JAKARTA - Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara oleh PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI) pada Badan Pengelola Usaha Minyak dan Gas berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (15/6/2020).

Persidangan diawali dengan pembacaan peledoi oleh Raden Priyono selaku mantan Kepala BP Migas dan dilanjutkan Djoko Harsono selaku mantan Deputi Finansial dan Pemasaran BP Migas. Setelah itu dilanjutkan oleh para penasihat hukum kedua terdakwa.

Priyono meyakini dirinya tak bersalah. Lantaran keputusan yang diambilnya sudah didiskusikan bersama dengan ESDM/Migas, Depkeu, BPH Migas dan Pertamina (Persero) sebagai kewajiban PSO.

Surat penunjukan PT TPPI itu telah melalui penelitian atau kajian dari segi teknis maupun aspek hukum yang dilakukan oleh bidang terkait, yakni divisi pemasaran, divisi operasional dan divisi hukum BP Migas yang merupakan tim penjual kondensat bagian negara.

Menurutnya, surat penunjukan PT TPPI yang ditandatanganinya tersebut, sebelumnya telah disiapkan oleh tim penunjukan penjualan kondensat oleh Djoko melalui momerandum nomor: 175/BP0000/2009/S2 tertanggal 16 Maret 2009. Serta nota dinas, surat penunjukan TPPI sebagai penjual kondensat untuk pasokan BBM domestik melalui Pertamina.

"Penunjukkan TPPI sebagai penjual atau pembeli kondensat tersebut itu juga dilakukan dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah yang diputuskan dalam rapat kabinet terbatas pada 21 Mei 2008 yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla."

Dalam rapat tersebut juga dihadiri Menteri ESDM, Dirjen Anggaran, Dirjen Kekayaannya Negara mewakili Menteri Keuangan, Dirut Pertamina dan Kepala BPH Migas.

Dalam rapat tersebut juga diputuskan untuk memasok kondensat kepada PT TPPI yang memiliki kilang dalam negeri dan merupakan perusahaan bergerak di bidang Migas, yang mayoritas sahamnya dikuasai Pemerintah RI (60℅), namun pada saat itu TPPI berhenti berproduksi. "Kebijakan pemerintah tersebut dalam rangka menyikapi kondisi ekonomi negara pada saat itu sedang merosot," ungkapnya.

Karena pada saat itu, kata Priyono, kilang TPPI harus dapat dioperasikan dan perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan BBM, khususnya di Jawa Timur.

Fakta-fakta tersebut juga telah disampaikan oleh para saksi di persidangan, termasuk kesaksian Jusuf Kalla dalam sidang teleconference pada 14 Mei 2020.

Penasihat hukum Priyono, Tumpal Hutabarat, menyatakan dalam pledoinya itu, pada intinya membantah tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) tersebut. Karena menurutnya tuntutan yang disampaikan tersebut tidak berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan.

Menurutnya Priyono dan Djoko hanya menjalankan tugas pemerintah. Dan kalau pun ada masalah itu hanya masalah piutang antara BP Migas dengan PT TPPI yang ditunjuk BP Migas dalam pelaksanaan kondensat bagian negara.

Ia menjelaskan sebenarnya persoalan kilang minyak ini berkaitan dengan hak tanggungan. Bahwa terkait usulan hak tersebut telah disetujui oleh para noteholder yang kemudian disahkan oleh pengadilan niaga.

"Sehingga noteholder ini mendapatkan jaminan dari TPPI termasuk jaminan fidusia yang dimiliki oleh BP Migas yang sampai saat ini masih ada dan belum pernah dicabut,"tuturnya.

Kemudian, katanya, saksi menerangkan bahwa atas restrukturisasi yang telah disetujui oleh noteholder. Kemudian disahkan oleh pengadilan Niaga tersebut di mana khusus untuk BP Migas, kini SKK Migas. SKK Migas belum mendaftarkan surat berharga. Namun utang kepada BP Migas tercatat di dalam neraca TPPI.

Menurut Tumpal, saksi menerangkan pada saat Pertamina sebagai pengendali TPPI untuk menyelesaikan kewajiban TPPI terhadap BP Migas sebesar US$ 139 juta maka Pertamina melakukan restrukturisasi utang.

"Namun nilai jaminan yang dijadikan sebagai alternatif pembayaran kondensat bagian negara tersebut tidak cukup menutupi pembayaran kondensat. Ahli menjelaskan bahwa patuh terhadap kewenangan dari bidang hukum perdata," tuturnya.

Selanjutnya, masalah utang piutang juga diterangkan oleh ahli Saat Pardede yang pada intinya menjelaskan bahwa piutang merupakan bagian dari aset negara. Dimana tuntutan ini ada piutang jangka pendek dan piutang jangka panjang.

Ahli mengatakan berapa hutang ada tercantum di LKPP. Berarti piutang tersebut tidak berkurang. Piutang tersebut dapat berkurang adalah karena adanya penghapusan pembayaran atau penambahan.

"Lebih jauh lagi bahwa masalah ini bukan masalah pidana adalah seperti yang diterangkan oleh ahli Profesor Doktor Agus Surono menyatakan bahwa apabila dalam suatu perkara terdapat putusan pengadilan dalam hal ini putusan perdamaian dan sudah inkrah. Maka selama tidak ada pembatalan atas putusan perdata tersebut putusan perdamaian tersebut tetap berlaku dan menjadi acuan,"ungkapnya.

Selain itu, berdasarkan uraian di atas jelas tidak ada unsur perbuatan melawan hukum dalam sistem hukum pidana yang dilakukan oleh para terdakwa.

"Apalagi putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Sebagaimana telah dibacakan sebelumnya tertanggal 26 Desember 2012 masih terus berlangsung dan jelas ini masuk dalam hukum keperdataan," kata Tumpal di luar sidang kepada Gresnews.com. (G-2)

 

BACA JUGA: