JAKARTA - Proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang menggunakan pendekatan omnibus law menyimpan banyak persoalan. Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Kerja Erasmus Napitupulu mengatakan, pada saat proses pembahasan oleh pemerintah, ternyata pemerintah hanya membuka akses dan melibatkan asosiasi pengusaha tertentu dan sama sekali tidak membuka akses kepada publik secara luas. Prosesnya pun cenderung ingin dipercepat sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, yaitu dalam 100 hari. 

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Kerja itu terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Auriga Nusantara, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Greenpeace, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Jakarta, LBH Pers, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Sajogyo Institute, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 

Menurut Erasmus, hanya asosiasi pengusaha besar dan segelintir elite yang memiliki akses terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja, sedangkan masyarakat yang akan terkena dampak tidak dilibatkan sama sekali. "Sangat berbeda dengan RUU lainnya yang bisa dikritisi sejak pembahasan di tingkat pemerintah," kata Erasmus kepada Gresnews.com, Senin (2/3).

Ia menjelaskan permasalahan RUU Cipta Kerja tidak hanya terdapat dalam proses, tapi juga pada substansi. RUU Cipta Kerja masih memasukkan ketentuan yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, Pasal 170 RUU Cipta Kerja juga memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk mengubah isi undang-undang hanya lewat peraturan pemerintah (PP). Selain itu, terdapat begitu banyak materi dalam RUU Cipta Kerja yang melampaui niatan yang disampaikan pemerintah kepada publik bahwa RUU itu akan melakukan simplifikasi perizinan berusaha.

Usaha pemerintah untuk melakukan pembenahan regulasi, yang sebetulnya merupakan penyebab utama kurang atraktifnya Indonesia untuk investor, malah tersia-sia begitu. Alih-alih membenahi situasi hiper-regulasi, justru RUU Cipta Kerja menambah lebih banyak peraturan pelaksana untuk implementasinya; tanpa proses evaluasi dan pemantauan yang jelas. 

Ia menjelaskan substansi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja juga menabrak banyak undang-undang dan sistem yang sudah lazim berlaku, mulai dari aturan ketenagakerjaan, kelautan, perikanan, tata ruang, lingkungan hidup, bangunan gedung, pangan, kehutanan, kearifan lokal hingga media massa.

Dalam bidang ketenagakerjaan banyak ketentuan yang akan memunculkan perbudakan baru karena pekerja dieksploitasi membabi buta sehingga kehilangan jaminan hak serta perlindungan dalam pekerjaannya. 

Dalam bidang lingkungan hidup, penghapusan pasal pengakuan kearifan lokal untuk melakukan pembakaran lahan seluas dua hektare dihapus, sehingga berpotensi menjerat masyarakat adat dan peladang tradisional. Ironisnya, korporasi akan sulit dijerat karena penegakan hukum pidana bersifat ultimum remedium (harus didahului dengan sanksi administratif).

Materi lain yang tidak berhubungan dengan kemudahan perizinan berusaha adalah tentang pemberian ruang bagi pemerintah untuk campur tangan dalam pemberitaan media massa. Permasalahan lain yang turut mewarnai materi RUU Cipta Kerja adalah pengabaian total pada aspek lingkungan hidup, termasuk pada hak-hak masyarakat adat.

Ia menegaskan dampak yang ditimbulkan pun akan sangat luas yaitu rusaknya lingkungan, runtuhnya keadaban hukum, dan kriminalisasi yang semakin banyak terhadap peladang tradisional. Hancurnya lingkungan, rusaknya hukum, dan justifikasi perampasan hak-hak masyarakat akan membawa Indonesia pada ketimpangan yang semakin dalam.

Apabila dampak itu yang terjadi maka RUU Cipta Kerja menjadi RUU terburuk sejak era reformasi. Patut diingat bahwa pemerintah menargetkan proses penyusunan serta pembahasan di DPR dalam waktu 100 hari. Sungguh disayangkan juga bahwa peran DPR yang seharusnya sebagai penyeimbang eksekutif justru tidak menjalankan perannya.

Suara publik yang kritis dan kencang menolak RUU Cipta Kerja tidak tersuarakan oleh DPR; malah justru yang keluar adalah bagaimana proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini secepat mungkin; alih-alih pembahasan mengenai materi.

Penolakan yang terjadi bukan hanya organisasi masyarakat sipil, mahasiswa dan kelompok buruh yang kritis menolak RUU Cipta Kerja ini, namun juga akademisi dari berbagai disiplin ilmu dengan semangat penolakan yang sama.

(G-2)

BACA JUGA: