JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menunda sidang peninjauan kembali (PK) perkara korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Joko Tjandra. Sebelumnya, majelis hakim yang diketuai Nazar Effriadi kembali menunda sidang pada hari ini karena Joko tak hadir.

Ini merupakan kali ketiga Joko tak hadir ke sidang dengan alasan sakit. Hakim sudah menunda sidang dua kali, yaitu pada 29 Juni dan 6 Juli 2020. Pada sidang 6 Juli 2020, Nazar sempat memberi peringatan agar Joko Tjandra dihadirkan ke sidang.

Ia mengatakan pemohon PK wajib hadir ke sidang setidaknya satu kali dan mengatakan tak akan menunda lagi sidang. "Ini kesempatan terakhir ya, kami tidak akan menunggu lagi," kata Nazar dalam sidang, 6 Juli 2020.

Namun, Joko Tjandra tidak hadir dengan alasan sakit dan menitipkan surat ke pengacaranya. Dalam surat yang dibacakan di sidang, Joko mengaku kondisi kesehatannya menurun dan meminta izin untuk diperiksa di persidangan melalui telekonferensi.

Sementara itu Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta para majelis hakim di PN Jakarta Selatan menolak PK yang diajukan Joko Tjandra.

"ICW mendesak agar hakim dapat menolak permohonan PK yang diajukan oleh buronan Kejaksaan tersebut. Setidaknya ada beberapa alasan," kata Peneliti ICW Tama S Langkun kepada Gresnews.com, Sabtu (18/7/2020).

Menurutnya Joko Tjandra sudah ketiga kalinya tak juga hadir di persidangan. Padahal Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 dan Pasal 265 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sudah secara tegas menyebutkan bahwa pemohon wajib hadir saat melakukan pendaftaran dan mengikuti pemeriksaan persidangan PK.

Ia mengatakan majelis Hakim semestinya dapat bertindak objektif dan juga turut membantu penegak hukum (Kejaksaan) dengan tidak menerima permohonan PK jika tidak dihadiri langsung oleh yang bersangkutan.

ICW juga meminta agar dilakukan pemeriksaan internal terhadap oknum kepegawaian yang menerima berkas permohonan PK atas nama terpidana Joko Tjandra.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ( MAKI) mengajukan permohonan amicus curae (sahabat keadilan) atas proses PK Joko S Tjandra ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, ada dua alasan yang menjadi dasar pengajuan amicus curae. Pertama, berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya.

"Sementara, Joko Tjandra, belum berhak mengajukan PK karena belum memenuhi kriteria sebagai terpidana," kata Boyamin dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (20/7/2020)

Menurutnya hal ini didasarkan oleh keadaan Joko Soegiarto Tjandra hingga saat ini belum pernah dilakukan eksekusi dimasukkan penjara dua tahun berdasar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung tahun 2009.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (32) KUHAP, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Menurutnya sangat jelas, terpidana adalah orang yang telah dipidana. Maknanya cukup jelas, tidak perlu penafsiran yaitu mengandung maksud telah menjalani pidananya yaitu masuk penjara sesuai putusan inkracht.

Alasan kedua, berdasarkan data Dirjen Imigrasi, Joko Tjandra tidak pernah masuk ke Indonesia melalui sistem perlintasan pos imigrasi.

Secara hukum atau de jure, Joko Tjandra tidak pernah berada di Indonesia. Selain itu, dia telah dinyatakan buron karena kabur ke luar negeri sejak 2009.

Dengan demikian, orang yang mengaku Joko Soegiarto Tjandra pada saat mendaftakan Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 8 Juni 2020 haruslah dianggap tidak pernah ada di Indonesia dan proses pendaftarannya haruslah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan.

"Sehingga sudah seharusnya PK a quo dihentikan prosesnya dan tidak diteruskan pengiriman berkas perkaranya ke MA," kata dia.

Sementara itu Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan tidak pandang bulu dalam pengusutan Joko Tjandra.

"Biar pun teman satu angkatan, kami tidak pernah ragu untuk menindak tegas tanpa pandang bulu," ujar Listyo dalam keterangan tertulis pada Senin, (20/7/2020).

Dalam persoalan ini, Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis telah mencopot jabatan tiga anak buahnya. Mereka adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Brigadir Jenderal Nugroho Wibowo, dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.

Selain itu, Polri juga tengah menyelidiki dugaan keterlibatan pihak lain di luar institusi terkait pelarian Joko Tjandra.

"Proses lidik dan sidik terhadap semua dugaan pidana yang terjadi, baik yang dilakukan internal maupun pihak-pihak terkait di luar institusi Polri," kata Listyo.

Listyo berjanji akan melakukan pengusutan secara transparan dan terbuka kepada publik.

"Kami pastikan akan profesional dan transparan dalam melakukan pengusutan perkara ini. Kami meminta agar masyarakat percaya dan ikut membantu mengawasi hal ini," ucap Listyo. (G-2)

 

BACA JUGA: