JAKARTA - Ketiadaan jaminan hidup bagi masyarakat membuat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan kurang efektif.

"PSBB bagus, tapi kurang tegas. Sebagian (penyebabnya) karena tidak adanya jaminan hidup yang jelas," kata Ketua Posko COVID-19 Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Suaedi kepada Gresnews.com, Selasa (13/5).

Menurutnya, kendati pemerintah telah meluncurkan program jaring pengaman sosial, tetap saja masyarakat takut tak terjamin hidupnya. Apalagi bagi mereka yang hidup di kota besar tapi tak memiliki kartu tanda penduduk (KTP).

Ia menjelaskan pangkal masalahnya adalah pada pendataan yang sebagian tidak akurat. Misalnya, pekerja yang kehilangan pekerjaan terus bertambah, namun tak terdata.

Data yang ada pada pemerintah cenderung data lama. Memang tak mudah untuk memperbarui data-data tersebut. 

Ia menambahkan bila ada keluhan terkait COVID-19, termasuk pelaksanaan Program Kartu Prakerja, masyarakat silakan melapor melalui surat elektronik ke [email protected]

Sebelumnya Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta menemukan adanya potensi malaadministrasi dalam pelaksanaan PSBB oleh Pemerintah DKI Jakarta.

"Ombudsman mencatat beberapa kekurangan dan potensi malaadministrasi terkait penanganan COVID-19," ujar Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Teguh N Nugroho, dalam keterangan tertulisnya.

Pertama, aspek kesehatan. Ombudsman menemukan adanya syarat rapid test atau tes PCR bagi masyarakat yang ingin berobat ke rumah sakit untuk penyakit selain COVID-19. Tes tersebut dibiayai pasien karena tidak ditanggung oleh rumah sakit, BPJS atau asuransi kesehatan.

Menurutnya, pemerintah seakan luput melayani masyarakat yang memiliki penyakit selain COVID-19. Padahal orang dengan penyakit kronis lebih rentan akan COVID-19.

"Kami melihat potensi tindakan malaadministrasi Pemprov DKI dalam pengawasan pelayanan kesehatan oleh rumah sakit kepada pasien," ujarnya.

Pemerintah DKI seharusnya mementingkan perbaikan pengawasan terhadap pelayanan rumah sakit. Terutama perbaikan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan dan penambahan ruang isolasi di rumah sakit rujukan.

Teguh menyatakan Pemerintah DKI Jakarta harus menyiapkan mitigasi pelayanan bagi masyarakat umum yang berobat ke rumah sakit, baik untuk penyakit kronis maupun penyakit biasa, dan menanggung biaya rapid test.

Kedua, aspek bantuan sosial. Ombudsman mendorong agar Pemerintah DKI Jakarta tidak menunda pembagian bantuan karena kondisi perekonomian warga yang semakin terdampak sejak PSBB. Minggu ketiga, ekonomi warga sudah semakin memburuk. Tanpa bansos sebagai kompensasi, kondisi ekonomi warga akan semakin berat.

Teguh juga mengingatkan Pemerintah DKI Jakarta agar bansos diberikan tepat sasaran berdasarkan data yang telah dihimpun oleh RT/RW. Termasuk juga, kata dia, menghindari adanya penerimaan bantuan ganda dari pemerintah pusat yang juga membagikan bansos.

Selain itu Ombudsman juga memberikan catatan terkait kebijakan work from home yang diberlakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Menurut Teguh sudah banyak warga yang berkegiatan di rumah, namun masih ditemukan kegiatan mengumpulkan massa, termasuk dalam pembagian bantuan sembako.

Di sejumlah pasar masih ramai didatangi warga tanpa menerapkan jarak sosial.

Sudah seharusnya Pemprov DKI Jakarta mengerahkan 5.000 anggota Satpol PP untuk secara aktif mengawasi pasar yang masih beroperasi dan melakukan pengawasan di lingkungan permukiman secara begilir.

Pemerintah DKI juga diminta untuk tegas menutup perusahaan-perusahaan yang tidak masuk dalam sektor pengecualian PSBB.

Meski begitu, kata Teguh, Ombudsman menyampaikan apresiasi atas langkah dan usaha yang telah dilakukan pemerintah DKI Jakarta dalam menghadapi kedaruratan seperti ini.

"Dalam pengamatan kami, secara umum, PSBB telah berhasil meningkatkan angka deteksi suspect COVID-19, meningkatkan kepatuhan warga untuk bekerja dari rumah, menerapkan social/physical distancing sebagai upaya mengurangi potensi transmisi lokal," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: