JAKARTA - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2020, dunia pendidikan nasional dihadapkan pada tantangan dan hambatan.

Proses pembelajaran dilaksanakan di tengah krisis COVID-19 yang tidak tahu sampai kapan akan berakhir.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan akibat dampak pandemi COVID-19 maka proses pembelajaran dilaksanakan secara jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah (BDR).

"Namun faktanya banyak ketidaksiapan sekolah, guru, siswa, orang tua, termasuk pemerintah (daerah) untuk menghadapi tantangan pendidikan ini," ujar Heru kepada Gresnews.com, Sabtu (2/5).

Dia menuturkan berdasarkan data Bank Dunia 2020, sebanyak 68.265.784 siswa di seluruh Indonesia terdampak COVID-19, yang akhirnya mereka harus belajar di rumah.

Sebanyak 3,2 juta guru juga merasakan hal tersebut. 

Menurut Heru, ada beberapa poin penting dan mendesak untuk dipikirkan dan dilaksanakan demi tercapainya pendidikan dan pengajaran yang berkualitas di tengah pandemi COVID-19.

Pertama, pemerintah harus segera membuat skenario pendidikan pada masa krisis COVID-19). Skenario pendidikan ini berguna untuk jangka pendek selama menghadapi krisis COVID-19 dan jangka panjang, jika suatu saat nanti Indonesia menghadapi ancaman bencana lainnya.

"Kurikulum darurat masa krisis penting didesain, sebab kondisi masyarakat, orang tua, siswa, guru, dan sarana-prasarana penunjang pendidikan saat ini sangat serba terbatas," ujarnya.

Dia melanjutkan keterbatasan itu antara lain dari segi ketersediaan sarana/media pembelajaran; kompetensi; akses terhadap sarana/media; keterbatasan interaksi langsung karena kebijakan Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB); pembiayaan; waktu yang terbatas; dan pengelolaan pembelajaran pada umumnya.

Bisa dibayangkan, kurikulum pembelajaran yang dipraktikkan di masa krisis ini adalah kurikulum yang dibuat pada masa normal dan dipakai untuk keadaan normal pula.

Ia mengambil contoh materi pelajaran (standar isi) yang tetap sama, walau kondisi jauh berbeda. Aksesnya serba terbatas, pengelolaannya terbatas, biaya terbatas, waktunya juga terbatas.

"Tapi tuntutan kurikulumnya masih sama dengan kondisi normal. Ini potret yang tidak adil bagi siswa dan guru," ujarnya.

Tak heran jika selama PJJ siswa merasa terbebani.

Begitu pula Standar Penilaian. Pada hari biasa ada tiga aspek penilaian (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) siswa bisa dilaksanakan dengan relatif mudah. Tetapi bagaimana guru bisa menilai sikap siswa, sedangkan perjumpaan mereka sangat terbatas?

Guru tahu saat siswanya sedih, marah, bahagia, beriteraksi dan menghargai temannya, melakukan penyimpangan, seperti dalam kondisi sekolah sehari-hari. Tapi kali ini perjumpaan dibatasi secara virtual. Pembentukan nilai-nilai, sikap, dan karakter tak akan sempurna, bahkan relatif terbatas jika hanya melalui teknologi. 

"Jadi dibutuhkan desain kurikulum yang mampu beradaptasi dengan kondisi yang serba terbatas ini. Mulai dari Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian sampai Standar Kompetensi Lulusan. Keempatnya mesti disesuaikan, dikurangi bebannya, dan disesuaikan dengan keadaan siswa dan guru," katanya.

Menurutnya, hal itu bukan untuk mengganti Kurikulum 2013 yang sudah ada melainkan bagaimana kurikulum ini bisa diadaptasikan dengan kondisi ril.

Heru lantas mengingatkan janji Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk mengurangi beban guru.

"Dibuatnya kurikulum darurat dengan menyesuaikan empat standar nasional pendidikan di atas, pastinya akan mengurangi beban guru sekaligus siswa," kata Heru.

Kedua, pemerintah juga diminta membuat skenario Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selama krisis COVID-19.

"Permendikbud tentang PPDB Nomor 44 Tahun 2019 dan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 belum mengakomodir secara riil dan objektif kondisi krisis," ungkap Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim.

Satriawan melanjutkan, jika skenario pemerintah tetap memutuskan Juli 2020 adalah awal Tahun Ajaran Baru maka sebenarnya persiapan PPDB 2020 pada Mei ini bisa dikatakan agak telat.

Persoalan PPDB yang muncul selama tiga tahun terakhir ini relatif masih sama. Persoalan persentase alokasi: jarak, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi yang implementasinya banyak berbeda di level pemerintah daerah, juga masalah pendataan yang kurang baik di tingkat Dinas Pendidikan daerah. Sehingga ada satu zona yang kelebihan siswa atau sebaliknya kekurangan siswa baru.

Ditambah persoalan klasik lainnya, walaupun regulasinya mengatakan PPDB dilakukan secara online (misal pada 2019), tetapi para orang tua tetap saja datang berduyun-duyun membawa anaknya mendaftar manual ke sekolah.

Sebelum Pukul 07.00 pagi mereka sudah antri mendaftarkan anaknya di sekolah yang biasanya sekolah favorit anak-anaknya. Nah, di tengah kebijakan PSBB ini, jaminan bahwa orang tua tak datang ke sekolah wajib menjadi perhatian daerah.

Termasuk juga vital adalah kesiapan daerah dan orang tua dalam menyiapkan media dan akses terhadap internet. Dalam PJJ selama ini saja, masih banyak daerah yang tak terjangkau jaringan internet. Sehingga guru "terpaksa" datang mengajar ke rumah-rumah siswa.

Jadi SE Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatakan Proses PPDB secara online tidak menggambarkan kesiapan teknis jaringan internet sekolah dan wilayah Indonesia, khususnya di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan). Mengingat geografis Indonesia yang sangat beragam. 

Ketiga, Satriwan, yang juga guru sekolah swasta itu melanjutkan, FSGI meminta pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian khusus kepada sekolah swasta, khususnya para guru honorer yang menjadi kelompok terdampak krisis COVID-19.

Para orang tua tak lagi mampu membayar SPP bulanan ke sekolah swasta karena faktor ekonomi, orang tua di-PHK, dan atau menganggur karena adanya pembatasan sosial. Walaupun ada Dana BOS (sesuai Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020) yang bisa dialokasikan untuk mengupah guru honorer, tetapi Yayasan Sekolah Swasta juga perlu anggaran untuk pos-pos lainnya di sekolah.

Sekolah sangat dilematis dalam penganggaran kali ini. Di satu sisi harus tetap menggaji gurunya, tetapi di sisi lain ada kebutuhan mendasar, fasilitas, sarana kebutuhan sekolah yang juga harus dipenuhi secara rutin.

Apalagi bagi sekolah swasta yang menggantungkan pembiayaannya hanya dari Dana BOS. Ditambah hambatan faktor-faktor teknis pencairan BOS, seperti pencairannya yang empat bulan sekali dan proses administrasi yang cukup ketat.

Para guru honorer dan sekolah swasta menjadi kelompok rentan terdampak COVID-19 secara ekonomi. Maka dibutuhkan tindakan afirmatif pemerintah (daerah) sebagai solusi konkret agar sekolah swasta tetap bertahan di tengah krisis.

Bentuknya bisa berupa anggaran dana khusus di luar BOS, bisa seperti bantuan Sosial untuk Guru Honorer, misalnya.

FSGI mengapresiasi Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau yang memberikan SPP gratis siswa selama beberapa bulan ke depan untuk siswa tingkat SMA/SMK baik negeri maupun swasta.

"Ini adalah langkah konkret yang membantu siswa dan guru, bisa diadopsi oleh dinas pendidikan daerah lainnya," katanya. 

Kempat, mengenai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau disebut juga Belajar Dari Rumah (BDR). Sebagaimana hasil survei yang dilakukan KPAI dan FSGI beberapa hari lalu, prinsipnya siswa masih terbebani dengan metode PJJ yang diberikan guru.

Berdasarkan hasil Survei yang dilakukan FSGI dan KPAI akhir April 2020, 53% guru masih mengejar pencapaian kurikulum ideal/menuntaskan materi. Padahal ini bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan relaksasi yang terkandung dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020.

Ditambah kemampuan yang masih minim dalam mengelola PJJ berbasis onine (digital). Kebijakan PJJ dan BDR makin membuka dan memperlebar jurang ketimpangan sosial ekonomi di antara orang tua siswa dan antardaerah.

PJJ daring (online) efektif di daerah yang akses internetnya baik; orang tua punya gawai pintar bahkan laptop. Tapi di daerah lain, mereka tak bisa mencicipi "pembelajaran mewah" seperti itu, sebab adanya keterbatasan akses internet; tak punya gawai pintar apalagi laptop; bahkan listrik saja belum masuk di wilayahnya.

Sehingga para guru "terpaksa" mengajar datang ke rumah-rumah siswa walau berpotensi melanggar prinsip PSBB dan Protokol Kesehatan COVID-19. Kondisi demikian patut segera diantisipasi oleh pemerintah (daerah).

Agar layanan pendidikan tetap diberikan kepada seluruh anak Indonesia, apapun status ekonomi dan letak geografisnya, sesuai Pasal 31 UUD 1945 . Ini sejalan dengan poin pertama tentang kurikulum darurat yang bisa mengakomodasi "potret keberagaman" tadi. 

(G-2)

BACA JUGA: