JAKARTA - Persidangan kasus lelang pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) pada 2010 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (25/2), menghadirkan saksi meringankan (a de charge) yaitu Muhammad Arif, yang bekerja di PLN sejak 2008.

Majelis hakim pun meminta Arif untuk menjelaskan perkenalannya dengan Nur Pamudji dan meminta tanggapannya terkait dengan kasus yang sedang disidangkan. Arif bilang ia telah mengenal Nur Pamudji ketika menjabat sebagai Direktur Energi Primer tahun 2009-2010.

"Beliau (Nur Pamudji) sepengetahuan saya ketika menjabat sangat profesional menjalankan jabatan sesuai good governance," kata Arif dalam persidangan yang disimak oleh Gresnews.com itu.

Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Yanuar Utomo, mengatakan persidangan yang menghadirkan Arif itu pasti menguntungkan terdakwa Nur Pamudji. "Jadi kami tanggapi saja sebagaimana apa yang didakwakan itu," katanya kepada Gresnews.com. Yang pasti, kata Yanuar, jaksa berkeyakinan proses lelang BBM HSD itu tidak berlandaskan prinsip kehati-hatian, lantaran jelas bahwa penandatanganan perjanjian/kontrak mendahului persetujuan direksi. Kontrak dibuat pada 10 Desember 2010 dan diratifikasi pada 14 Desember 2010.

"Justru nggak ada kehati-hatian. Kalau ada kehati-hatian, PT Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) (selaku pemenang tender PLN) akan selesai mengadakan sampai empat tahun. Ini kan cuma satu tahun setengah. Buktinya pada tahun 2008 ditangani Shell nggak ada masalah, aman. Tapi begitu ada RTM ditangani PT TPPI yang memang pada dasarnya tidak punya kemampuan, terbukti nggak selesai sampai kontrak," katanya.

Menurut Julius I. D. Singara, penasihat hukum Nur Pamudji, proses lelang BBM HSD telah memenuhi standarisasi dan mengikuti peraturan yang ada. "Bahwa proses pengadaan BBM di PLN telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada dan tidak ada juga konflik kepentingan. Dan semua dilakukan secara hati-hati (sesuai prinsip kehati-hatian)," ujarnya.

Terkait TPPI, kata Julius, perusahaan tersebut memiliki kemampuan sehingga lolos lelang dan jadi pemasok. Namun kemudian TPPI mengalami persoalan eksternal yang tidak diduga dan tidak dapat diprediksi. "Terjadi miss match antara pemasukan dan pengeluaran lantaran pemasukan cash flow Tuban Konsorsium ini kan di bawah kendali/kontrol BP Migas," tuturnya.

Selain itu, dari saksi TPPI yang diajukan pernah mengatakan, adanya pergantian Kepala BP Migas dari Raden Priyono ke Rudi Rubiandini menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan. "Banyak sekali (faktor penyebab kegagalan) dari pihak Kementerian Koordinator Perekonomian, BP Migas, Pertamina, terus Kementerian Perdagangan dan seterusnya. Berkaitan dengan restrukturisasi di TPPI. Jadi memang faktor eksternal," ungkap Julius.

Menanggapi pernyataan Yanuar mengenai penandatanganan kontrak yang mendahului persetujuan direksi, Julius membantahnya. Dalam persidangan, jaksa menyampaikan pada 8 Desember 2010 ada rapat direksi yang memutuskan untuk menandatangani PJBBM. "Kemudian pada 10 Desember 2010 PJBBM ditandatangani oleh Dahlan Iskan selaku Dirut. Baru tanggal 14 Desember 2010 itu meratifikasi keputusan tanggal 8 Desember 2010 yang namanya juga ratifikasi," jelas Julius.

Pada saat itu memang belum ada notulen. Tetapi jumlah direksi sudah cukup untuk mengambil keputusan. Dan keputusan itu pun diratifikasi pada 14 Desember 2010. "Memang di dalam praktik bisnis, seperti itu yang lazim terjadi. Kalau dari hukum korporasi tidak menjadi persoalan, karena ratifikasi itu sudah sesuatu yang lazim," kata Julius.

(G-2)

 

BACA JUGA: