JAKARTA - Kapasitas berlebih di rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah permasalahan memerlukan sebuah jalan keluar. Apalagi ketika pandemi corona virus (COVID-19), penuhnya penjara menjadi persoalan serius, sehingga perlu ada alternatif penahanan bagi pengguna narkotika dan kejahatan lainnya agar tidak berujung pada pemenjaraan.

Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas RI) Prahesti Pandanwangi mengatakan tantangan ke depan dalam menerapkan alternatif penahanan pemidanaan dalam kerangka penerapan keadilan restoratif (restorative justice) memerlukan strategi khusus.

"Intinya, visinya mencapai keseimbangan sosial masyarakat sebelum terjadinya kejahatan melibatkan korban pelaku dan pihak lainnya yang terdampak," kata Hesti dalam Webinar bertema Belajar dari Pandemi Quo Vadis Penahanan di Indonesia, yang diikuti oleh Gresnews.com, Jumat (22/5/2020).

Hesti mengajak masyarakat dan semua pihak untuk terlibat dan memberdayakan masyarakat. Perlu ada pemahaman persepsi tentang bagaimana proses yang diakomodasi di dalam tata regulasi untuk alternatif penahanan, pemidanaan dan lain-lain. "Ini kemudian juga terinformasikan kepada masyarakat," tuturnya.

Lanjut Hesti, bila masyarakat paham mengenai aturan-aturan yang ada maka dapat membangun perspektif baru. Bahwa penyelesaian permasalahan di masyarakat itu tidak selalu berujung pada pemenjaraan.

Tak kalah penting, juga melakukan upaya pendekatan keadilan restoratif. Hal itu untuk menghilangkan persepsi aparat penegak hukum yang main mata atau kongkalikong untuk memenjarakan.

"Padahal sebenarnya secara kerangka hukum, hal itu dibolehkan untuk menghindari penahanan. Karena kita (juga) mempunyai problem overcapacity (kelebihan muatan lapas dan rutan)," jelasnya.

Hesti berharap keadilan restoratif bisa dilaksanakan ke depan untuk Sistem Peradilan Pidana. Dengan kondisi pandemi COVID-19, RUU KUHP bisa dirumuskan kembali, sehingga mekanisme tahanan rumah/kota, denda, kerja sosial, pengawasan dan pemenjaraan itu sendiri sebagai ultimum remidium, yakni penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum.

"Kita bisa mengoptimalkan peluang kerangka regulasi untuk sistem peradilan pidana yang mendorong implementasi keadilan restoratif," imbuhnya.

Misalnya, menggunakan alternatif penahanan, pembantaran, penangguhan penahanan, tahanan rumah/kota dan lain-lain. Mengenai napi narkotika, soal pendekatan kesehatan dalam rangka rehabilitasi. Selain itu, alternatif penahanan juga bisa dioptimalkan dengan memakai peraturan-peraturan yang ada.

"Intinya banyak sekali alternatif yang bisa digunakan supaya tidak berujung kepada pemenjaraan yang kita harapkan sumbernya ultimum remidium," tuturnya.

Senada dengan Hesti, anggota Komisi III DPR-RI 2019-2024 dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan terkait penahanan, konsep di atas harus dibangun diskursusnya. Kenapa? Saat ini dibutuhkan suatu reformasi terhadap konsep penahanan, dan ini harus mampu dijelaskan dengan baik.

"Karena saat ini, saya meyakini publik masih memandang bahwa penahanan itu adalah hal yang harus dilakukan sebagai suatu proses pidana yang kalau tidak dilakukan justru itu ada masalah," katanya.

Ia menjelaskan penahanan itu adalah suatu hal yang tidak perlu dilakukan kecuali diperlukan. Maka harus dirumuskan dengan baik penyampaiannya kepada publik.

"Kemudian, ketika kita nanti ubah konsep cara pandang soal penahanan ini, aparat penegak hukum pun juga harus punya satu perubahan pola pikir terkait dengan penanganan perkara," tuturnya.

Ia mencontohkan, misalnya, ketika penahanan benar-benar dibutuhkan maka untuk kejahatan-kejahatan tertentu pihak aparat penegak hukum ini harus bisa berpikir untuk bisa menyelesaikan proses penyidikan dan penyelidikan dengan cepat. Sehingga kekhawatiran yang terjadi ketika orangnya tidak perlu ditahan tidak muncul. Ini yang menurutnya bisa memperbaiki proses penyidikan dan penyelidikan yang lebih modern, karena aparat penegak hukum akan terpacu untuk melakukan satu proses penyidikan dan penyelidikan yang cepat, tidak bertele-tele, dan ketika sudah sampai waktu untuk penyerahan berkas baru berpikir untuk melakukan penahanan.

"Tapi jika tidak ada kebutuhan yang mendesak, yang khusus dalam penyidikan tidak perlu diadakan penahanan. Dan itu yang penting yang juga harus dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan paradigmanya ini harus diturunkan sampai tingkat pelaksanaan di lapangan," jelasnya. (G-2)

BACA JUGA: