JAKARTA - IMPARSIAL—Lembaga pemantau hak asasi manusia Indonesia—menyatakan penolakan terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang disahkan DPR beberapa waktu lalu karena cacat formal pembentukan perundangan-undangan (UU Nomor 11 Tahun 2012). Revisi UU KPK cacat formal karena dilakukan tanpa proses yang partisipatif dan tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2019.

“Pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara tergesa-gesa. Padahal prinsip utama dalam pembuatan perundang-undangan itu harus dilakukan secara transparan dan partisipasif,” kata Direktur IMPARSIAL Al Araf kepada Gresnews.com, Jumat (20/9).

Menurut anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2019-2023 itu, secara substansi, UU KPK akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sudah berjalan. Oleh karena itu, dia mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK sebagai upaya penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi.

“Perppu KPK sangat mungkin dilakukan karena pernah ada preseden hukum di mana Pemerintah pada 2014 pernah menerbitkan Perppu tentang Pilkada yang membatalkan UU Pilkada yang sudah disahkan DPR karena mendapat penolakan dari masyarakat. Perppu KPK tersebut harus membatalkan UU KPK yang baru disahkan oleh DPR dan mengembalikan pengaturan tentang lembaga antirasuah tersebut kepada aturan hukum sebelumnya,” kata Al Araf.

Di sisi lain, IMPARSIAL juga menilai RKUHP mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan sipil dan bertentangan dengan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi seperti pasal penghinaan terhadap Presiden (Pasal 218-220) dan pasal terkait dengan kejahatan HAM (Pasal 599-600). (G-2)

BACA JUGA: