JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Presiden dan DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Permintaan itu sejalan dengan sikap sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

"Jadi kita memang berharap pembahasannya dibatalkan. Kita sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Komnas HAM," kata Peneliti ICW Tama S Langkun kepada Gresnews.com, Jumat (14/8/2020).

ICW menilai aturan tersebut banyak menimbulkan polemik sehingga tidak perlu dibahas lagi.

Diwawancarai terpisah, Koordinator Gerakan Bersama (Geber) BUMN Ahmad Ismail juga menilai sikap Komnas HAM itu sangat tepat.

"Penghentian pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut mewakili kepentingan pubik sekaligus melindungi hak partisipasi publik yang telah dilanggar dan diabaikan dalam penyusunan," kata Ais---sapaannya---kepada Gresnews.com, Jumat (14/8/2020).

Ais menilai RUU Cipta Kerja sangat destruktif di setiap klasternya. Dalam klaster ketenagakerjaan misalnya, RUU Cipta Kerja mengebiri hak-hak buruh. Bahkan dalam proses pembahasannya telah mengabaikan keberadaan buruh sebagai subjek produksi dan usaha.

"Sikap Komnas HAM sangat sejalan dan mewakili bahkan mendukung pandangan-pandangan kaum buruh ataupun publik lainnya terhadap penolakan adanya RUU Cipta Kerja. RUU yang kuat dugaannya mencelakai hak-hak publik yang harusnya dijaga oleh negara," katanya.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga menjelaskan penghentian pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Komnas telah beberapa kali menyampaikan rekomendasi terkait proses penyusunan RUU Cipta Kerja sebelum ini. Kertas posisi Komnas disusun berdasarkan pengkajian sejak awal tahun ini," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (14/8/2020).

Ia berpendapat potensi perusakan lingkungan oleh adanya undang-undang itu sangat besar, termasuk juga pertimbangan adanya potensi pelanggaran HAM.

Sandrayati juga menyebut proses pembahasan RUU Cipta Kerja juga tidak melibatkan partisipasi publik sehingga tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan negara demokrasi.

Bagi Komnas HAM, melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja adalah sebuah kemunduran. Sebab, selama bertahun-tahun Indonesia serius membangun negara yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia serta negara yang peduli hukum.

Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu anggota Dewan HAM PBB.

Berdasarkan hasil kajian Komnas HAM, ada 10 poin RUU Cipta Kerja yang menjadi sorotan.

Pertama, terkait dengan prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan mekanisme yang telah diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior di mana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, peraturan pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.

Ketiga, RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif, sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.

Keempat, tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya, sehingga apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.

Kelima, pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.

Hal ini diantaranya terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)/kontrak, kemudahan dalam proses/mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja, penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti dan istirahat serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi.

Keenam, pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan.

Berkurangnya kewajiban melakukan AMDAL bagi kegiatan usaha, pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, hilangnya Komisi Penilai Amdal, perubahan konsep pertanggungjawaban mutlak sehingga mengurangi tanggung jawab korporasi dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.

Ketujuh, relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.

Kedelapan, pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU 2/2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dengan membuka semakin luasnya objek yang masuk kategori kepentingan umum, padahal tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Selain itu kemudahan atas prosedur penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi) ke Pengadilan Negeri sehingga berpotensi memicu meluasnya penggusuran paksa atas nama pembangunan.

Kesembilan, pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi).

Hal itu di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20% dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 (sembilan puluh) tahun.

Terakhir, politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang/kelompok pelaku usaha/korporasi sehingga mencederai hak atas persamaan di depan hukum. Hal itu terkait dengan perubahan ketentuan penghukuman dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi administrasi denda untuk pelanggaran awal, di mana sanksi pidana penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi denda tidak dibayarkan.

Hal tersebut diberlakukan atas: 1) hukum lingkungan; 2) penataan ruang; 3) bangunan gedung; 4) pangan; 5) serta monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. (G-2)

BACA JUGA: