JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memvonis mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji pidana selama enam tahun penjara.

Ketua hajelis hakim Muhammad Siradj menyebutkan Nur Pamudji terbukti melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 UU 31/1999 Jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsidair.

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan meyakinkan telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Menghukum karenanya dengan pidana selama enam tahun penjara dan pidana denda sejumlah Rp200 juta. Dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama enam bulan," kata M. Siradj dalam sidang yang dihadiri Gresnews.com, Senin (13/7/20) malam.

Untuk dakwaan Primair, M. Siradj menyatakan Nur Pamudji tidak terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan sehingga membebaskan terdakwa dari dakwaan primair tersebut.

Dalam putusan ini salah satu anggota majelis hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Alasannya Nur Pamudji dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai direktur energi premier PLN periode 2009 sampai 2011 dan sebagai direktur utama PT PLN periode 2011 sampai dengan 2014, khususnya pada pengadaan barang dan jasa penggunaan Bahan Bakar Minyak jenis HSD, tidak lain hanya menjalankan tugas.

Yaitu, kata hakim tersebut, melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Peraturan Menteri BUMN Nomor per data 05/MDU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa pada Usaha Milik Negara dan Keputusan Direksi PLN nomor 08/mir/2008 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa.

Justru terdakwa Nur Pamudji berusaha menghemat keuangan negara dan memberikan hasil penghematan keuangan negara. Perbuatan terdakwa tersebut seharusnya mendapat penghargaan ataupun reward karena telah berhasil memberikan bukti penghematan.

Hakim anggota itu juga berpendapat penilaian JPU yang mengatakan bahwa terdakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp188,745 miliar dan menyalahi ketentuan prosedur pengadaan barang dan jasa yang melanggar aturan kementerian BUMN dan dewan direksi adalah keliru dan salah kaprah. Uraian JPU bahwa perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan negara atau kerugian negara adalah kekeliruan.

Sementara itu kuasa hukum Nur Pamudji, Julius ID Singara, akan mengajukan upaya hukum lainnya. "Kita akan pelajari dan akan ambil tindakan. Mohon doa biar keadilan bisa ditegakkan," katanya.

Julius mengaku kecewa dengan putusan akhirnya. Lantaran fakta yang dibacakan majelis hakim tidak sesuai dengan fakta-fakta di di persidangan. Baik saksi-saksi maupun alat bukti.

"Contoh paling sederhana tadi hakim mengatakan bahwa ada perpanjangan waktu. Perpanjangan waktu, faktanya semua saksi mengatakan perpanjangan waktu itu kesepakatan antara ketua panitia dengan seluruh peserta. Dan itu memang sesuai dengan peraturan dan ada bukti-bukti serta bukti-bukti surat yang merekam semua peristiwa tersebut," kata Julius.

Namun Julius senang ada dissenting opinion dari hakim anggota satu. Apalagi disebutkan bahwa Nur Pamudji ini harusnya ini seharusnya mendapat penghargaan karena telah melakukan penghematan.

"Tadi hakim ketua Majelis mengatakan bahwa dia tidak sependapat dengan hitungan BPK, Kan dia ngomong begitu. Artinya hitungan BPK nggak Benar dong," imbuhnya.

Sebelumnya JPU menuntut Nur Pamudji selama delapan tahun penjara.

Seperti diketahui, mantan Dirut PT PLN Nur Pamudji didakwa melakukan korupsi sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp188 miliar. Perbuatan Nur Pamudji disebut berkaitan dengan pengadaan BBM jenis High Speed Diesel (HSD).

"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yaitu Honggo Wendratno atau suatu korporasi Tuban konsorsium yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp188 miliar," ujar jaksa Yanuar Utomo membacakan surat dakwaan tersebut di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019).

Jaksa menyebut perbuatan Nur Pamudji dilakukan bersama-sama dengan Honggo Wendratno sebagai Direktur Utama PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) sekaligus Ketua Tuban Konsorsium.

Kasus berawal dari pengadaan yang dilakukan PLN untuk BBM jenis HSD demi memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Muara Tawar, Tambak Lorok, Gresik dan Grati, Belawan serta Tanjung Priok dan Muara Karang.

Honggo Wendratno mengetahui rencana PLN tersebut, lalu meminta kepada Soepomo sebagai Direktur Kekayaan Negara dan lain-lain, Dirjen Kekayaan Anggaran Kementerian Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk menentukan besarnya subsidi BBM jenis HSD, dengan maksud agar PT TPPI bisa menjadi rekanan PLN untuk memasok BBM jenis HSD.

Jaksa menyebut Nur kemudian memerintahkan panitia pengadaan untuk menerapkan pasca-kualifikasi. Padahal, menurut jaksa, pengadaan barang dan jasa harus melaksanakan prakualifikasi kecuali pembelian langsung.

Selain itu terdakwa Nur Pamudji memerintahkan panitia pengadaan untuk menerapkan Right to Match (dalam hal calon pemenang dengan harga penawaran paling rendah merupakan produsen luar negeri maka tidak langsung dapat ditunjuk sebagai pemenang tetapi produsen dalam negeri diberikan kesempatan untuk menyampaikan penawaran harga yang sama dengan produsen luar negeri ditunjuk sebagai pemenang).

Kemudian panitia pengadaan disebut jaksa memilih Tuban Konsorsium sebagai pemenang pemasok BBM untuk pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Tambak Lorok dan Belawan. Tapi dalam perjalanannya, Tuban Konsorsium terlambat memasok BBM ke PLN sehingga membeli BBM ke Pertamina.

PLN dalam pembelian BBM jenis HSD kepada Pertamina dengan harga yang lebih tinggi dari perjanjian Tuban Konsorsium sampai dengan berakhir perjanjian sehingga jumlah selisih yang harus ditanggung PLN Rp118 miliar dan terdakwa dalam memutus PJBBM tersebut tidak menyelesaikan terlebih dahulu hak yang seharusnya diterima oleh PLN sebagai akibat keterlambatan pasok dan kegagalan paskoan HSD oleh Tuban Konsorsium Rp69,8 miliar. (G-2)

BACA JUGA: