JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang akan mengawasi dan menyelidiki penggunaan dan penyaluran anggaran penanganan COVID-19.

Satgas itu bukan hanya ada di Jakarta melainkan tersebar di 34 provinsi.

Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan KPK mengerahkan sembilan unit koordinasi wilayah untuk melakukan fungsi pencegahan dan penindakan di berbagai daerah.

"KPK menggandeng polisi, mengingat keterbatasannya," kata Firli dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR secara virtual, Rabu (29/4).

KPK juga bekerja sama dengan kementerian/lembaga lainnya.

Realokasi APBN senilai Rp405,1 triliun dan APBD senilai Rp56,7 triliun menjadi perhatian KPK dalam pengawasan terhadap penggunaan dan pelaksanaan bantuan untuk penanganan COVID-19.

"Kami meminta dan sudah kami lakukan kerja sama dengan kementerian/lembaga, termasuk meminta bantuan Polri untuk pengawasan terkait pelaksanaan anggaran dan penggunaannya, serta distribusi bantuan sosial di pelosok tanah air," ujar Firli.

Ia menjelaskan pembentukan Satgas itu berangkat dari pemetaan KPK terhadap empat titik rawan tindak pidana korupsi terkait penanganan COVID-19.

Yakni: pengadaan barang dan jasa, pengalokasian APBN dan APBD, pemberian sumbangan dari pihak ketiga, dan pendistribusian bantuan sosial.

Program jaring sosial dan pengadaan barang/jasa selama wabah COVID-19 adalah yang paling berisiko. Dalam penyaluran bansos, bisa saja penerimanya fiktif. Celah lainnya adalah dengan mengurangi kualitas atau kuantitas bansos COVID-19.

Menurut Firli, pengadaan barang/jasa dan bansos menjadi paling rawan karena juga dipengaruhi momen Pilkada serentak 2020. Apalagi, penanganan COVID-19 melibatkan seluruh provinsi, kabupaten, dan kota.

Dia mengungkapkan dari seluruh daerah dengan total 542 (provinsi/kabupaten/kota) yang mengalokasikan anggarannya, tidak semua terpapar COVID-19.

"Berapa (daerah) yang enggak terpapar dan berapa yang menghadapi pilkada dan tidak terpapar (COVID-19)? Ini sedang kami petakan," ujarnya.

KPK, lanjut Firli, telah menyiapkan enam langkah antisipatif dalam rangka pengawasan anggaran penanganan COVID-19. Salah satunya, KPK membuat surat edaran tentang rambu-rambu pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang tertuang dalam Surat Edaran 8/2020.

Lima langkah antisipatif lainnya, yaitu bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) untuk pendampingan dan pemantauan penggunaan anggaran dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pengawasan.

Kemudian, membuat pedoman pemberian/penerimaan uang/barang bukan gratifikasi, koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah terkait alokasi anggaran penanganan COVID-19, pengawasan anggaran pemda, dan koordinasi dengan Kementerian Sosial untuk mengoptimalkan pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk distribusi bansos.

Firli juga meminta masyarakat proaktif melapor apabila menemukan dugaan penyalahgunaan dana penanganan COVID-19 di desa masing-masing.

Laporan dapat disampaikan melalui program JAGA KPK yang dapat diakses melalui situs jaga.id atau aplikasi yang bisa diunduh di ponsel.

"Kami punya program dalam rangka pengawasan anggaran dana desa, akan kami optimalkan pemanfaatannya dengan program JAGA," ujarnya.

Ia menjelaskan, KPK akan melayangkan teguran apabila penyimpangan yang dilakukan merupakan pelanggaran administratif.

Kemudian, dugaan pelanggaran hukum akan ditindak KPK dengan bekerja sama dengan Polri dan Kejaksaan Agung.

Sementara itu anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan meminta KPK mengawasi pelaksanaan Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona atau COVID-19.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPK, Arteria menyoroti isi Perppu yang membuat pemerintah dapat melakukan perubahan postur anggaran bahkan memiliki imunitas dalam pengambilan kebijakan.

"DPR membuat UU menetapkan APBN, pak. Jadi kewenangan kita juga harus dijaga. Bicara peruntukan itu daulat rakyat makanya tolong dikaji itu Perppu," katanya.

Politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu mempertanyakan soal kegentingan di Pasal 27 dalam Perppu tersebut, di mana memberikan hak imunitas terhadap pengambil kebijakan.

"Apa guna menteri, pejabat negara kalau begitu di saat genting? Lepas tangan pada ketakutan minta imunitas. Kasihan Pak Jokowi, enggak ada mau berani ambil kebijakan, enggak ada mau pasang badan tapi minta imunitas, bahkan sekarang mau kerja minta imunitas," katanya.

Arteria justru khawatir Perppu tersebut malah menjadi penyelewengan kekuasaan baru, mengingat uang yang dikeluarkan sangatlah besar.

"Kita harus jaga Pak Jokowi supaya enggak tersandera. Jangan sampai ada desain besar, jangan sampai ada kooptasi kekuasaan pemerintah yang berkuasa atas nama undang-undang," tandasnya. (G-2) 

 

BACA JUGA: