JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) ternyata telah menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi pembangunan Float Storage Regassification Unit (FSRU) Lampung senilai US$400 juta pada 2011-2014 di PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (IDX: PGAS) yang diduga merugikan keuangan negara sebesar US$250 juta (Rp3,24 triliun) pada 2017. Terhadap penghentian penyidikan perkara tersebut telah diajukan dua kali praperadilan, namun kandas di pengadilan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Mukri mengatakan pihaknya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup kuat. "Bahkan sudah pernah digugat dua kali di praperadilan namun ditolak," kata Mukri kepada Gresnews.com saat ditemui di kantor Pusat Penerangan Hukum Kejagung, di Jakarta, Rabu (11/12).

Berdasarkan penelusuran Gresnews.com, salah satu pihak yang mengajukan permohonan praperadilan berkaitan dengan penerbitan SP3 kasus FSRU Lampung itu adalah Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia (JARI) pada November 2018. Keputusan Kejagung menghentikan penyidikan kasus tersebut juga baru terungkap dalam persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 31 Januari 2019.

Padahal, penghentian penyidikan perkara tersebut telah dilakukan sejak 26 April 2017 melalui SP3 berdasarkan surat Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-31/F.2/04/2017 tanggal 26 April 2017 untuk menghentikan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan FSRU (Float Storage Regassification Unit) milik PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Lampung pada Tahun Anggaran 2011-2014.

"Karena bukan merupakan tindak pidana dan apabila kemudian hari ditemukan alat bukti adanya pidana maka penyidikan dapat membuka kembali," demikian keterangan dari Kejagung yang dibacakan oleh Satria Abdi, S.H., M.H., Indrawan Pranacitra, S.H., M.H., I Gde Eka Haryana, S.H., dan Oktani Derita, S.Kom., S.H., M.H., dalam jawaban terhadap praperadilan JARI yang dibacakan tanggal 29 Januari 2019 di dalam persidangan.

Menurut keterangan yang dibacakan menjawab praperadilan tersebut, Kejagung menyampaikan pihaknya telah memeriksa 11 orang saksi dalam kasus tersebut yaitu Agoes Kresnowo, S.E., yang diperiksa pada 8 Maret 2016; Ir Doddy Adianto, yang juga diperiksa pada 8 Maret 2016. Kemudian pada 10 Maret 2016, Kejagung memeriksa Ir M Wahid Sutopo, M.M., dan Tri Setyo Utomo, S.E.

Pada 11 Maret 2016, giliran Hendi Prio Santoso BBA, yang saat ini menjabat sebagai Dirut PT Semen Indonesia Tbk. diperiksa. Kemudian Bambang Sadewo, Ir Dilo Seno Widagdo, M.M., dan DR Ing Evita Herawati, M.M., yang diperiksa pada 17 Maret 2016. Kemudian Heri Yusuf, S.H., L.L.M., diperiksa pada 23 Maret 2016, dan Eri Sunarya Kelana yang mendapat giliran 30 Maret 2016. Terakhir Ir Erlangga yang dimintai keterangan pada 4 April 2016.

Dari keterangan para saksi tersebut kemudian Kejagung melaksanakan gelar perkara hasil penyidikan pada 9 Februari 2017 yang pada pokoknya berpendapat tidak terdapat perbuatan melawan hukum dan kerugian negara dalam pembangunan FSRU Lampung milik PT PGN tahun 2011-2014.

Sementara itu JARI mengungkapkan mulai proses penyidikan hingga dikeluarkannya usulan penghentian penyidikan oleh Kejagung, ada proses yang cacat hukum. Kejagung melakukan penyidikan perkara tersebut pada 23 Februari 2016 sesuai dengan Surat Perintah Nomor: Print-11/F.2/Fd.1/02/2016. Pada 24 Februari 2017, Kejagung juga memberitahukan dimulainya penyidikan perkara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bahkan, Kejagung telah memeriksa beberapa saksi. Setelah 13 bulan dilakukan penyidikan, bahkan Dirut PT PGN juga pernah dicekal berpergian ke luar negeri. Kejagung menghentikan penyidikan itu dengan proses yang menurut JARI cacat formil dan materiil. Padahal Kejagung belum mendapatkan keterangan ahli atau hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (G-2)

BACA JUGA: