JAKARTA - Pemerintah sedang mempersiapkan satu tahap menuju normal baru (new normal) menghadapi COVID-19 setelah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berakhir. Namun para ahli mengingatkan kebijakan itu belum saatnya diterapkan bila mengacu pada data-data terbaru.

Ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif mengatakan data per 23 Mei 2020 menunjukkan lonjakan jumlah pasien positif COVID-19 mencapai 1.000 orang per hari.

"Kalau kita mengacu pada data, tentu itu (new normal) tidak tepat," katanya kepada Gresnews.com, Selasa(26/5/2020).

Ia menilai kenaikan tersebut bukan berarti Indonesia telah mencapai puncak pandemi melainkan karena pemeriksaan spesimen di Indonesia yang semakin meningkat. Artinya pemerintah lebih banyak mendeteksi spesimen per hari sehingga banyak pasien yang ketahuan positif.

Syahrizal berpendapat jumlah pasien positif itu bisa meningkat lebih dari 1.000 orang pasien per hari jika pemeriksaan spesimen yang dilakukan lebih banyak. 

Selain pemeriksaan jumlah spesimen, katanya, longgarnya pelaksanaan PSBB yang terlihat dari maraknya masyarakat yang berkerumun saat menjelang dan seusai lebaran bisa menyebabkan peningkatan jumlah pasien baru.

Dampaknya biasanya 10 hari ke depan karena masa inkubasi itu sekitar dua sampai 14 hari. Jadi bisa dilihat pada lima sampai tujuh hari setelah lebaran. Contoh peningkatan pasien itu seperti terjadi di Jakarta yang sempat menurun namun belakangan kembali meningkat.

Menurut Syahrizal, PSBB merupakan keseimbangan antara upaya memutus rantai penularan dan tekanan dampak sosial yang diberikan dari kebijakan tersebut. Hal itu membutuhkan seni kepemimpinan untuk menentukan agar tidak terlalu mengorbankan aspek kesehatan maupun ekonomi.

"Jadi memang butuh seni. Seni memimpin bagaimana caranya ini tidak mengorbankan salah satunya (ekonomi atau kesehatan). Memang ada contoh negara yang melakukan sedikit kebijakan batasan pergerakan. Seharusnya seperti Jepang, Taiwan, Swedia mereka praktis tidak melakukan itu," katanya.

Di Indonesia sendiri sebetulnya ada seperti Bali yang tidak melakukan PSBB. Tapi mereka melakukan upaya-upaya lain yang juga menurunkan kasus.

Syahril mengungkapkan Presiden Joko Widodo juga melihat Bali sebagai contoh. Tapi kalau mau melihat Bali sebagai contoh harus utuh melihatnya.

"Keberhasilan Bali yang utama itu pada upaya orang sehat tetap berada di rumah. Yaitu dengan kekuatan komunitas adat Bali," ujarnya.

Hal itu bagus dan juga mencegah kemungkinan orang-orang yang berisiko atau orang yang terinfeksi masuk ke wilayah-wilayah orang yang sehat. Itu menjadi kunci dari keberhasilan Bali.

Namun bila melihat perkembangan saat ini, ketika Presiden Jokowi pergi ke stasiun MRT dan mal di Bekasi, hal itu mengindikasikan akan ada pelonggaran. "Pesan utamanya sebetulnya adalah Jokowi di dua tempat itu dibaca sebagai persiapan untuk persiapan pelonggaran," ungkapnya.

Menurutnya, pelonggaran itu harus berbasis wilayah. Jadi tidak bisa pelonggaran itu dilakukan di seluruh Indonesia. Atau di seluruh daerah PSBB itu tidak bisa, karena dampak PSBB di masing-masing wilayah yang menerapkan PSBB itu berbeda-beda. Jawa Timur, misalnya, sudah ditetapkan PSBB satu fase tapi hasilnya jauh dari harapan. "Malah kasusnya meningkat nggak karu-karuan," katanya.

Ia juga menilai kurang tepat penetapan zonasi wabah dengan menyebut zona merah, oranye, hijau. Misalnya, bila penderitanya hanya sedikit dilabeli zona hijau. Sebetulnya dari sisi epidemiologi itu sedikit menyesatkan.

"Kenapa, dari aspek kita penyakit baru satu kasus ada di suatu wilayah. Misalnya di Depok. Depok punya satu kasus saja. Apalagi saat ini sudah ada 200 kasus. Itu saja sudah kita anggap kejadian luar biasa," ungkapnya.

Jadi, kata dia, sementara pemerintah beranggapan kasus di zona hijau itu termasuk kasus kecil, itu menyesatkan karena hal yang sebenarnya tidak terdeteksi, apalagi kemampuan pemerintah dalam menelusuri kontak juga terbatas.

"Indonesia ini dengan negara kepulauan sangat riskan. Nanti Jawa selesai, di luar Jawa baru dimulai," ungkapnya.

Presiden Jokowi menyebut Indonesia sedang mempersiapkan untuk menuju new normal atau tatanan kehidupan baru untuk diterapkan di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota. Namun, kebijakan ini bisa diperluas jika dirasa efektif untuk membuat masyarakat produktif serta tetap aman dari virus korona.

"Kami lihat dalam satu minggu dampaknya seperti apa, kemudian akan kami lebarkan ke provinsi, kabupaten/kota lain apabila dirasa terdapat perbaikan yang signifikan. Kita ingin tetap produktif tapi aman COVID-19," kata Jokowi usai meninjau kesiapan prosedur new normal di Mal Summarecon, Bekasi, dikutip dari setkab.go.id , Selasa (26/5/2020).

Empat provinsi yang mulai melakukan persiapan menuju new normal yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo.

Persiapan dilakukan dengan menerjunkan personel TNI/Polri di tempat umum atau keramaian. Personel TNI/Polri tersebut akan memastikan masyarakat menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus korona, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut ada 340.000 personel TNI/Polri yang dikerahkan untuk persiapan new normal di 1.800 objek seperti sejumlah mal, pusat perbelanjaan dan ruang publik. Termasuk sejumlah pengunjung mal dan restoran akan dibatasi pada tahap pertama pemberlakuan tatanan kehidupan baru atau new normal selama masa pandemi COVID-19.

Tahap pertama akan diatur. Mal kapasitasnya 1.000 orang akan dizinkan untuk separuhnya saja dan diawasi. Begitu juga tempat makan dengan kapasitas penuh 500, hanya separuhnya saja yang diperbolehkan. (G-2)

BACA JUGA: