JAKARTA - Persidangan kasus lelang pengadaan BBM jenis High Speed Diesel (HSD) pada 2010 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/12) ditunda. Jaksa Penuntut Umum tidak dapat menghadirkan saksi yang berhalangan hadir.

Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Yanuar Utomo mengatakan saksi yang seharusnya hadir saat ini adalah perwakilan dari PT Pertamina (Persero) dan Shell. "Namun para saksi tidak bisa hadir, sedang dinas luar semua, sehingga kami minta penjadwalan ulang," kata Yanuar kepada Gresnews.com, Senin (9/12).

Yanuar mengklaim semua saksi yang telah dihadirkan jaksa dalam persidangan, jelas mendukung isi dakwaan. "Saksi-saksi yang sudah didengar semua mendukung pembuktian kami terhadap dakwaan," katanya.

Namun klaim tersebut dibantah penasihat hukum Nur Pamudji, Julius I. D Singara. Ia mengatakan dalam keterangan saksi yang diajukan oleh JPU sampai saat ini justru mematahkan seluruh dakwaan JPU. "Saya yakin bapak mendengar sendiri selama pemeriksaan saksi bahwa saksi-saksi mematahkan setiap dakwaan yang ada," kata Julius kepada Gresnews.com.

Sebelumnya, pada Senin (25/11), dua orang saksi dihadirkan untuk memperkuat dakwaan jaksa: Direktur Keuangan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) periode 2012-2016 Basya G. Himawan dan Direktur PT Tuban LPG Indonesia (TLI) dan General Manager Komersial TPPI periode 2006-2013 Haryono Widodo.

Jaksa ingin membuktikan bahwa sejak proses awal, mekanisme lelang sudah dilanggar. Selain itu, jaksa juga hendak membuktikan adanya mekanisme yang tidak dijalankan oleh PLN berkaitan dengan penagihan denda keterlambatan dan ganti rugi yang tidak dilaksanakan oleh Tuban Konsorsium, di mana bertindak sebagai ketua konsorsium adalah TPPI.

Seorang jaksa kepada Gresnews.com menjelaskan Haryono merupakan orang yang menyiapkan dokumen penawaran TPPI, yang selanjutnya dokumen penawaran itu tidak diterima oleh PLN karena ada beberapa persyaratan yang tidak dipenuhi.

Sementara itu Basya ditanya apakah mengetahui adanya denda keterlambatan pasokan BBM ke PLN. Ia menyatakan tahu adanya denda tersebut dari dokumen yang diklaim PLN akibat gagal pasok sekitar Rp29 miliar. Namun ketika ditanyakan apakah TPPI sudah membayar denda kepada PLN sesuai perjanjian, ia menjawab: "Belum membayar."

Ia menjelaskan alasan mengapa TPPI belum membayar lantaran ada dua hal. Pertama, seluruh kreditor yang memiliki tagihan kepada TPPI harus mendaftarkan tagihannya ke TPPI untuk diverifikasi kemudian disahkan. Pada saat itu, PLN tidak mendaftarkan denda tersebut sebagai tagihan.

Kedua, PLN justru mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang putusannya adalah Tuban Konsorsium harus membayar kurang lebih Rp10 miliar. Namun TPPI tidak harus membayar karena Tuban Konsorsium-lah yang harus membayar. "Tapi Tuban Konsorsium sudah tidak ada setelah putusan BANI. Itu menjadi salah satu pertimbangan TPPI tidak membayar," kata Basya dalam persidangan.

Dalam dakwaan jaksa, Tuban Konsorsium adalah konsorsium yang dibentuk oleh Direktur Utama TPPI Honggo Wendratno (kini buron), lantaran TPPI tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi dokumen penawaran yang dipersyaratkan panitia pengadaan di PLN. Konsorsium tersebut terdiri dari TPPI (sebagai ketua konsorsium), Tuban LPG Indonesia (TLI), dan Tuban BBM pada 18 Juni 2010. (G-2)

BACA JUGA: