JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang disusun berdasarkan model omnibus law adalah salah satu jalan yang masuk akal dan singkat untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia pada masa lalu. 

Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) Chandra Marta Hamzah menjelaskan perlu dibedakan antara wadah dan isi dalam perdebatan publik mengenai RUU Cipta Kerja. Wadahnya adalah omnibus law untuk memperbaiki berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan lagi, sedangkan isinya adalah pasal-pasal dan aturan lainnya yang dapat diperdebatkan.

"Kenapa dipilih omnibus law? Karena alasannya masuk akal. Sekian banyak undang-undang bermasalah karena proses pembuatan undang-undang lainnya," kata Chandra, yang merupakan salah satu pendiri Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), kepada Gresnews.com seusai konferensi pers AHP Business Law Forum 2020 di Jakarta, Kamis (5/3).

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 18 Desember 2007 sampai 21 September 2009 itu mencontohkan, RUU Cipta Kerja memuat berbagai peraturan di bidang ketenagakerjaan. Bila masyarakat mempertanyakan pasal-pasal yang dianggap merugikan kalangan buruh/pekerja maka hal itu dapat diperdebatkan dan diperjuangkan di DPR sepanjang mengenai isi. 

"Tetapi secara wadah, omnibus law itu salah satu jalan yang mungkin serasa masuk akal, yang visionable, yang singkat untuk mengatasi beberapa hal yang diakibatkan proses pembuatan peraturan perundang-undangan kita dulu," kata salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)  Indonesia itu. 

Managing Partner AHP Bono Daru Adji menyadari isu ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat sensitif dalam RUU Cipta Kerja. Apabila pemerintah mengambil satu sikap yang kemudian dianggap terlalu menguntungkan pengusaha maka akan menempatkan pemerintah dalam satu risiko yang besar. Terlebih lagi ada keterhubungan yang kuat antara pengusaha dan buruh. Apa artinya pengusaha tanpa buruh dan apa artinya buruh tanpa pengusaha. "Jadi mencari keseimbangan ini yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah," kata Bono di tempat yang sama kepada Gresnews.com, Kamis (5/3).

Ia mengatakan, omnibus law memang tidak dapat memuaskan semua pihak, namun yang terpenting adalah bisa menjadi alat untuk menyelesaikan masalah. Pemerintah pasti tidak mungkin bermain-main dalam persoalan ketenagakerjaan, karena peningkatan ekonomi yang mau dicapai bisa menurun kalau aturan itu ditentang oleh kalangan buruh. "Jadi bukan masalah yang mudah tetapi kami pikir ini adalah sesuatu yang pasti sudah sangat dipikirkan," jelasnya.

Sementara itu Senior Partner AHP Ahmad Fikri Assegaf menyoroti satu hal penting dalam RUU Cipta Kerja, yaitu Pasal 170. "Karena pasal ini, kami sangat concern sekali," kata Fikri kepada Gresnews.com.

Pasal itu mengatur bahwa pemerintah pusat dapat melakukan perubahan pada undang-undang dengan peraturan pemerintah. "Kami juga sangat setuju bahwa pasal itu adalah salah satu pasal pertama yang harus di-review, harus diperbaiki. Bukan hanya didiskusikan tapi diperbaiki," kata dia.

Namun, setelah mendapat penjelasan dari Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, pemerintah terbuka menerima kritik dan saran untuk memperbaiki apa yang salah dan kurang dari rancangan peraturan itu.

"Tadi clear bahwa pemerintah, baik dari Pak Airlangga maupun Pak Bahlil yang saya tangkap bahwa memang pemerintah terbuka atas masukan-masukan itu. Kita berharap di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di DPR nanti didiskusikan pemerintah pusat, itu bisa dihilangkan dan tidak muncul dalam DIM," katanya.

(G-2)

BACA JUGA: