JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta agar perusahaan pemegang izin pertambangan batu bara tidak diberikan kemudahan secara otomatis untuk mengajukan perpanjangan izin. 

Wakil Ketua Komite II DPD Bustami Zainudin menyatakan usulan tersebut muncul dari pembahasan internal di Komite II mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Komite II DPD tak menyepakati pasal-pasal dalam RUU Minerba yang memberikan kemudahan kepada perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) OP untuk bisa mengajukan perpanjangan secara otomatis.

"Kami minta agar pemegang IUP-OP dan IUPK-OP yang habis masa berlakunya tidak dapat mengajukan perpanjangan secara otomatis," ujar Bustami dalam rapat bersama Panitia Kerja Komisi VII DPR, yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (27/4)

Menurut Bustami, jika masa berlaku IUP-OP dan IUPK-OP telah habis maka lahan pascatambang harus dikembalikan kepada negara. Proses selanjutnya harus dilakukan melalui lelang.

Tetapi, lanjut dia, pasal-pasal dalam RUU Minerba terlalu memudahkan para pengusaha tambang untuk memperoleh perpanjangan izin.

Pasal 172A ayat (1) RUU Minerba menyatakan permohonan perpanjangan IUP-OP dapat diajukan paling cepat empat tahun dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya IUP-OP.

Pasal 172A ayat (2) menyatakan permohonan perpanjangan IUPK-OP dapat diajukan paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya IUPK-OP.

"Aturan-aturan tersebut terkesan memudahkan pemegang IUP-OP dan IUPK-OP untuk melakukan perpanjangan pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara," kata Bustami.

Wakil Ketua Komite II DPD lainnya, Abdullah Puteh, mengatakan alasan mengapa DPD tidak sepakat perpanjangan bisa dilakukan secara otomatis tetapi harus lewat lelang, lantaran kondisi tersebut membuat pengusaha yang akan habis masa kontraknya bisa langsung melenggang dapat izin lagi.

"Padahal kita sebagai orang daerah mengetahui ada perusahaan yang melakukan tindakan yang tidak benar. Misalnya soal AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) atau selama memegang kontrak, dia tidak bekerja sedikit pun sehingga telantar," ujar Puteh.

Dengan dikembalikan lagi ke negara dan dilelang, ia mengatakan pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi. Misalnya kalau ada perusahaan yang tidak layak untuk dilanjutkan kontraknya.

Puteh menambahkan DPD juga mengusulkan adanya bagi hasil untuk masyarakat sekitar lewat BUMN Daerah atau BUMDesa.

"Dengan adanya kepemilikan BUMD atau BUMDesa di perusahaan tambang ini maka ada kepastian pendapatan asli daerah akan bertambah," tuturnya.

Sebelumnya Panitia Kerja (Panja) pemerintah dan DPR telah rampung membahas 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perubahan UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada 28 Februari 2020 dan akan segera menuntaskan pembentukan UU Minerba yang baru.

Kuat diduga, langkah itu sangat memihak kepentingan segelintir pengusaha/konglomerat, termasuk negara/perusahaan asing, terutama para pemegang kontrak Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dibandingkan dengan kepentingan negara dan rakyat.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menjelaskan total produksi ketujuh kontraktor PKP2B diperkirakan sekitar 210 juta ton/tahun. Jika diasumsikan laba kontraktor sekitar US$10 per ton maka keuntungan yang dapat diraih setiap tahun adalah sekitar US$2,1 miliar atau sekitar Rp28 triliun.

"Dengan keuntungan yang demikian besar, jelas mereka berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh perpanjangan kontrak dalam bentuk izin, baik melalui perubahan UU Minerba, revisi keenam PP (Peraturan Pemerintah) 23/2010 atau pun melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sehingga tetap dominan menguasai aset negara tersebut," ujar Marwan kepada Gresnews.com, Kamis (26/3).

Menurut Marwan, kebijakan kontrarakyat menunjukkan siapa sebenarnya pemegang saham kontraktor PKP2B yang ternyata umumnya adalah konglomerat-konglomerat kaya dan negara/perusahaan asing.

Para pemegang saham tersebut sebagian masuk daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Sebagian dari mereka menjadi kaya dan terkaya karena menguasai kekayaan tambang batu bara milik negara yang menurut konstitusi harus dikelola oleh perusahaan milik negara (BUMN).
 
Pemerintah dan DPR saat ini begitu proaktif, bekerja cepat dan sekaligus tertutup untuk segera menuntaskan perubahan UU Minerba. Tujuannya agar para kontraktor segera memperoleh jaminan perpanjangan operasi tambang sebelum kontrak PKP2B berakhir.

Marwan menegaskan semestinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR tidak mengubah ketentuan konstitusional dalam UU Minerba demi memberi jalan kepada para kontraktor memperoleh perpanjangan kontrak.

Demi rasa keadilan dan kebersamaan sesama anak bangsa dan umat manusia, kita ingin mengetuk hati para konglomerat dan kontraktor untuk berempati kepada rakyat yang sebagian besar hidup miskin di negara ini.

"Selama ini Anda telah memperoleh kekayaan dan kenikmatan sangat besar dari aset negara yang dengan gampang diakuisisi sebagai aset korporasi dan sebagai kolateral, untuk memupuk modal dan mengeruk keuntungan. Berhentilah terlibat mengangkangi aset rakyat dengan mengakali kebijakan dan peraturan dengan cara bernuansa moral hazard," ungkapnya.

Ia mengatakan sekarang saatnya bagi rakyat untuk memperoleh hak dan pembagian yang lebih berkeadilan dari aset-aset tersebut.

Kebijakan dan peraturan yang memberi jalan mudah dan membiarkan aset negara dimanfaatkan oleh perorangan atau swasta, apalagi oleh perusahaan/negara asing seperti India, China, Inggris, dan lain-lain, untuk memperoleh keuntungan dan memperkaya diri merupakan pelanggaran hukum yang serius dan pengkhianatan terhadap konstitusi, serta mengusik rasa keadilan.

Marwan menegaskan walaupun hampir tidak memiliki kekuatan berarti, rakyat harus tetap melawan.

Kelompok yang berkepentingan di balik gencarnya upaya revisi UU Minerba adalah para kontraktror PKP2B, berikut investor dan pihak terkait.

Kontraktor-kontraktor dimaksud adalah PT Tanito Harum (kontrak berakhir: 1/2019), PT Arutmin Indonesia (11/2020), PT Kaltim Prima Coal (12/2021), PT Multi Harapan Utama (4/2022), PT Adaro Indonesia (10/2022), PT Kideco Jaya Agung (3/2022) dan PT Berau Coal (9/2025). Mereka ingin kembali mengangkangi aset rakyat tersebut 20 hingga 30 tahun ke depan. (G-2)

BACA JUGA: