JAKARTA - Perusahaan over-the-top (OTT) yang beroperasi di luar negeri, Netflix, bukan hanya tidak membayar pajak di Indonesia melainkan dari sisi konten pun bermasalah. Konten bermuatan pornografi sampai LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) ada dalam menu film yang diputar Netflix. Artinya, hal itu telah melanggar Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio mengatakan ada hal-hal tertentu yang tidak boleh dilakukan di Indonesia. Seperti pornografi jelas tidak boleh, namun perlu dibahas seperti apa normanya. "KPI memfasilitasi masyarakat untuk membuat norma sosial," jelas Agung setelah sebuah acara diskusi di Jakarta kepada Gresnews.com, Kamis (16/1).

Menurut Agung, hasil rembukan dengan masyarakat terkait norma tersebut akan digunakan untuk merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan norma-norma bermasyarakat saat ini. "Dalam revisi ini melibatkan beragam pihak seperti akademisi, pemerintah dan lainnya," ujarnya. 

Saat ini P3SPS belum memuat aturan untuk media baru semacam Netflix. KPI hanya mengawasi tayangan TV konvensional. Untuk internet dan Video on Demand (VOD) belum ada regulasi. "Kalau pun ada regulasi lebih soft," kata Agung.

Lebih lanjut disampaikan Agung, jika memang ada proses pengawasan untuk Netflix maka peraturan yang berlaku kurang lebih mirip seperti pengawasan terhadap TV berlangganan. KPI siap melakukan itu selama mendapat perintah undang-undang.

Selain itu, saat ini memang telah ada sistem disclaimer yang membantu mengatur orang tua dalam memberikan tayangan Netflix kepada anak. "Tapi tetap saja harus ada peraturan karena mungkin ke depannya akan tumbuh banyak tv streaming," ujarnya.

Agung juga cukup menyayangkan karena di banyak negara peran pengaturan terhadap layanan streaming seperti Netflix ada pada regulator telekomunikasi tetapi harus berkolaborasi dengan lembaga penyiaran, namun di Indonesia berbeda. "Tiap lembaga bekerja sendiri, KPI sendiri, Menkominfo sendiri," ungkapnya. (G-2)

BACA JUGA: