JAKARTA - RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya menuai kritik dan penolakan, kini muncul juga seruan perlawanan publik. Bentuk perlawanan yang dapat dilakukan dengan mengadukannya ke lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk menghentikan atau mengkaji ulang isi RUU tersebut.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Bivitri Susanti mengatakan proses penyusunan RUU Cipta Kerja terlalu terburu-buru dan tidak transparan. Terlihat sekali hanya melibatkan kepentingan pengusaha sehingga harus dihentikan melalui mekanisme yang sesuai konstitusi.

"Saya kira, mesti dicari cara untuk mengkritik proses ini, melalui lembaga-lembaga yang ada. Misalnya, Pengadilan Tata Usaha Negara," kata Bivitri kepada Gresnews.com seusai sebuah acara diskusi di Jakarta, Kamis (27/2).

Lanjut Bivitri, lembaga-lembaga negara, seperti pengadilan, tersebut tidak bisa bergerak secara langsung. Mereka hanya menunggu, bergantung dari laporan masyarakat yang menggugat proses penyusunan RUU tersebut.

"Tapi kan mereka semua bukan yang bisa langsung bergerak. Kayak pengadilan itu harus nunggu. Jadi masyarakat sipil perlu ada yang, misalnya, mempertanyakan proses penyusunannya," tuturnya.

Bila melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), harus ada Surat Keputusan (SK) lebih dulu, karena yang digugat adalah SK tersebut. "Misalnya, SK-nya itu dalam arti Surat Presiden yang dikirimkan ke DPR untuk mengantarkan undang-undang itu. Itu bisa dibawa, mungkin itu mesti dicek lagi," kata Bivitri.

Menurutnya, opsi lain adalah melaporkan ke Ombudsman RI untuk mengecek apakah ada malaadministrasi yang ditemukan ketika proses RUU tersebut disusun dan diserahkan ke DPR. Apabila ditemukan adanya malaadministrasi dalam dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja itu maka bisa dihentikan pembahasannya di DPR.

"Atau apa pun lah. Tapi yang jelas lembaga-lembaga yang ada, sekarang semua perlu dieksplorasi, siapa yang bisa menghentikan secara formal proses ini," jelas Bivitri.

Sementara itu peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Fatimah Fildzah menjelaskan sejak awal Omnibus Law Cipta Kerja sudah bermasalah. Ide awalnya ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, namun mengorbankan kehidupan kelas pekerja yang merupakan mayoritas penduduk.

Karenanya, lanjut Fatimah, hanya satu kata, tolak/lawan, lantaran banyak hak-hak para buruh yang dihilangkan. Kita harus tahu bagaimana caranya untuk melawan.

"Kita lawan itu. Sambil juga terus mengonsolidasikan diri lewat gerakan masyarakat, buruh, pelajar, mahasiswa," kata dia.

(G-2)

 

BACA JUGA: