JAKARTA - Perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Yayasan WWF Indonesia tercantum dalam daftar 47 perusahaan yang masuk pengawasan dan penyelidikan oleh penegak hukum berkaitan dengan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini.

Berdasarkan data yang dikutip dari Rekapitulasi Penegakan Hukum Terkait Karhutla Berdasarkan Jenis Perseroan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) per 25 September 2019, yang diperoleh Gresnews.com, Kamis (3/10), nama perusahaan tersebut adalah PT Alam Bukit Tigapuluh di Jambi. Luas lahan yang terbakar seluas 20 hektare. Perusahaan itu beroperasi berdasarkan  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem). Perusahaan itu adalah satu-satunya pemegang IUPHHK-RE yang terbakar.

IUPHHK-RE diterbitkan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Kehutanan P.61/Menhut-II/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. Pemberian izin ini dilakuan oleh Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota, dan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Izin tersebut diberikan untuk membangun kawasan hutan yang memiliki ekosistem penting dan unik. Kegiatan usaha yang diizinkan adalah pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur nonhayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistem.

Dalam kolom Investor/Pemegang Saham/Aktor perusahaan tercantum nama tiga pihak:
1. PT Panda Lestari;
2. Drs. Marzuki Usman;
3. Muhhammad Senang Sembiring.

Merujuk pada Profil Perusahaan PT Panda Lestari yang tercatat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, akta terakhir perusahaan itu tertanggal 29 Agustus 2018. Kedudukan perseroan di Graha Simatupang Tower II C Lt. 7, Jl. TB. Simatupang Kav. 38, Jatipadang, Jakarta Selatan. Modal disetor perusahaan sebesar Rp4,6 miliar.

Pemegang saham adalah:
1. Yayasan WWF Indonesia sebanyak 4.598 lembar senilai Rp4.598.000.000;
2. Dra. Supia Latifah Alisjahbana sebanyak 1 (satu) lembar senilai Rp1.000.000;
3. Tati Sumiyati Darsoyo sebanyak 1 (satu) lembar senilai Rp1.000.000.

Pengurus perseroan adalah:
1. Ir. Indra Prasetyo (Komisaris Utama);
2. Aria Nagasastra (Komisaris)—juga sebagai Direktur Keuangan dan Administrasi Yayasan WWF Indonesia;
3. Rina Ariyanti (Direktur).

WWF mendapatkan status yayasan pada 1996. Pendorong berdirinya Yayasan WWF Indonesia adalah Prof. Emil Salim, Pia Alisjahbana, dan Harun Al Rasjid (alm). Lembaga ini merupakan organisasi nasional dalam Jaringan Global WWF. Dalam pemberitaan Gresnews.com sebelumnya, Yayasan WWF Indonesia mengonfirmasi penerimaan dana program sebesar US$150.036 (Rp2,1 miliar) untuk periode 12 bulan mulai Januari 2018 dari Margaret A. Cargill Foundation. BACA: WWF Indonesia Jelaskan Dana dari Cargill Foundation untuk Program di Papua dan Papua Barat. 

Sementara itu, catatan Ditjen Gakkum KLHK per 25 September 2019, luas total areal terbakar sebesar 10.350,49 hektare yang terdiri dari 10.076,49 hektare pada lahan konsesi dan 274 hektare pada lahan perorangan. Proses hukum dilakukan terhadap 55 perusahaan pemegang konsesi dan satu perorangan yang terdiri dari 40 perusahaan perkebunan sawit, 13 konsesi hutan tanaman industri (HTI), satu konsesi pada hutan alam, dan satu konsesi restorasi ekosistem. Berdasarkan jenisnya, 19 perusahaan asing (PMA), 32 perusahaan dalam negeri non-fasilitasi, satu perusahaan dalam negeri dengan fasilitasi, dan tiga perusahaan masih dalam penelusuran. (G-1)

BACA JUGA: