JAKARTA - Kartu Prakerja sudah diluncurkan oleh pemerintah untuk mengurangi dampak ekonomi dari pandemi COVID-19. Namun sejalan dengan mulai digulirkannya dari segi kedaruratan Kartu Prakerja ini tidak tepat untuk mengatasi dampak COVID-19 ini, terlebih belakangan lebih banyak kontranya daripada yang pronya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan Kartu Prakerja ini memang banyak betul yang kontranya. Ia berpendapat saat ini masyarakat itu lebih membutuhkan bantuan langsung yang dia tidak melalui proses yang ribet.

"Kalau sekarang itu Kartu Prakerja ini kan harus dites dulu, dipilih oleh pemerintah dan sebagainya. Itu kan memerlukan waktu. Sedangkan orang yang untuk kena kasus korona ini sudah terjadi. Tidak memerlukan waktu lagi. Tapi perlunya sekarang," kata Huda kepada Gresnews.com, Jum`at (17/4).

Lanjut Huda, Kartu Prakerja perlu ditinjau ulang. Terlebih, Kartu Prakerja ini hanya menguntungkan salah satu atau beberapa pihak. Contohnya, jika ingin mendapatkan insentif langsung, dia harus mengikuti pelatihan secara online.

"Kita lihat aktornya siapa saja. Ternyata ada aktor di situ yang pemilik atau CEO itu adalah salah satu pejabat di istana negara. Menurut saya kurang elok juga, kalau contohnya Kartu Prakerja ini dia disinkronkan dengan perusahaan yang dimiliki oleh pejabat di istana. Walaupun saya mengakui kalau aplikasi itu memang bagus. Tapi kalau menurut saya pribadi kurang elok," katanya.

Selain itu, kata Nailul, banyak sekali pencari kerja yang terdampak korona ini yang berasal dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mendaftar di internet dan lain sebagainya. Ketika pekerja terdampak korona, harus beli kuota dulu lalu menyuruh mendaftar kemudian tes, disuruh pula menginstal aplikasi. Padahal belum semua pekerja itu bisa melakukan itu.

Masalah lainnya, selain berbelit-belit juga kompetensi atau keterampilan yang diharapkan akan meningkat setelah mendapatkan bantuan pelatihan sangat diragukan bila sekadar menonton aplikasi semata lewat plattform online.

"Seperti pelatihan. Misalnya si A mendaftarkan pelatihan disalah satu platform yang ditujuk oleh pemerintah, ternyata yang pelatihan di situ, walaupun tidak semua itu yang ditawarkan adalah paket Apa, B dan C. Paket A itu untuk meningkatkan skill apa. Yang B dan C itu ternyata tidak berhubungan dengan skill apapun. Malah istilahnya jauh panggang daripada api," kata Huda.

Jadi yang ditawarkan platform itu tidak sesuai dengan kebutuhan dari pekerja itu sendiri. Umpamanya di platform tertentu itu malah menawarkan membuat CV untuk beasiswa ke luar negeri. Itu memang bagus untuk mendekatkan skill-nya untuk membuat CV untuk melamar ke luar negeri. Tapi apakah pekerja informal itu butuh?

"Sekarang butuhnya yang untuk instan-instan saja, untuk dalam jangka pendek. Semua itu tidak terpikirkan dengan baik menurut saya Kartu Prakerja dengan model untuk menanggulangi pandemi COVID-19 ini," katanya.

Menurutnya yang dibutuhkan para pekerja itu dalam jangka pendek bisa membuat sesuatu untuk dia agar dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tapi yang ditawarkan malah ribet-ribet gitu. Ada CV untuk beasiswa ke luar negeri, terus ada pelatihan untuk menenangkan diri. "Bagaimana kita bisa menenangkan diri kalau kita lapar?" jelasnya.

Ia menegaskan kalau anggaran untuk 5,6 juta pekerja misalnya Rp 1 juta untuk pelatihan maka sama dengan Rp 5,6 triliun. Dana Rp 5,6 triliun itu digunakan untuk pelatihan online di delapan vendor penyedia jasa pelatihan online itu. Satu vendor itu dapat keuntungan miliaran.

"Sedangkan kalau kita bicara mengenai biaya. Paling biaya yang dikeluarkan oleh vendor itu untuk melakukan satu kali pelatihan untuk membuat video itu, berapa sih? Kemudian saya rasa fixed cost mereka itu cuma 10% dari pendapatan yang mereka terima. Saya hitung kalau dia dapat semua maka ada Rp700 miliar," jelasnya.

Taruh kata biaya pembuatan video pelatihan Rp 1 miliar atau Rp 2 miliar, nilainya kecil sekali dibandingkan dana yang dikucurkan dari pemerintah. Ini sebagai salah satu bentuk kebocoran anggaran atau anggaran yang tidak tepat sasaran. Padahal dana Rp5,6 triliun ini bisa digunakan untuk menambah jangkauan para pekerja. Bisa jadi, jumlahnya buka hanya 5,6 juta pekerja saja yang dapat. Tapi bisa ditingkatkan, misalnya 8 juta pekerja itu lebih bagus.

"Daripada kita harus kasih uang ke vendor pemerintah itu sebesar Rp5,6 triliun," ungkapnya. "Saya pikir si vendor ini hanya ingin mendapatkan keuntungan dagang pandemi COVID-19 ini," katanya. (G-2)

BACA JUGA: