JAKARTAPerpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) adalah keniscayaan, sesuatu yang tak berbendung. Namun, urbanisasi tak boleh dibiarkan begitu saja agar kota tidak bertumbuh secara sporadis sehingga menimbulkan kemacetan dan dampak-dampak lainnya.

"Kita harus belajar memahami bahwa urbanisasi tak bisa dibendung karena bagian dari peradaban, yang bisa dilakukan adalah controlling, mana yang boleh dan tidak, sehingga secara pemanfaatan ruang menjadi lebih baik," kata anggota Nusantara Urban Advisory Mirza Permana kepada Gresnews.com, Kamis (12/9).

Mirza—dalam paparannya pada sesi diskusi di Kongres Perencana Kota Sedunia ke-55 I55th ISOCARP World Congress)—telah melakukan penelitian di pinggiran kota Malang, Jawa Timur. Selama ini kota seluas 145,28 kilometer persegi itu memiliki keterbatasan ruang sehingga pertumbuhan akan bergeser ke pinggiran.

Tercatat pertumbuhan selama 10 tahun terakhir sebesar 12% dan trennya akan terus meningkat. Jumlah penduduk Kota Malang per 2017 sebanyak +895.300 jiwa.

Menurut Mirza, Malang menjadi pusat urbanisasi yang menampung masyarakat sekitar yang berasal dari Blitar, Kediri, Pasuruan dan daerah lainnya. Lantaran lahan yang terbatas dan harga yang semakin tinggi membuat permukiman bergeser ke pinggiran kota.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan lahan terbangun. Dari yang pertama berupa lahan pertanian berubah menjadi lahan terbangun yang bercirikan kota. "Itu sebagai dampak langsung dari perkembangan kota," ungkapnya.

Pertumbuhan itu terjadi di jalur regional, yang dominan berkembang karena menjadi jalur utama penghubung kawasan ekonomi. Untuk wilayah Malang Surabaya pertumbuhannya pada arah Utara-Selatan Jawa. Secara pola pertumbuhan tersebut 70% mengikuti jaringan jalan dan 30% secara acak (sprawl).

Pertumbuhan yang secara acak ini patut diwaspadai lantaran dapat mengubah wajah perkotaan menjadi carut-marut sehingga terjadi kemacetan seperti yang terjadi di Jakarta saat ini. (G-2)

BACA JUGA: