JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi kuartal 1/2020 hanya sebesar 2,97%.

Ini menunjukkan paket kebijakan atau stimulus pemerintah telah gagal mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang amblas akibat wabah virus Corona (COVID-19).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pertumbuhan ekonomi di bawah 3% ini di luar dugaan.

"Hampir semuanya shock, mungkin unpredictable termasuk saya. Perkiraan saya sekitar 3% sampai 4%," kata Enny dalam konferensi pers INDEF secara online pada Rabu (6/5), yang diikuti Gresnews.com.

Kegagalan tersebut, lanjutnya, telah terjadi sejak paket stimulus I dimana pemerintah justru fokus menggenjot kunjungan wisatawan, baik asing maupun mancanegara.

Padahal, saat itu World Health Organization (WHO) sudah mengingatkan bahaya penyebaran virus Corona.

"Jangan lupa, saat itu Ring 1 pemerintah justru berlomba-lomba mengundang wisman datang ke Indonesia. Kesalahan lain, pemerintah terlambat mengambil keputusan untuk lockdown atau PSBB [pembatasan sosial berskala besar]," imbuhnya.

Lantaran tidak bertindak cepat, masyarakat yang tadinya berstatus kelas menengah kini menanggung konsekuensi turun menjadi kelompok rentan bahkan miskin.

Hal itu terjadi karena sebagian besar masyarakat mencari nafkah, baik sebagai pekerja atau pun pemilik bisnis, di sektor informal. Penerapan physical distancing hingga PSBB membuat proses jual beli tidak dapat terjadi dengan sempurna.

Sektor ekonomi tersendat lantaran jumlah terbesar para pekerjanya di sektor informal. Dengan jumlah 56-58% atau sekitar 70 juta orang. Penduduk miskin sebesar 25 juta orang dan masyarakat rentan miskin sekitar 40 juta orang. 

"Artinya itu yang berpotensi langsung terjadi penurunan daya beli masyarakat," kata Enny.

Kelas menengah, kata Enny, saat ini makin banyak yang mantab alias makan tabungan untuk bertahan hidup.

"Tetapi sektor informal tadi yang pekerja harian itu langsung. Dengan ketika ada pembatasan aktivitas ekonomi dan sumber lapaknya/lapangan usahanya itu berhenti beraktivitas hari itu juga berhenti beraktivitas," kata Enny. 

Sekarang 40% golongan terbawah sudah tak punya daya beli. Pemerintah mau tak mau harus bergerak cepat mendistribusikan bansos untuk menjaga nafas kehidupan mereka.

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menambahkan indikator atau pembentuk utama produk domestik bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga.

Anjloknya daya beli membuat konsumsi rumah tangga turun dari 5,02% pada kuartal IV/2019 menjadi hanya 2,84% pada kuartal I/2020

Menurutnya, 40% masyatakat miskin dan rentan miskin sudah bisa menggenjot konsumsi karena sebagian besar di antara mereka telah kehilangan pekerjaan dan pendapatan harian.

Ia menjelaskan bahwa skema yang seharusnya ditempuh pemerintah adalah memperkuat konsumsi masyarakat. Namun bila dana anggaran untuk konsumsi masyarakat hanya 30% dari total pengeluaran itu masih sangat rendah.

Stimulus bansos itu tidak akan mendorong meningkatkan konsumsi masyarakat dan tidak efektif.

"Karena itu skema meningkatkan konsumsi masyarakat harus diperbesar untuk saat ini," katanya. 

Harus ada perbaikan mulai dari data penerima bantuan. Integrasi antara pemerintah pusat dan daerah pun harus diperbaiki. Termasuk menambah calon penerima bantuan dengan data yang baru. 

"Kemudian yang kedua menambah efektifitas kesehatan. Karena hal ini penting untuk bisa menghentikan pandemi COVID-19 lebih cepat. Sehingga perbaikan ekonomi bisa lebih cepat," katanya.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bansos yang digelontorkan sebesar Rp110 triliun tidak bisa menggantikan penurunan konsumsi di Indonesia. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi kuartal II akan lebih rendah dari kuartal I yang 2,97% akibat penurunan konsumsi masyarakat.

Sri Mulyani menjelaskan, konsumsi masyarakat di Jakarta dan Jawa sebesar Rp5000 triliun. Maka kalaupun kemudian dilakukan bantuan sosial sebesar Rp110 triliun tidak bisa menggantikan penurunan konsumsi dari Rp5000 triliun.

Dalam hitungannya, jika konsumsi turun 10% saja, berarti membutuhkan angka substitusi yang besar. "Ini adalah situasi yang dihadapi dalam melihat perekonomian, terutama kuartal kedua yang mungkin lanjut ke kuartal ketiga," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengan komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 6 Mei 2020.

Menurutnya mayoritas atau 57% dari produk domestik bruto Indonesia adalah konsumsi dengan nilai sekitar Rp9000 triliun. Dan dari PDB itu, kontribusi dari Jakarta dan Jawa hampir 55%. (G-2)

BACA JUGA: