JAKARTA - Pemerintah dikabarkan akan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang bernilai sangat besar, Rp500-Rp600 triliun, untuk menghadapi krisis perekonomian yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Padahal, hingga saat ini, Bank Indonesia (BI) sudah mengeluarkan dana setidaknya Rp300 triliun untuk mengatasi gejolak ekonomi dan merupakan intervensi terbesar dari otoritas moneter sejak 2004.

Anggota Komisi XI DPR Periode 2009-2014 dan 2014-2019 yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Andi Rahmat, mengungkapkan ada pembicaraan di kalangan pengambil kebijakan yang tengah mendiskusikan besaran paket kebijakan ekonomi yang rentang nilainya berkisar antara Rp200-Rp400 triliun.

"Jika betul nanti pemerintah dan DPR juga bersepakat mengeluarkan paket kebijakan yang nilainya setara dengan pengeluaran BI, yaitu Rp300 triliun, dengan mengasumsikan bahwa BI akan menggunakan secara optimal kekuatannya maka dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat suatu aksi kebijakan ekonomi bernilai Rp500-600 trilliun. Suatu jumlah yang sangat besar," kata Andi dalam pernyataan tertulis yang diterima oleh Gresnews.com, Sabtu (28/3).

Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pusat 2000-2001 itu pun membandingkan, untuk mengatasi dampak COVID-19 terhadap perekonomian, Kongres Amerika Serikat meloloskan paket ekonomi senilai US$2,2 triliun, yang merupakan jumlah terbesar pasca-Perang Dunia II, yang dilakukan hanya dalam waktu dua pekan. Begitu juga bank sentral AS, The Federal Reserve, mengeluarkan kebijakan di luar pakem, yaitu melalui kebijakan Asset Purchase Program yang non-limit dan menyasar sektor riil.

"Masalahnya untuk apa kebijakan itu? Kepada siapa kebijakan itu ditujukan? Sampai kapan?" kata komisaris PT Kredit Biro Indonesia Jaya itu.

Pertanyaan pertama berhubungan dengan argumentasi yang mendasari kebijakan itu. Pertanyaan kedua mengenai keberpihakan kebijakan. Pertanyaan ketiga tentang enduransi kebijakan. Andi menegaskan karena kebijakan yang akan diambil itu merupakan kebijakan defisit dan berhubungan dengan utang baru, argumen dasarnya harus solid dan transparan. Solidnya argumentasi itu terletak pada keyakinan bahwa itulah cara terbaik dan satu-satunya jalan yang mesti diambil untuk mencegah keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.

"Jadi argumentasi ini haruslah merupakan jawaban untuk menghentikan pendarahan lanjut perekonomian dan memberi kesempatan kepada fungsi-fungsi perekonomian untuk kembali dapat berfungsi secepat mungkin. Dengan demikian, besaran anggaran yang diperlukan juga merupakan cerminan dari keyakinan argumentatif itu. Atau dengan kata lain, besaran biaya yang dikeluarkan haruslah sebanding atau lebih besar dari risiko yang dihadapi," ujarnya.

Kepada siapa kebijakan itu ditujukan? Dalam hal ini otoritas mesti jernih betul. Tentunya publik sangat tidak menghendaki kebijakan yang berbau krisis 1998. Yang menjadi korban utama dalam krisis ini adalah perekonomian riil. Lebih terangnya adalah perekonomian rakyat sehari-hari. Dalam kategorisasi sektor, yang terpukul keras itu adalah sektor UMKM.

Ia menjelaskan memang ada pukulan kuat juga pada sektor pariwisata, perhotelan, transportasi dan sektor makanan, khususnya restoran dan warung-warung rakyat. Tetapi jangan dilupakan bahwa sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kebanyakan menderita sangat berat. Ke titik-titik inilah seharusnya yang menjadi titik berat keberpihakan kebijakan ekonomi. Inilah saat yang tepat untuk mereposisi struktur perekonomian nasional dan mendorong keseimbangan baru di mana peran perekonomian UMKM menjadi lebih kuat. Sektor-sektor produktif ekonomi rakyat kebanyakan itu yang harus diperkuat habis-habisan.

"Dalam bahasa yang lebih terang, tidak usah khawatir dengan korporasi besar. They have plenty of money and plenty of chances. Infrastruktur penguasaan aset-aset mereka solid dan sanggup merestrukturisasi dirinya dengan banyak pilihan strategis," ujarnya.

Andi mengatakan hal yang tidak kalah pentingnya adalah soal enduransi kebijakan. Sistem fiskal yang bersifat tahunan karena itu menjadi penting untuk juga menyertakan perspektif daya ungkit kebijakan ekonomi yang diambil.

Kebijakan ekonomi berskala besar yang akan diambil untuk mengatasi ketiba-tibaan krisis yang dihadapi, menyebabkan kebijakan itu dituntut untuk sekaligus juga merupakan exit strategy bagi langkah-langkah pemulihan lanjutan di tahun fiskal berikutnya. Memfokuskan diri pada `strategi bantalan (cushion)` akan berdampak pada kemungkinan biaya mahal yang tidak efektif.

"Kuncinya adalah kebijakan bauran yang meliputi penanganan jangka pendek terhadap shock perekonomian, khususnya ekonomi rumah tangga dan UMKM, dengan alokasi maksimum untuk menangani sumber persoalannya, yaitu pandemi COVID-19. Pada saat yang sama menyiapkan landasan kebijakan untuk tahun fiskal berikutnya mencerminkan upaya untuk memulihkan fungsi-fungsi perekonomian," tutur Andi.

Dalam hal ini, pelebaran defisit dilakukan secara bijak dengan tidak menumpuknya pada tahun ini, tetapi juga disebar ke tahun depan. Ringkasnya, kapasitas pembiayaan defisit tidak dihabiskan dalam tahun fiskal ini saja tapi juga dipersiapkan untuk tahun berikutnya. Dengan begitu, struktur utang tetap dalam batas yang bisa dikendalikan.

"Enduransi ini diperlukan di tengah ketidakpastian global. Pemulihan ekonomi global sangat bergantung pada kemampuan adaptif manusia dan para pengambil kebijakan, dalam mengatasi pandemi korona ini. Sifat mobilitas dan interaksi manusia, yang menjadi dasar bagi perekonomian global, adalah korban utama dari pandemi COVID-19. Tentunya, selain nyawa manusia," kata Andi.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbicara pada forum KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (26/3) malam, mendorong negara anggota G20 untuk bekerja sama dan mensinkronkan kebijakan dan instrumen ekonomi untuk melawan keterpurukan ekonomi sebagai dampak dari COVID-19.

“Kita harus mencegah resesi ekonomi global, melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi, serta memperluas dan memperkuat jaring pengaman sosial terutama bagi UMKM,” ujar Presiden.

Lebih lanjut, Presiden juga mendorong G20 untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, termasuk menjaga ketersediaan likuiditas dan memberikan relaksasi dan dukungan bagi dunia usaha yang terpukul akibat COVID-19.

“Dengan gejolak keuangan global yang tinggi, dukungan foreign exchange sangat penting. Saya juga mendukung peningkatan peran global dan regional financial safety net termasuk melalui SDR swap line dan currency swap facility, seperti Chiang Mai Initiative,” kata Presiden.

Perkembangan dari bank sentral, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Maret 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%.

Dikutip dari Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2020, kebijakan moneter itu tetap akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran dan sebagai langkah pre-emptive untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sebagai kelanjutan dari sejumlah stimulus kebijakan yang telah diumumkan pada RDG tanggal 18-19 Februari 2020 dan tanggal 2 Maret 2020, Bank Indonesia kembali memperkuat bauran kebijakan yang diarahkan untuk mendukung upaya mitigasi risiko penyebaran COVID-19, menjaga stabilitas pasar uang dan sistem keuangan, serta mendorong momentum pertumbuhan ekonomi melalui tujuh langkah berikut:

  1. Memperkuat intensitas kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, baik secara spot, Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
  2. Memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas Rupiah perbankan, yang berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.
  3. Menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas, yang berlaku efektif sejak 19 Maret 2020. 
  4. Memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di dalam negeri. 
  5. Mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening Rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, sehingga dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia, berlaku efektif paling lambat pada 23 Maret 2020 dari semula 1 April 2020.
  6.  Memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian dalam Rupiah sebesar 50bps yang semula hanya ditujukan kepada bank-bank yang melakukan pembiayaan ekspor-impor, ditambah dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain, berlaku efektif sejak 1 April 2020.
  7.  Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran COVID-19 melalui :
    • ketersediaan uang layak edar yang higienis, layanan kas, dan backup layanan kas alternatif, serta menghimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai.
    • mendorong penggunaan pembayaran nontunai dengan menurunkan biaya Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dari perbankan ke Bank Indonesia yang semula Rp600 menjadi Rp1 dan dari nasabah ke perbankan semula maksimum Rp3.500 menjadi maksimum Rp2.900, berlaku efektif sejak 1 April 2020 sampai dengan 31 Desember 2020; dan
    • mendukung penyaluran dana nontunai program-program Pemerintah seperti Program Bantuan Sosial PKH dan BPNT, Program Kartu Prakerja, dan Program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah. (G-2)
BACA JUGA: