JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi dalam persidangan kasus lelang pengadaan BBM jenis High Speed Diesel (HSD) tahun 2010 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/1), yang diikuti oleh Gresnews.com. Saksi tersebut adalah mantan Direktur Pengadaan Barang dan Jasa PLN Nasri Sebayang.

Penasihat hukum terdakwa Nur Pamudji, Julius I.D. Singara dari Lubis Santosa & Maramis (LSM) Law Firm—firma hukum yang didirikan oleh Todung Mulya Lubis (kini menjabat Duta Besar RI untuk Kerajaan Norwegia)—menyatakan keterangan dari saksi Nasri bahwa pengadaan BBM ini adalah keputusan korporasi.

"Pengadaan BBM yang dilakukan oleh PLN pada saat itu untuk mendapatkan harga BBM yang lebih murah untuk pembangkit-pembangkit PLN," kata Julius kepada Gresnews.com seusai sidang, Senin (13/1).

Menurut Julius, kesaksian Nasri dalam persidangan menyebutkan proses pengadaan HSD BBM sudah sesuai dengan prosedur yang ada di PLN. Bahkan sebelum ditetapkan sebagai pemenang, semua calon pemenang itu dilakukan due dilligence oleh Sucofindo. Setelah itu ada persetujuan dari Komite Energi PLN, bahwa salah satu pemenangnya PT Trans Pasific Petro Chemichal Indotama (TPPI). Kemudian setelah ada keputusan dari Komite Energi primer, ada keputusan dari direksi tanggal 11 Oktober yang juga menyetujui penetapan pemenangan TPPI. "Termasuk juga persetujuan dewan komisaris," ungkapnya.

Julius menerangkan yang dipermasalahkan oleh jaksa yakni ketika TPPI berhenti, tidak mampu memasok BBM HSD kepada PLN pada 2012. Kemudian dari situlah TPPI digantikan oleh Shell, itu dipermasalahkan. Jaksa menghitung, ketika pasokan dari TPPI digantikan ada selisih perbedaan.

Ia menjelaskan perlu diingat bahwa berdasarkan APBN  2008, sebenarnya Pertamina ketika itu diminta oleh pemerintah dan DPR untuk menjual BBM ke PLN dengan harga Mid Oil Platts Singapura (MOPS) +5%. Ketika itu dilakukan tender dan TPPI menang tender, harga mereka sekitar MOPS + 2%. "Dan ketika TPPI tidak menyuplai kembali, tidak mampu untuk memasok, penggantinya pun itu sebenarnya hanya MOPS +2% lebih sedikit," ujarnya.

Artinya, lanjut Julius, sebenarnya bujet awal adalah MOPS +5%. Direksi PLN pada saat itu kalau tidak mau inovatif, tidak mau menghemat anggaran negara, tidak perlu tender. "Tapi bukan itu yang dilakukan. Mereka mau mengadakan pengadaan BBM dan ternyata harganya turun," imbuhnya.

"Dengan demikikan kasus ini sebenarnya penghematan saja yang tidak maksimal, yang diharapkan segini, misalnya. Ternyata hanya menghemat sekian. Yang pasti bukan di atas MOPS +5%. Jadi masalahnya di mana? Kerugiannya di mana?" tanya Julius.

Bareskrim Polri menetapkan Nur Pamudji sebagai tersangka pada 15 Juli 2015, dan setelah menyidik selama empat tahun, kemudian menyerahkan perkara ke Kejaksaan pada 16 Juli 2019. Selanjutnya kejaksaan menyusun dakwaan dan menyerahkan perkara ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 10 September 2019.

Berdasarkan Surat Dakwaan Nomor: PDS-09/M.1.14/Ft.1/07/2019 tertanggal 9 September 2019 yang diteken oleh jaksa Yanuar Utomo, sebagaimana diperoleh Gresnews.com, tercantum keterangan mengenai status penahanan peraih Bung Hatta Anti Corruption Award Tahun 2013 itu, sebagai berikut: 1) Penahanan oleh penyidik dilakukan di Rutan sejak tanggal 26 Juni 2019 sampai dengan 9 Juli 2019. Ditangguhkan penahanannya sejak tanggal 9 Juli 2019; 2) Penuntut Umum, tidak dilakukan penahanan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011 mengaudit proses pelelangan BBM 2010 tersebut, kemudian pada September 2011 menerbitkan hasil audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu yang salah satu kesimpulannya adalah: "Proses pengadaan BBM HSD melalui pelelangan pada 2010 sudah sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa di PLN.”

BPK kembali mengaudit pada 2014 dan menemukan kekurangan pembayaran denda oleh PT TPPI dan segera ditindaklanjuti oleh PLN dengan menuntut PT TPPI lewat Pengadilan Arbitrase, yang dimenangkan oleh PLN.

Atas permintaan Bareskrim Polri, BPK melakukan Audit Investigasi pada 2018 dan menemukan lagi kekurangan pembayaran denda dari PT TPPI sebesar Rp69,8 miliar, serta menghitung selisih biaya pembelian BBM antara membeli ke Pertamina dengan membeli ke PT TPPI (karena PT TPPI berhenti memasok PLN sejak Mei 2012 sampai Januari 2015, sehingga PLN membeli dari Pertamina) sebesar Rp118,9 miliar. Jumlah kedua angka ini, Rp69,8 miliar + Rp118,9 miliar = Rp188,7 miliar, dianggap kerugian negara. (G-2)

 

BACA JUGA: