pokok perkara di persidangan dan tidak berlaku dalam konteks pemeriksaan praperadilan yang secara aturan memang tidak memeiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. "Dimensi kewenangan praperadilan dan pemeriksaan di ruang sidang sangat berbeda, tujuan pokoknya juga berbeda pula, sehingga tidak tepat prinsip nebis in idem penyidikan di persoalkan dalam pemeriksaan di praperadilan," pungkas Supriyadi. (mag)Berkas Dikebut, KPK Hindari Praperadilan Setya Novanto?
Jum'at, 01/12/2017 21:26 WIBKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan menghindari praperadilan di kasus dugaan korupsi e KTP dengan tersangka Setya Novanto. Apalagi sebelumnya KPK telah kalah dalam praperadilan melawan Setya Novanto yang kini menjabat sebagai Ketua DPR.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan berkas kasus dugaan korupsi e-KTP dengan tersangka Setya Novanto sudah selesai. Dia juga memberi sinyal kuat berkas itu akan dilimpahkan dalam waktu dekat.
"Kalau saya bilang dari awal sudah selesai. Cuma tinggal merapih-rapihkan aja kok. Penyidik dan penuntut sudah firm di situ. Mereka firm semua," kata Saut di sela acara ´Festival Anak Jujur di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (1/12).
Saut mengatakan berkas itu akan dilimpahkan secepatnya. KPK sudah menghitung segala kemungkinan terkait kasus Novanto, termasuk ´menghindari´ praperadilan.
"Kalau itu nanti kita sudah berkas kan berarti kita nggak main sidangnya. Berarti kan selesai," ujar Saut menjawab pertanyaan apa persiapan KPK menghadapi praperadilan.
Saut mengatakan keterangan terdakwa kasus e-KTP Andi Narogong dalam persidangan Kamis (30/11) kemarin menambah keyakinan KPK untuk menjerat Novanto. Penyidik dan penuntut KPK, jadi lebih firm soal kasus ini.
"Bukan hanya mempercepat, tapi paling tidak menjadi, kita lebih firm bahwa selama ini yang kita lihat itu sudah betul. Ini kan hanya dikonfirmasi saja, dikroscek ulang saja bahwa yang kita dengar selama ini ternyata betul. Dibenarkan sama yang bersangkutan (Andi Narogong, red)," ulas Saut.
Sebelumnya Kuasa hukum Setya Novanto, Ketut Mulya Arsana menyebut permintaan KPK terkait penundaan sidang praperadilan kliennya mencederai proses hukum. Karena pihak KPK tidak hadir, sidang praperadilan Novanto ditunda hingga pekan depan.
"Tidak perlu direspons karena kami sudah menerima surat dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan penundaan pada hari Kamis, 7 Desember 2017. Kita jalan saja sesuai kewenangan masing-masing," ujar Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (30/11).
Pihak Novanto menyebut KPK terkesan mengejar waktu melimpahkan berkas perkara Novanto ke pengadilan dibanding menghadapi praperadilan. Namun KPK menurut Febri memilah dua proses antara praperadilan dengan penyidikan.
"Perlu dipahami proses praperadilan dan proses penyidikan tentu hal yang berbeda dan berjalan secara paralel saat ini," kata dia.
Dalam penyidikan dugaan korupsi e-KTP, KPK sedang berupaya melengkapi berkas perkara 3 orang. Tiga orang tersangka itu antara lain Setya Novanto, Anggota Komisi V DPR Markus Nari, serta Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.(dtc/mfb)